Oleh: Irfan R. Darajat
Universitas Gadjah Mada merupakan perguruan tinggi negeri pertama di Indonesia yang diresmikan pada 16 Desember 1949 oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dengan statusnya sebagai Universitas atau institusi pendidikan tinggi pertama di Indonesia, UGM memiliki beberapa bangunan bersejarah. Bagunan cagar budaya yang paling terkenal dari UGM adalah gedung Balairung yang kini menjadi pusat perkantoran rektorat UGM. Selain itu, terdapat bagunan bersejarah lain di UGM, yaitu Gedung Pantja Dharma. Gedung Pantja Darma pada awal pendiriannya disebut sebagai gedung Schiec-terrein atau Lapangan Tembak Sekip. Gedung Pantja Dharma memiliki sejarah yang panjang sebagai suatu komplek Bagunan Cagar Budaya. Salah satu peritiwa paling penting yang pernah diadakan di Gedung Pantja Dharma adalah rapat persiapan Konferensi Colombo. Berbagai perubahan fungsi dari gedung Pantja Darma dari saat didirikan hingga sekarang menjadi permasalahan penting dan menarik untuk didiskusikan.
Gedung Pantja Dharma kini berfungsi sebagai kompleks ruang pendidikan Sekolah Vokasi, UGM yang dihuni oleh 8 Departemen dan 23 Program Studi. Gedung Pantja Dharma terletak pada ruang Jalan Persatuan dan dikelilingi oleh 4 ruas jalan yang lain, yaitu Jalan Acasia, Jalan Yacaranda, dan Jalan DR. Sardjito. Keempat ruas jalan ini menopang beberapa aspek kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Terdapat kompleks perbankan di sebelah utara gedung, simpang emapt di sisi Selatan gedung, kompleks rumah ibadah di sisi Timur gedung, terdapat kompleks perbelanjaan di sisi Tenggara gedung, barisan penjualan jasa perbaikan tas di sisi selatan gedung, serta pada bagian trotoar di muka dan sampaing gedung merupakan tempat pedagang kaki lima penjual makanan. Aktivitas yang begitu dinamis diperlihatkan oleh masyarakat di sekitar Gedung Pantja Dharma. Sebagai bagunan cagar budaya dan ruang pendidikan, Gedung Pantja Dharma memengaruhi dan dipengaruhi oleh aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Hal yang paling menonjol tetapi seringkali luput adalah aspek suara lingkungan yang melingkupi Gedung Pantja Dharma.
Hal ini perlu diamati dengan pendekatan analisis soundscape pada lingkungan Gedung Pantja Dharma. Soundscape didefinisikan sebagai “acoustic environment as perceived or experienced and/or understood by people, in a specific context”. Soundscape mewakili pergeseran paradigma di bidang akustik lingkungan: menggabungkan pendekatan fisik, sosial, dan psikologis terhadap karakterisasi, manajemen, dan desain lingkungan suara alami dan perkotaan (Kang, 2018). Dalam kaitannya dengan cagar budaya, Soundscape memiliki keterikatan yang kuat. Suara-suara yang muncul pada suatu tempat kerap membangkitkan ingatan dan identitas atas kelompok masyrakat tertentu. Suara dalam yang timbul di lingkungan cagar budaya juga kerap ditimbulkan dari masyarakat, pengunjung, aspek hiburan dan ekonomi, dan aspek sosial lainnya (Bartalucci and Luzzi, 2020).
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana kita dapat melakukan percakapan terkait ingatan di masa lampau dari sebuah bagunan cagar budaya melalui rekaman suara. Dengan melakukan pendekatan rekaman suara di area gedung cagar budaya, kita dapat membayangkan bagaimana zaman telah bergerak, kondisi sosial ekonomi masyarakat mengalami perubahan. Apa yang bisa kita ceritakan dari zaman saat ini dengan bising kendaraan, suara pengamen jalanan yang menyusup masuk ke ruang perkuliahan, dan dengun mesin penyejuk udara yang mayoritas memenuhi seluruh gedung.
Aktifitas field recording dalam hal ini dapat digunakan pula sebagai data awal untuk menyusun wacana terkait dengan Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan sesuai dengan capaian SDGs 11. Bagaimana melalui suara kita dapat merekam geliat ekonomi-sosial-politik warga yang hidup berdampingan dengan civitas akademik. Bagaimana institusi pendidikan berkontribusi pada imajinasi pembangunan kota yang inklusif, aman, dan berkeanjutan. Dengan suara kendaraan yang didominasi kendaraan pribadi baik roda dua atau roda empat, kita dapat bertanya terkait transportasi publik yang umum dan menjangau berbagai kawasan. Rekaman suara juga menjadi jalan untuk mendengar suara warga. Bagaimana warga memberikan makna pada bangunan bersejarah ini, apa ia hanya menjadi bangunan yang terpisah dari masyarakat, atau bagaimana relasinya dengan masyarakat hari ini. Penelitian ini dapat menjadi mula untuk diskusi-diskusi selanjutnya.
Referensi:
Bartalucci, Chiara, and Sergio Luzzi. 2020. “The Soundscape in Cultural Heritage.” IOP Conference Series: Materials Science and Engineering 949(1):012050. doi: 10.1088/1757-899X/949/1/012050.
Kane, Brian. 2014. Sound Unseen: Acousmatic Sound in Theory and Practice. Oxford New York: Oxford university press.
Irfan R. Darajat merupakan dosen Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi DBSMB UGM.