Oleh: Widiatmoko Adi Putranto
Dengan sejumlah video klip band-nya, Kla Project, yang ia unggah di kanal pribadi Youtube-nya dan diklaim sebagai ‘asli’, apakah fokus Katon Bagaskara adalah hanya pada nostalgia dan monetisasi ataukah ia sebenarnya juga figur yang mengamalkan konsep LOCKSS dan memahami prinsip digital cultural preservation? Arsip audiovisual, atau arsip pada umumnya, tak melulu harus memiliki kegunaan yang diartikan secara kaku: hukum, riset, atau administrasi. Arsip audiovisual, dan lainnya, bisa digunakan ulang atau diulas dan dibicarkan dalam media kreatif baru yang bentuknya bisa saja sangat berbeda atau, sama-sama arsip audiovisual juga dan dengan sendirinya memberikan konteks baru. Sejumlah karya kreatif telah menggunakan, mendiskusikan dan menunjukkan gejolak zaman yang mampu direkam oleh arsip audiovisual baik dalam konteks konten, media, maupun carrier.
Gambar 1. Salah satu cuplikan videoklip Dreams Tonite oleh Alvvays (2017)
Pada videoklip salah satu single di album kedua mereka–Antisocialite, yang rilis tiga tahun lalu, band Alvvays dari Kanada menghidupkan kembali sejumlah potongan footage pekan raya Expo pada tahun 1967 di Montreal dari National Film Board of Canada–lembaga yang menawarkan footage untuk keperluan komersial dengan biaya terjangkau dan pada tahun yang sama juga berkomitmen menambah jumlah staff indigenous mereka (CBC News 2017), dan Prelinger Archive yang memiliki koleksi film ephemeral dengan lisensi terbuka. Selain kepiawaian teknik editing yang subtle untuk menggabungkan potongan footage dengan shoot baru mereka, penggunaan arsip ini terkesan natural agaknya karena video mereka pun juga sama-sama direkam menggunakan film. Potensi-potensi semacam ini, menurut Roued-Cunliffe (2017), kian dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi.
Dari Indonesia, band the Adams (2019) memilih untuk menggunakan arsip foto kolega mereka dalam bentuk mozaik sebagai bagian dari videoklip lagu ‘Masa-masa’ yang menjadi bagian dari album terbaru yang mereka rilis tahun lalu, Agterplaas dalam menciptakan kesan nostalgia. Yang lebih lawas, video director Tak Bisa ke Lain Hati-nya KLa Project (2008) menggunakan sejumlah arsip yang sama sebagai bagian dari upaya memvisualisasikan lagu tersebut dalam video klip mereka. Bedanya: semuanya adalah pas foto dalam format fisik. Hampir semua orang mungkin sekarang akan menatap layar untuk melihat foto digital berformat jpeg atau melakukan panggilan video, namun pas foto cetak yang masuk kategori arsip still image, adalah objek terbaik di tahun 90an yang biasanya tersimpan di dompet atau terpajang di pigura kamar. Apabila diperhatikan dengan teliti, setidaknya ada 8 set pas foto dengan model Memes yang disusun bersama objek-objek atau gestur lain dengan tujuan menyiratkan maksud atau perasaan tertentu pada videoklip tersebut. Pertama, pas foto yang digoreng di bawah dua telur ceplok dalam panci (01.12). Kedua, pas foto hitam putih berjejer yang ditempel memenuhi dinding (00.42, 04.23), dilewati langkah kaki dengan sepatu boot yang mencipratkan air. Ketiga, pas foto tertutup daun, kemudian diterbangkan angin (00.47). Keempat, pas foto hitam putih yang dibakar (01.26). Kelima, pas foto di atas papan catur dengan gerakan bidak kuda hitam memakan perdana menteri coklat kayu (02.06). Keenam, pas foto yang dicat garis merah lurus (02.37). Ketujuh, pas foto yang diseraki gundu (02.43) dan terakhir, pas foto yang ditimpa tulisan menggunakan mesin tik (02.50). Nampaknya, semua set mewakili perasaan yang gelisah, bimbang, dan penuh pertimbangan sesuai lirik lagu.
Gambar 2. Salah satu cuplikan videoklip Tak Bisa Ke Lain Hati oleh KLa Project (2008)
Di EP Skenario Masa Muda (2007), band White Shoes and the Couples Company menyisipkan sejumlah potongan dialog antara lagu satu dengan lagu lainnya. Percakapan-percakapan ini terinspirasi dari sejumlah adegan pada film Tiga Dara (Ismail 1956) dan seolah berkorelasi dan membuka tiap lagu. Misalnya, ada percakapan soal ditabrak skuter sebelum lagu Pelan Tapi Pasti yang bertemakan jalan-jalan berkeliling Jakarta. Faktanya, karya ini memang sengaja dibuat untuk membantu menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap upaya pelestarian arsip film Indonesia bersama dengan Kineforum dan Sinematek Indonesia.
Sementara itu, ada juga beberapa karya yang mengangkat arsip audiovisual sebagai tema. Band Goodnight Electric dari Jakarta misalnya, memilih media pembaca kaset video yang telah usang, VCR, untuk diabadikan sebagai sebuah lagu. Kerap kali terjadi, teknologi audiovisual berkembang dengan dipengaruhi secara signifikan oleh tuntutan sosial dan kebutuhan pasar (Edmonson 2016). Sebelum digantikan VCD dan DVD (dan tentunya Youtube dan Netflix), merekam acara atau siaran televisi dalam kaset Betamax dan VHS menggunakan Video Cassette Recorder (VCR) adalah kegiatan yang cukup populer sekaligus menimbulkan perdebatan hak cipta di tahun 1980an. Pada era tersebut, bahkan tak semua orang memiliki akses pada televisi yang kini dapat dimiliki dengan mudah oleh semua orang. Lebih-lebih kepemilikan VCR dan alat rekam pribadi seperti video recorder atau handycam. Bagi masa kecil saya saat itu, tidak memiliki VCR dan kasetnya berarti melewatkan tayangan Doraemon di RCTI via TV tetangga pada hari Minggu pagi. Perjalanan VCR bisa jadi alegori yang tepat bagi salah satu tantangan terbesar dalam digital preservation: obsolescence. Di lagu dan video klip ini, Goodnight Electric (2019) meromantisasi memutar dan menonton rekaman film via VCR –baik media pembaca maupun wadahnya sudah sukar dijumpai–yang memiliki kemampuan untuk bisa dipercepat dan cahaya, definisi, dan dimensinya begitu indah sehingga membuat kita terpana, merona dan merana. Mungkin maksudnya merana seperti kolega saya pengampu mata kuliah Pengelolaan Arsip Audiovisual, Arif Rahman Bramantya, yang kerap dipusingkan dengan skema administrasi keuangan yang tidak memungkinkan pembelian infrastruktur bekas seperti VCR.
Gambar 3. Salah satu cuplikan videoklip VCR oleh Goodnight Electric (2019)
Pada awal masa kuliah sarjana, seorang teman yang belakangan bekerja di rental VCD meminjamkan saya VCD film yang saya tonton 3 kali sehari, film itu adalah Janji Joni (Anwar 2005). Seperti judul artikel ini, Janji Joni adalah film yang membicarakan film. Edmondson (2016) menyebut bahwa tak seperti konten, carrier audiovisual bisa dikategorikan sebagai artefak tersendiri dan memiliki sejumlah karakter intrinsik yang tak mungkin dimigrasikan ke dalam bentuk lainnya. Janji Joni tidak hanya menampilkan rekam jejak masa dimana bioskop masih bertumpu pada pengantar dan pemutar rol film manual yang memberikan pengalaman indrawi dan estetika walau kini tak lagi dilirik industri, namun juga merekam arsip skena musik independen Jakarta di pertengahan 2000an karena Joko Anwar memutuskan untuk menggunakan scoring yang hampir sebagian besar merupakan band-band yang tergabung dalam kompilasi JKT:SKRG (Tarigan 2004)–album yang berisikan band-band seperti Sore dan Sajama Cut di awal karir mereka. Itu belum terhitung penampilan Henry Foundation dari Goodnight Electric dan Hanin Sidharta dari label rekaman Aksara sebagai figuran dan Tantowi Yahya di adegan melahirkan bayi dengan gimmick khas yang pernah identik dengan dirinya: pembawa acara kuis Who Wants to be Millionaire (RCTI 2001 – 2006) yang pernah populer sebagai tayangan televisi pada awal 2000an dan profesi evergreen-nya sebagai penyanyi musik country. Janji Joni juga menyadarkan kita bahwa sama seperti arsip audiovisual, penonton film di bioskop juga bisa diklasifikasikan: dari penonton spoiler hingga penonton pacaran. Sungguh arsip audiovisual yang penuh dengan hal-hal yang arsip audiovisual.
Referensi:
Alvvays A 2017, Alvvays – Dreams Tonite [Official Video], video, Youtube, 13 September, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=ZXu6q-6JKjA>.
Anwar, J (dir.) 2005, Janji Joni, VCD, Kalyana Shira Films.
CBC News 2017, ‘National Film Board ‘redefining’ its relationship with Indigenous Peoples’, CBC News, 20 Juni, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.cbc.ca/news/indigenous/nfb-new-relationship-indigenous-peoples-1.4167947>.
Edmonson, R 2016, Audiovisual archiving: Philosophy and principles, UNESCO, Bangkok.
Goodnight Electric Official 2019, Goodnight Electric-VCR (Official Music Video), video, Youtube, 11 September, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=VlCAH4nr2Ok>.
Ismail, U (dir.) 1956, Tiga Dara, motion picture, Perfini.
Katon Bagaskara Official 2008, KLa Project-Tak Bisa Ke Lain Hati (The Original Version), video, Youtube, 31 Januari, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=h1e4q9LLTA0>.
Prelinger, R 2004 – 2020, Prelinger Archives, Panix, diakses pada 28 Juli 2020, <http://www.panix.com/~footage/>.
Roued-Cunliffe, H 2017, ‘Open heritage data and APIs’ dalam H Roued-Cunliffe & A Copeland (eds.), Participatory Heritage, Facet Publishing, London, pp. 195-203.
RCTI 2001 – 2006, Who Wants to be Millionaire, television program, RCTI.
Tarigan, D & Ringo, L (prod.) 2004, JKT:SKRG, CD, Aksara Records.
The Adams 2019, The Adams-Masa-Masa (Official Lyric Video), video, Youtube, 25 Februari, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=IMDn0YqV2NI>.
White Shoes & The Couples Company 2007, Skenario Masa Muda, CD, Aksara Records.