Oleh: Adhi Wirawan Dwi Pamungkas
Salah satu masalah utama dan sulit terhindarkan dalam pemeliharaan arsip elektronik adalah masalah keusangan teknologi (technological obsolescence) yang dipengaruhi oleh perkembangan dan inovasi teknologi yang lebih baru. Data dan informasi yang terekam di teknologi yang lama perlahan akan dipindahkan ke teknologi terbaru dan teknologi tua itu tak lagi digunakan. Contoh seperti CD, DVD dan storage device sangat cocok digunakan sebagai media back-up dan media simpan jangka pendek, tapi mereka akan usang—bahkan terlupakan—dalam periode waktu yang singkat ketika tipe media simpan baru dan spesifikasi terbaru dikembangkan. Hal yang sama juga dialami format file, karena ‘standar’ saat ini untuk format file pasti akan bergeser atau hilang dalam hitungan dekade. Sederhananya, data hanya permanen ketika perangkat keras dan perangkat lunak untuk mengaksesnya masih populer dipakai (Lin, dkk 2003:119). Sejalan dengan hal tersebut, akan lahir arsip elektronik dengan bentuk-bentuk barunya mengikuti perkembangan teknologi.
Rustam (2021) menjelaskan arsip elektronik merupakan arsip yang isi informasinya disimpan dalam media penyimpanan elektronik yang dihasilkan, dikomunikasikan, disimpan atau diakses dengan menggunakan peralatan elektronik. Pemanfaatan arsip elektronik digunakan dalam berbagai bidang baik dari pemerintahan, swasta dan bahkan di industri kreatif. Musik yang merupakan salah satu subsektor industri kreatif juga telah memanfaatkan arsip elektronik, salah satu pemanfaatannya adalah arsip audiovisual berupa video musik band atau musisi yang diproduksi dan diedarkan di perangkat-perangkat elektronik. Di samping perkembangan musik dan teknologi yang kian cepat, video musik masih berperan signifikan dalam mempromosikan karya sebuah band. Video musik membantunya dengan dua cara: eksposur dan pendapatan. Produksi video musik dibuat dengan maksud untuk mendorong eksposur melalui saluran-saluran media yang ada baik penayangan di televisi, streaming, atau diputar di area publik yang harapannya akan terkonversi ke penjualan album atau merchandise. Sehingga cukup penting bagi band atau musisi untuk membuat video musik yang menggambarkan aspek artistik dan mendorong angka penjualan mereka. Lalu apa yang terjadi jika sebuah arsip video musik dari band atau musisi era modern yang diproduksi dengan teknologi termutakhir, beresolusi tinggi, kemudian di-downgrade menjadi sebuah video musik dengan teknologi yang telah usang, tidak lagi diproduksi massal, dan beresolusi rendah juga tak tajam? Di tengah kemudahan teknologi saat ini, mengapa hal ini dilakukan? Proyek inilah yang dicetuskan oleh Henry Irawan atau lebih dikenal dengan moniker “Henry Foundation”, yang bernama Downgrade Monday.
Downgrade Monday adalah proyek yang digarap oleh Henry dengan cara merekam kembali video musik digital beresolusi tinggi ke format tape Video Home System (VHS). VHS sendiri merupakan tape perekam audiovisual berbentuk pita yang diproduksi oleh Victor Company of Japan (JVC) di tahun 1976. VHS merevolusi sumber hiburan bagi masyarakat yang semula hanya bisa menikmati tayangan televisi sesuai jam-jam yang ditentukan oleh channel televisi, kemudian dengan hadirnya VHS masyarakat mempunyai kebebasan untuk dapat merekamnya dan menikmatinya kapan saja dengan menggunakan tape VHS dan perangkat VCR.
Pada kemunculannya, VHS memiliki kompetitor bernama Betamax. Namun seiring berjalannya waktu, VHS lebih unggul dan lebih digemari masyarakat karena harga yang lebih murah dan kemampuannya yang dapat merekam dengan durasi yang lebih panjang, yaitu selama enam jam di mana Betamax hanya mampu merekam tiga jam. Kekalahan penjualan Betamax ciptaan Sony kala itu disebabkan karena mereka beranggapan masyarakat lebih peduli terhadap kualitas gambar daripada kemampuan sebuah tape dalam merekam dengan durasi yang panjang. Tim Sony terlalu fokus dalam pengembangan aspek kualitas gambar tersebut daripada memperpanjang kemampuan merekam durasi sebuah tape (Dennis & Reinicke, 2004:2). Meskipun pada akhirnya Betamax juga merilis tape yang dapat merekam selama enam jam, mereka telah kalah start dan VHS sudah melesat jauh dalam kepopuleran dan angka penjualan. Penetrasi VHS ini menyebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Pada periode masa emas VHS ini, bersamaan dengan masa kejayaan MTV yang pertama mengudara pada tanggal 1 Agustus 1981 di Amerika Serikat yang ditandai dengan diputarnya lagu dengan pesan subliminal dan statement yang cukup percaya diri dari The Buggles berjudul “Video Killed The Radio Star” (Douris, 2021).
Henry Foundation yang merupakan seniman yang kini lebih dikenal sebagai founder dari band Goodnight Electric, tumbuh pada era MTV. Ia bercerita waktu umurnya menginjak SMA, omnya yang merupakan lulusan sekolah teknik di Jerman membuat parabola yang dapat menangkap gelombang siaran MTV. Henry takjub karena ada channel TV namun menyiarkan lagu layaknya radio. Lagunya pun ada tampilan gambar visual. Dari situ awal mulai ketertarikannya pada video klip musik (Tim Penyusun The Jadugar, 2020: 38). Waktu berjalan, Henry kian terasosiasi erat dengan MTV Indonesia sejak produktif dalam memproduksi video musik band atau musisi alternatif bersama Anggun Priambodo dan Nana Suryadi di bawah nama The Jadugar yang awal meledak pada kurun waktu 2002 hingga 2005. Tayangan MTV Indonesia era itu padat diisi video musik-video musik ciptaan The Jadugar dan juga kreator video musik lainnya, Cerahati (Hilmi, 2017).
MTV kala itu menjadi ujung tombak sebagai referensi anak muda yang membutuhkan pegangan sebagai identitias diri dengan menawarkan konten-konten yang segar yang tidak dipunyai channel lain, sehingga mereka dengan mudahnya menjadi kiblat utama anak muda di era itu. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Deunze & Jenkins (2008) di model bisnis klasik, hanya sedikit perusahaan media yang mampu menyeragamkan kultur yang sesuai dengan visinya melalui dominasi produksi dan distribusi konten media. Individu-individu yang terpapar oleh konten tersebut didefinisikan melalui perannya sebagai ‘konsumen’ daripada dilihat sebagai produsen–atau lebih baik lagi, partisipan dalam–budaya yang mengelilinginya. MTV dengan digdayanya mampu menjadi influence alternatif bagi pemuda yang kala itu jenuh dengan musik yang itu-itu saja. Musik, busana dan sikap anak muda era itu sangat dipengaruhi oleh MTV. MTV yang memutar musik luar dan dalam negeri 24 jam nonstop menyuguhkan siaran yang segar. Anak muda di kala itu terkesima dengan busana nyentrik bertabrakan warna ala Jimi Multazam di The Upstairs, cadasnya musik Koil, atau terlena dengan alunan suara merdu Arina, vokalis Mocca (Wiradiputra, 2018).
Henry bercerita awal ketertarikannya pada VHS (dan mungkin menjadi cikal bakal ide Downgrade Monday) bermula dari rasa penasaran sisi videomaker-nya yang ingin mengoleksi dan mengalami merekam dengan VHS analog (Solihun, 2019). Hal ini dikonfirmasi oleh Henry pada sebuah wawancara lain yang ia pernah berujar bahwa kamera-kamera analog 1980s-90s berformat VHS/S-VHS adalah kamera favoritnya (Boer, 2020).
Dalam pemeliharaan arsip elektronik, kita mengenal migrasi yang merupakan langkah mengatasi tantangan arsip elektronik dengan cara memindahkan data dan informasi sebuah arsip dari teknologi lama ke teknologi baru. Sedangkan downgrade (di konteks artikel ini) adalah kebalikannya; dari teknologi baru ke teknologi lama. Sampai artikel ini ditulis, terdapat empat video musik yang di-downgrade dalam proyek ini yang diunggah di kanal Youtube milik Henry, yaitu:
- Bedchamber – “Natural”, Henry Foundation sebagai sutradara dan produser.
- Fisikamatematika – “Conformation”, Henry Foundation sebagai sutradara.
- Zigi Zaga – “Kill the Noise”, Henry Foundation sebagai sutradara.
- Goodnight Electric – “The Supermarket I am In feat. Polypony”, Henry Foundation sebagai sutradara.
Di keempat video musik tersebut, Henry berperan sebagai produser dan/atau sutradara sehingga ia memiliki kebebasan untuk mengutak-atik video musik tersebut, termasuk men-downgrade ke format VHS. Seluruh video tersebut mulanya diolah secara modern; direkam dengan kamera digital beresolusi tinggi dan diedit menggunakan software editing di perangkat laptop atau personal computer. Namun untuk proyek Downgrade Monday ini, ia rela menempuh jalan yang lebih panjang dengan cara men-downgrade ke format VHS, kemudian mengalihmediakan ke file digital lagi, dan mengunggahnya di kanal Youtube miliknya. Keempat video musik di atas melalui proses downgrade yang sama.

Gambar 1. Video musik Bedchamber – “Natural” format high definition (kiri) dan format VHS (kanan).
Henry tidak menjelaskan teknis bagaimana Downgrade Monday dijalankan. Namun sebuah kanal Youtube menjelaskan tahapan downgrade sebuah video format digital menjadi format VHS. Dalam videonya, untuk melakukan downgrade diperlukan beberapa alat yang harus disiapkan, yaitu: tv analog, VCR, kaset VHS kosong, laptop atau komputer untuk memutar sumber video yang akan di-downgrade, kabel RCA, kabel HDMI, dan HDMI2AV (Valashard Toys N’ Tapes, 2020).

Gambar 2. Setup dalam downgrade video high definition ke format VHS oleh kanal Youtuber Valashard Toys N’ Tapes.
Setup dan langkah demi langkah yang dilakukan oleh Henry dalam proyek ini mungkin lebih kurang sama dengan cara tersebut. Ia sempat membagikan di akun Instagramnya tentang eksperimen dalam men-downgrade ini yaitu dengan mengkomparasikan still image original dari yang beresolusi tinggi, ke still image hasil downgrade.

Gambar 3. Perbandingan still image dari sebelum downgrade (kiri) dengan setelah downgrade (kanan)
Dari post Instagram di bawah ini, Henry sepertinya tidak berniat muluk-muluk, ia hanya ingin bersenang-senang saja dan dipertegas dengan kalimat terakhir di caption-nya: projek yang tidak bermanfaat namun cukup baik untuk dikonsumsi.

Gambar 4. Post mengenai Downgrade Monday dari Henry di akun Instagramnya
Selain hanya bersenang-senang saja dalam men-downgrade keempat video musik di atas, Henry juga mencoba mengkomersilkan proyek ini dengan rooster pertama adalah men-downgrade video musik milik musisi Harlan Boer dengan judul tape “Viva Video Harlan Boer”. VHS ini diproduksi oleh label HFMF Records dan tape ini berisi kompilasi video musik Harlan Boer selama tahun 2017-2020. VHS kompilasi video musik ini terjual habis di salah satu e-commerce dengan jumlah 10 tape.

Gambar 5. Post Instagram Harlan Boer terkait penjualan tape VHS “Viva Video Harlan Boer”.
Menarik jika melihat di zaman untuk menikmati tayangan film, mendengarkan musik atau bahkan bertransaksi memesan makanan bisa dilakukan hanya dengan sentuhan di layar gawai sembari rebahan, ternyata masih ada peminat–baik intensinya sebagai kolektor atau menggunakan dengan semestinya–VHS ini. Mengapa ini bisa terjadi? Apa daya tarik dari VHS sehingga masih digunakan atau dinikmati beberapa orang saat ini? Sebuah riset oleh Aharoni (2019) memberikan gambaran dalam sebuah bagan berikut:

Gambar 6. Bagan mode proses divergensi VHS.
Bagan di atas merupakan hasil riset dari Aharoni yang menjelaskan proses konversi VHS ke format digital yang disebabkan keusangan teknologi dengan mewawancarai tujuh laki-laki dan sembilan perempuan lintas profesi, usia 30 hingga 70 yang tinggal di Israel. Meminjam bagan tersebut, apa yang dilakukan Henry dalam proyek Downgrade Monday ini dapat dikategorikan dalam atribut digital conversion → the preserved converted videocassettes → emotional responses → nostalgia. Dari aspek emosional, video konversi VHS memberikan sense of nostalgia yang berasal dari kesan autentik dengan tampilan audiovisual khas video VHS (Aharoni, 2019:6).
Pengalaman dengan VHS juga dibagikan oleh pengguna lain yang didapat dari penelusuran yang telah dilakukan. Terdapat beberapa alasan di antaranya nilai-nilai sense of ownership, ‘mesin waktu’, dan keraguan terhadap keamanan dan longevity media digital.
Hannah Johnson, seorang wakil jaksa di Indiana, Amerika Serikat adalah salah satu penikmat VHS yang masih ia gunakan sampai sekarang. Hannah juga mengaku berlangganan streaming online seperti Netflix, Amazon Prime, dan lain-lain. Namun baginya VHS beda. Baginya, menyalakan VHS itu hal yang menenangkan, terutama setelah hari yang melelahkan di kantor. VHS memberinya kesempatan flashback menjadi anak kecil lagi yang tidak perlu memikirkan pekerjaan atau situasi politik. Selain itu, Sarah Godlin (seorang copywriter di kantor administrasi Humboldt State University di California) juga merasakan hal yang sama. Menurutnya, ketika menonton tape-tape VHS itu seperti membuka jendela ke masa lalu. Menonton dengan VHS bukan soal kualitas, melainkan keringkasan dalam menikmatinya. (Arkin, 2020).
Alasan selanjutnya adalah terdapat sense of ownership terhadap media yang dimiliki secara fisik dibanding media streaming. Jika suatu saat layanan internet berhenti, atau layanan streaming yang sudah kita berlangganan memutus akses terhadap konten yang kita sukai, kita menjadi terputus aksesnya terhadap konten tersebut. Tapi tidak dengan VHS, DVD, CD, kaset dan media fisik lainnya. Mereka bersifat kepemilikan dan bisa mengakses dan menikmatinya kapan saja, tanpa tergantung penyedia jasa layanan pihak ketiga. Keraguan dalam mempercayai format digital ini disebut Sterne (2009) sebagai ‘paradox of preservation’. Sterne menjelaskan bahwa file digital ‘tidak menua dengan baik’ karena ia mengalami glitches dan kerusakan karena kerapuhan peralatan digital. Akibatnya, ia sewaktu-waktu dapat hancur dan informasi yang terkandung di dalamnya turut musnah. Sebaliknya, media analog lebih tahan lama dari waktu ke waktu, hingga perlahan menghilang (Sterne, 2009: 64).
Nilai-nilai intangible di atas adalah bukti bahwa arsip berupa VHS dapat menjadi ‘kendaraan’ yang dapat melintasi dimensi ruang dan waktu. Ketika memulai proyek Downgrade Monday ini, Henry mungkin tidak memiliki niat grande dan mulia seperti berkampanye agar teknologi VHS tetap lestari. Barangkali alasan yang ia pijak adalah sesederhana penasaran iseng-iseng bagaimana wujud video musik yang ia sutradarai jika diproses dengan VHS. Ia mungkin hanya berniat ingin mereplikasi vibe retro ke video musik-video musiknya. Namun keisengannya ini membuktikan bahwa meski teknologi yang telah usang seperti VHS yang sudah terlewat jauh dari masa emasnya, ternyata ia tidak serta merta mati. VHS dapat menyimpan nilai-nilai nostalgia dan memorabilia, dan tantangan technological obsolescence menjadi tak begitu berarti bagi penikmatnya. Bahwa nilai-nilai sentimental–walau tidak dapat mencegah, setidaknya dapat menambah nafas teknologi yang usang menjadi kian panjang.
Referensi:
Aharoni, Matan 2019, “When obsolete technology meets convergence culture: The case of VHS videocassette”, Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies, Los Angeles: Sage Publications, pp. 6.
Arkin, Daniel 2020, “VHS tapes are back in vogue as everything old is new again”, NBC News 7 Maret, diakses pada 19 Juni 2023, <https://www.nbcnews.com/pop-culture/movies/vhs-tapes-are-back-vogue-everything-old-new-again-n1151611>.
Boer, Harlan 2020, “Wawancara The Jadugar: 15 Tahun Mengobrak-abrik Video Musik Indonesia”, Pop Hari Ini 7 Februari, diakses pada 19 Juni 2023, <https://pophariini.com/wawancara-the-jadugar-15-tahun-mengobrak-abrik-video-musik-indonesia/>.
Dennis, Alan R., & Reinicke, Bryan A., 2004, ‘Beta versus VHS and the acceptance of electronic brainstorming technology’, MIS Quarterly Vol. 28 No. 1, Management Information Systems Research Center: University of Minnesota, pp. 2.
Deunze, Mark. & Jenkins, Henry. 2008, ‘Editorial Convergence Culture’, Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies Vol. 14. London: Sage Publications, pp. 5.
Douris, Raina 2021, “The First 100 Videos Played On MTV”, NPR Music, diakses pada 20 Juni 2023, <https://www.npr.org/sections/world-cafe/2021/07/30/1021813462/the-first-100-videos-played-on-mtv>.
Hilmi, Muhammad 2017, “Anggota Rahasia The Jadugar”, Vice Indonesia 7 Maret, diakses pada 19 Juni 2023, <https://www.vice.com/id/article/4xpwjj/anggota-rahasia-the-jadugar>.
Lin, Siew L., dkk 2003, “Problems in the preservation of electronic records”, Library Review Vol. 52 No. 3, pp. 119.
Rustam, Muhammad. 2021. Pengelolaan Arsip Elektronik, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Solihun, Soleh 2019, THE SOLEH SOLIHUN INTERVIEW: HENRY FOUNDATION, video, Youtube 22 Juli, diakses pada 27 Juni 2023, <https://www.youtube.com/watch?v=S_OwW0fzDks&t=4491s>.
Sterne, Jonathan 2009, The preservation paradox in digital audio. Sound Souvenirs: Audio Technologies, Memory and Cultural Practices. Amsterdam: Amsterdam University Press, pp. 55–68.
Tim Penulis The Jadugar. 2020. The Jadugar: 15 Tahun Mengobrak-abrik Video Musik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Valashard Toys N’ Tapes 2020, How To Record A Video From Your Computer Onto A VHS Tape, video, Youtube 9 Juli, diakses pada 19 Juni 2023, <https://www.youtube.com/watch?v=iic3xg_7M4s&t=188s>.
Wiradiputra, Angga 2018, “Kilas Balik Musik Alternatif Indonesia”, Djarum Cokelat 14 Maret, diakses pada 9 Juli 2023, <https://www.djarumcoklat.com/article/kilas-balik-musik-alternatif-indonesia?page=17>.

Adhi Wirawan Dwi Pamungkas merupakan alumni D3 Kearsipan UGM angkatan 2014 yang saat ini bekerja di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Fokus tulisan dalam tema arsip audiovisual dan arsip digital.