Pos oleh :

tim editor

Ketika Arsip Tenggelam: Bagaimana Ketahanan Memori di Tengah Banjir Rob di Pekalongan?

Oleh: Nanik Lestari, Salsabilah Az Zahra & Afiyanti


Gelombang yang Menenggelamkan Ingatan

Di Pekalongan, sebuah kota batik di pesisir utara Jawa, air laut kini bukan lagi sekadar latar geografis, melainkan ancaman yang datang saban musim. Banjir rob,  air pasang yang menembus daratan tidak hanya menenggelamkan rumah dan sawah, tetapi juga menyapu bersih dokumen penting.  Ijazah, sertifikat tanah, dokumen-dokumen keluarga, pemerintah hingga catatan budaya lokal. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa yang hilang bukan hanya benda, tapi jejak memori kolektif.

Arsip, yang seharusnya menjadi “ingatan sosial” bagi masyarakat dan institusi, ikut hanyut bersama gelombang pasang. Ironisnya, perbincangan tentang perubahan iklim jarang menyorot bagaimana air rob menghapus catatan hidup warga pesisir. Pekalongan menjadi cermin bagaimana krisis iklim dan krisis memori berjalan beriringan dan bagaimana masyarakat berjuang menjaga ingatan mereka di tengah banjir yang terus datang tanpa undangan.

Dalam wacana global, kajian arsip dan perubahan iklim masih jarang disandingkan. Padahal, menurut Tansey (2015), arsip adalah entitas paling rapuh terhadap bencana alam: sekali terendam, tinta memudar, kertas hancur, dan bukti sejarah pun sirna. Di negara-negara berkembang, kerentanan ini semakin parah karena arsip lokal dikelola dengan sumber daya minim. Banyak kantor kelurahan tidak memiliki sistem digitalisasi, ruang penyimpanan kering, atau prosedur tanggap darurat. Akibatnya, ketika banjir datang, arsip pemerintah dan warga sama-sama tak terlindungi.

Studi kami di Pekalongan Barat, Degayu, dan Pasir Kraton Kramat menunjukkan betapa lemahnya perlindungan dokumen publik dan pribadi. Arsip sekolah rusak karena air asin, catatan kependudukan basah dan tak terbaca, dan dokumen keluarga yang menjadi bukti hak hukum maupun identitas sosial lenyap tanpa jejak. Kerusakan fisik hanyalah satu sisi, namun kerusakan yang lebih dalam adalah kerentanan sosial. Ketika memori komunitas tidak diakui dalam sistem kearsipan formal. Banyak cerita warga tentang banjir besar, kehilangan, dan perjuangan bertahan hidup tidak pernah masuk ke catatan resmi pemerintah. Di sinilah muncul kesenjangan besar catatan memori negara dan  masyarakat.

Perjuangan Masyarakat Merekam Memori

Upaya mengenang ingatan dilakukan warga Pekalongan dengan beberapa kegiatan ditengah situasi banjir rob. Dari wawancara beberapa pihak, penulis menemukan bahwa masyarakat pesisir mengembangkan cara-cara sederhana untuk menyelamatkan arsip:

  1. Menyimpan dokumen penting dalam wadah plastik atau galon air bekas.
  2. Memindahkan surat-surat keluarga ke rumah kerabat di daerah yang lebih tinggi.
  3. Mengeringkan kertas basah di bawah sinar matahari untuk menyelamatkan sebagian tulisan.
  4. Mendokumentasikan banjir melalui media sosial, foto ponsel, dan cerita lisan antarwarga.

Praktik ini bagi masyarakat bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga upaya mengarsipkan pengalaman merekam peristiwa, emosi, dan strategi adaptasi. Masyarakat di tengah keterbatasan, mereka menciptakan bentuk baru dari apa yang disebut arsip komunitas, yaitu catatan yang lahir dari solidaritas dan rasa ingin diingat. Konsep ini sejalan dengan gagasan Flinn, Caswell, dan Battley (2020), yang menekankan pentingnya keterlibatan warga dalam membentuk arsip mereka sendiri. Ketahanan arsip tidak lagi bergantung pada teknologi, tetapi pada partisipasi dan kesadaran kolektif. Memori komunitas sejatinya adalah sistem arsip yang hidup dan tersimpan dalam hubungan sosial, praktik budaya, dan pengalaman bersama.

Penelitian Viviane Frings-Hessami (2024) memberi sudut pandang menarik bahwa orang akan menyimpan catatan jika mereka memahami nilai informasi itu bagi hidupnya.  Dalam konteks Pekalongan, masyarakat yang sadar pentingnya dokumen mulai mencatat ulang kehidupannya baik dalam buku catatan, unggahan Facebook, maupun pesan WhatsApp. Beberapa ibu rumah tangga mencatat tanggal banjir, lokasi pengungsian, dan kerusakan rumah di buku tulis anak mereka. Catatan itu bukan hanya data, tetapi bentuk rekam jejak eksistensi bahwa mereka ada dan bertahan. Praktik seperti ini secara tidak langsung mencerminkan literasi kearsipan pribadi, seperti kemampuan untuk menilai, memilih, dan melestarikan informasi penting dalam keseharian. Seperti halnya perempuan Bangladesh dalam studi Frings-Hessami, warga Pekalongan juga menemukan nilai baru dalam menyimpan catatan. Mereka melakukan itu bukan karena aturan birokrasi, tetapi karena kebutuhan akan memori dan pembelajaran.

Ketimpangan Adaptasi dan Tantangan Kebijakan

Temuan lapangan terkait dengan pengelolaan arsip masyarakat dan tantangan perubahan iklim menunjukkan adanya ketimpangan geografis dan kebijakan. Di wilayah utara Pekalongan, tanggul dan infrastruktur pertahanan banjir telah dibangun, tetapi disebelah barat kawasan Pekalongan masih banyak kelurahan yang masih tergenang berminggu-minggu tanpa intervensi signifikan karena limpasan wilayah lain. Kondisi ini berimplikasi langsung pada sistem pengelolaan arsip. Kondisi kantor kelurahan yang terendam menimbulkan kehilangan dokumen administratif, sekaligus kelemahan kelurahan untuk mendukung masyarakat untuk melindungi arsip pribadi mereka. Padahal, menurut pendekatan climate governance, ketahanan informasi seharusnya menjadi bagian dari kebijakan adaptasi iklim daerah.

Digitalisasi memang sering disebut solusi, tetapi tanpa jaringan listrik stabil dan dukungan sumber daya manusia, digitalisasi justru menjadi janji kosong. Solusi terbaik ditengah kondisi seperti ini menurut penulis adalah membangun sistem penyimpanan ganda yang aman baik fisik dan digital, kemudian pelatihan literasi ketahanan arsip bagi masyarakat pesisir, serta integrasi data komunitas ke dalam basis data pemerintah daerah.

Kisah Pekalongan memberi pelajaran penting bahwa arsip bukan sekadar kumpulan kertas, melainkan refleksi dari daya hidup masyarakat. Saat banjir rob merusak dokumen, masyarakat justru memperkuat solidaritas dengan mencatat, memotret, menceritakan, dan berbagi. Inilah bentuk ketahanan kultural yang tidak bisa diukur dengan indeks ekonomi semata. Dalam konteks ini, arsip menjadi instrumen ketahanan iklim:

  1. Upaya merekam akan menyimpan jejak adaptasi dan kebijakan lokal.
  2. Upaya merekam pengalaman masyarakat akan menjadi sejarah untuk generasi berikutnya.
  3. Upaya merekam menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan berbasis memori.

Upaya-upaya merekam memori  dapat dilakukan melalui pembuatan catatan pribadi, foto, rekaman video/suara, penyelamatan dokumen, memindahkan penyimpanan, duplikasi dan back up media. Hal-hal seperti ini tentu sangat memerlukan kesadaran personal mengenai literasi pengelolaan arsip, kolaborasi antara lembaga arsip, pemerintah daerah, dan komunitas masyarakat, sehingga arsip harus dipahami bukan sebagai beban administratif, melainkan sebagai strategi bertahan hidup di tengah krisis lingkungan. Ketika air rob menggenang Kota Pekalongan, yang ikut tenggelam bukan hanya rumah dan jalan, tapi juga identitas kolektif. Namun dari balik genangan, muncul kesadaran baru bahwa menjaga arsip berarti menjaga diri sendiri. Masyarakat mungkin tidak menyebut diri mereka arsiparis, tapi tindakan sederhana mereka menulis, mencatat, merekam, menyimpan, mengingat adalah bentuk nyata dari kearsipan yang berdaya. Dari sinilah harapan muncul bahwa di antara air yang pasang dan memori yang nyaris hilang, masih ada upaya untuk mengingat dan bertahan.

Referensi

  • Battley, B. (2020). Community memory as living recordkeeping.
  • Caswell, M. (2014). Toward a survivor-centered archives.
  • Flinn, A., Stevens, M., & Shepherd, E. (2009). Whose memories, whose archives?
  • Frings-Hessami, V. (2024). Motivations for personal recordkeeping practices. Archival Science, 24(1), 83–99.
  • Tansey, E. (2015). Archives in a changing climate.
  • Wessell, N., & Thorpe, K. (2023). Regional archives and climate risk.

Nanik Lestari, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Salsabilah Az Zahra, merupakan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Afiyanti, merupakan mahasiswa Magister Administrasi Publik, FISIPOL UGM

Dari Lumpur ke Layar: Digitalisasi Harapan di Kota Banjir Rob

Oleh: Nanik Lestari


Dari ponsel sederhana, warga pesisir Kota Pekalongan menulis ulang sejarah mereka. Merekam memori melalui media sosial menjadi jembatan antara kenangan yang hampir hilang dan masa depan yang masih bisa diingat.”

Transformasi Arsip Media Sosial di Wilayah Pesisir

Setiap kali pasang laut tiba di Kota Pekalongan, air asin menyusup perlahan ke dalam rumah-rumah penduduk. Bagi banyak keluarga, banjir rob bukan lagi peristiwa alam, melainkan rutinitas tahunan. Seperangkat dokumen yang tersimpan personal atau keluarga, instansi bukan hanya rusak tetapi juga lenyap. Padahal, menurut Franks (2018), sejak zaman prasejarah hingga era digital, manusia selalu berusaha mendokumentasikan pengalaman hidupnya menggunakan media yang tersedia sejak dulu baik dari lukisan gua hingga era sekarang yang berbasis digital. Pola ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan rekam jejak tidak pernah berubah, hanya medianya yang berganti.

Dalam konteks Pekalongan, masyarakat kini mulai berpindah, mereka mulai mengabadikan momen mereka melalui media sosial dengan unggahan gambar, foto, video. Situasi ini menunjukkan adanya perubahan media pencatatan yang adaptif dari konvensional kertas ke penyimpanan digital, sebagai wujud adaptasi atas ancaman iklim. Franks (2018) menelusuri sejarah panjang pencatatan manusia, dari token tanah liat di Mesopotamia hingga munculnya lemari arsip pada akhir abad ke-19. Setiap perubahan teknologi, selalu diikuti oleh cara baru untuk menyimpan dan mengelola informasi. Pergeseran ini tidak hanya teknis, tetapi juga budaya terkait cara manusia mengingat turut berubah bersama alat yang digunakan.

Bila di masa lalu arsip berbentuk tablet atau papirus yang rapuh, kini risiko serupa dihadapi dalam bentuk arsip digital yang rentan hilang tanpa backup atau password. Pekalongan menjadi contoh nyata bagaimana manusia mengulangi pola sejarah itu, mereka menemukan media baru untuk menyelamatkan memori lama. Masyarakat yang dulu menyimpan dokumen dalam plastik kini memotret dokumen tersebut, mengunggahnya ke WhatsApp, lalu mengirimkan salinannya ke anggota keluarga lain. Ini mungkin terlihat sederhana, namun sejatinya merupakan evolusi praktik kearsipan komunitas di era bencana.

Membangun Sistem Pengelolaan Arsip Elektronik untuk Ketahanan Kota

Teknologi baru seperti media sosial, cloud storage, dan kecerdasan buatan telah mengubah cara arsip diciptakan, disimpan, dan dipelihara. Salah satu fenomena menarik adalah munculnya social media records, dimana arsip yang tercipta melalui interaksi digital di media sosial. Dalam konteks Kota Pekalongan, praktik ini sangat nyata. Setiap kali banjir rob datang, warga mengunggah foto genangan di Facebook, Instagram @pekalonganinfo, dan membagikan video evakuasi di TikTok, atau memperingatkan tetangga melalui grup WhatsApp. Aktivitas ini menciptakan arsip sosial baru, yang merekam bukan hanya peristiwa bencana, tetapi juga solidaritas komunitas. Franks (2018) menjelaskan bahwa konten media sosial harus dipandang sebagai rekaman yang merepresentasikan kebijakan dan aktivitas organisasi atau komunitas, sehingga layak diarsipkan. Dengan kata lain, unggahan warga Pekalongan di media sosial merupakan dokumen sejarah digital yang layak dipertahankan sebagai bagian dari memori kota.

Dalam praktiknya, warga Pekalongan menjadi pengelola arsip di komunitas digital. Mereka tidak hanya menyelamatkan dokumen pribadi, tetapi juga mendokumentasikan perubahan lingkungan, jalur evakuasi, dan dinamika sosial melalui unggahan daring. Ini menunjukkan pergeseran dari paradigma arsip formal ke arsip partisipatif, di mana masyarakat berperan aktif menjaga ingatan kolektif. Konsep community archives yang dikemukakan Flinn, Stevens, dan Shepherd (2009) menjadi relevan di sini, bahwa  masyarakat dapat mengambil alih kendali atas memori mereka sendiri. Franks (2018) memperkuat hal itu dengan menekankan bahwa teknologi tidak hanya mempercepat pembuatan arsip, tetapi juga mendemokratisasi proses penciptaannya. Siapapun kini bisa menjadi perekam sejarah menggunakan ponsel dan jaringan sosial.

Kemudian, sebagaimana diingatkan Franks (2018), munculnya teknologi baru juga menghadirkan risiko baru, terutama terkait keamanan data, otentisitas, dan keberlanjutan penyimpanan. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab pengelolaan arsip digital harus tetap mengikuti prinsip dasar kearsipan: autentik, reliabel, dan dapat diakses. Dalam konteks ini masyarakat juga menghadapi dilema ini setiap hari. Banyak yang kehilangan salinan digital karena ponsel rusak akibat banjir atau akun terserang malware. Pemerintah daerah juga belum memiliki sistem cloud-based record management yang andal untuk menyimpan data vital warga. Situasi ini menggambarkan apa yang disebut Franks (2018) sebagai tantangan kebijakan dan kapasitas kelembagaan dalam era media sosial dan data besar. Ia menyarankan agar lembaga publik memperbarui kebijakan pengelolaan arsip sebelum mengadopsi teknologi baru, termasuk pelatihan pegawai terkait literasi pengelolaan arsip digital/ elektronik yang menjadi bagian dari strategi adaptasi iklim di daerah pesisir.

Bagi masyarakat Kota Pekalongan, digitalisasi arsip bukan hanya upaya modernisasi, tetapi strategi bertahan hidup. Saat arsip fisik tenggelam, data digital menjadi satu-satunya jembatan menuju pelayanan publik, bantuan sosial, atau pendidikan. Di sisi lain, Franks (2018) menegaskan pentingnya memahami kembali definisi “arsip” dalam konteks teknologi baru. Ia menulis bahwa pertanyaan seperti “What is a record?” dan “How can we capture it?” kini harus dijawab ulang karena batas antara dokumen resmi dan interaksi sosial semakin kabur. Dalam kerangka itu, unggahan media sosial, data sensor rob, dan catatan komunitas lingkungan semuanya dapat dipandang sebagai rekaman kehidupan ekologis sebagai bentuk baru dari arsip yang merekam hubungan antara manusia, ruang, dan iklim.

Upaya kota untuk mewujudkan ketahanan informasi khususnya di wilayah pesisir, diperlukan sinergitas teknologi dan kebijakan. Berdasarkan panduan National Archives and Records Administration (NARA) yang dikutip Franks (2018), organisasi perlu memastikan:

  1. Identifikasi dan klasifikasi arsip digital, termasuk dari media sosial.
  2. Pengaturan akses dan keamanan data sesuai kebutuhan publik.
  3. Pembuatan retention schedule untuk dokumen sementara maupun permanen.
  4. Integrasi antara arsip komunitas dan arsip resmi untuk mencegah kehilangan memori kolektif.

Pendekatan ini dapat diterapkan di tingkat lokal melalui arsip komunitas berbasis cloud. Kelurahan dapat menjadi titik simpul penyimpanan data warga dan catatan lingkungan, dengan kolaborasi perguruan tinggi dan lembaga arsip nasional. Dengan demikian, upaya warga Pekalongan memotret dokumen mereka bukan sekadar tindakan spontan, tetapi bagian dari transformasi menuju sistem informasi yang tangguh terhadap perubahan iklim.

 

Referensi

  • Flinn, A., Stevens, M., & Shepherd, E. (2009). Whose memories, whose archives? Independent community archives, autonomy, and the mainstream. Archival Science, 9(1–2), 71–86.
  • Franks, P. C. (2018). Records and Information Management (2nd ed.). ALA Neal-Schuman.

Nanik Lestari, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Kompetensi Digital Arsiparis: Pilar Kunci Transformasi Kearsipan Nasional

Oleh: Rina Rakhmawati, Titi Susanti, Khoirunnisa Nurhayati, & Emanuella Karamoy


Era Digital dan Tantangan Baru bagi Arsiparis

Digitalisasi pemerintahan telah mengubah secara signifikan rupa pengelolaan arsip di Indonesia. Dahulu, arsip hanya berupa berkas kertas di ruang penyimpanan, kini arsip beredar dalam sistem elektronik, tersimpan di server, komputasi awan, dan aplikasi. Perubahan ini menghadirkan tantangan besar bagi arsiparis, yang kini dituntut untuk memiliki kompetensi digital—mulai dari pengelolaan arsip elektronik, metadata, keamanan siber, hingga preservasi digital.

Asal kemunculan arsiparis sebagai pengelola arsip di Indonesia sesungguhnya sulit dilacak rekam jejaknya. Dokumen yang merekam istilah arsiparis yang dapat ditemukan penulis pun masih terbatas pada produk hukum, satu eksemplar modul pembelajaran yang diterbitkan oleh Universitas Terbuka, dan arsip laporan kunjungan salah satu guru besar kearsipan, Eric Ketelaar di Arsip Nasional RI. Pada dasarnya, arsiparis di Indonesia tidak lagi terbatas sebagai individu yang memiliki jabatan fungsional di lingkungan pemerintahan, tetapi ditekankan pada individu yang memiliki kompetensi bidang kearsipan dan diberikan tugas dan tanggung jawab terkait kegiatan kearsipan. Dengan pemahaman tersebut, kompetensi menjadi hal prinsip yang harus diperhatikan para pengambil kebijakan terutama untuk menentukan apakah individu layak disebut sebagai arsiparis. Namun demikian, pengesahan ruang lingkup kompetensi arsiparis, baru mendapatkan kekuatan legalitasnya setelah diberlakukannya Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor SKJ.10 Tahun 2022 Tentang Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis. Produk hukum tersebut juga masih terbatas berlaku untuk individu yang berada di lingkungan pemerintahan.

Lantas, bagaimana kondisi nyata kompetensi digital arsiparis Indonesia saat ini? Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan zaman?

Kondisi Eksisting: Kompetensi yang Belum Terpeta dengan Jelas

Dalam Peraturan Menteri PANRB Nomor 3 Tahun 2024 dan pedoman Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), kemampuan digital disebut secara umum menjadi bagian dari penguasaan teknologi informasi. Tetapi, pemetaan kompetensi digital yang lebih detail dan terstandar untuk arsiparis masih belum sepenuhnya terekam. Berdasarkan hasil observasi penulis, kondisi di lapangan terkait kompetensi arsiparis dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Kemampuan dasar digital sudah ada, namun terbatas pada pengoperasian perangkat lunak perkantoran dan komunikasi daring
  2. Pemanfaatan aplikasi kearsipan digital yang belum merata khususnya di daerah, terutama jika dikaitkan dengan penggunaan aplikasi Srikandi
  3. Terdapat kesenjangan lintas generasi dimana arsiparis dengan usia muda, dinilai lebih adaptif terhadap teknologi, meski sebetulnya lemah dalam hal prinsip kearsipan; sedangkan arsiparis senior, walaupun memiliki kekuatan dalam hal prinsip kearsipan, namun terlihat kurang luwes dalam hal adaptasi ekosistem digital
  4. Keterbatasan pelatihan teknis khusus kearsipan digital, terutama preservasi digital, keamanan data, dan manajemen metadata

Dengan kondisi tersebut, kompetensi digital arsiparis secara umum masih bersifat individual dan belum terstruktur secara nasional. Di sisi lain, tuntutan pekerjaan kian kompleks di era SPBE dan big data. Penulis juga menemukan bahwa keahlian spesifik (yang dimaknai penulis sebagai kompetensi) dalam proses rekrutmen arsiparis melalui CASN tahun anggaran 2024 juga berseberangan dengan indikator standar kompetensi nasional yang diterbitkan oleh Kemenpan dan RB. Terkait kompetensi teknis berkaitan dengan teknologi informasi, menurut standar nasional tersebut dijelaskan sebagai indikator “Mengumpulkan, memilah dan mengelompokkan data dalam rangka pembinaan kearsipan” dan indikator “Mampu melaksanakan proses pemberkasan arsip terjaga dan mampu menyediakan arsip dinamis yang utuh dan lengkap sesuai prosedur/pedoman kerja dengan menggunakan instrumen klasifikasi arsip serta klasifikasi keamanan dan akses arsip, termasuk pengelolaan arsip terjaga, baik secara manual ataupun elektronik (sesuai pengelolaan SPBE/Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik))”. Keduanya merupakan kompetensi untuk jabatan fungsional arsiparis terampil. Untuk jenjang keahlian, disebutkan dengan indikator “Mampu melakukan penelusuran referensi dan pencarian data dalam rangka menyusun Standard Operasional Prosedur Administrasi Pemerintahan” pada arsiparis ahli pertama, dan indikator “…identifikasi dan penilaian arsip statis yang akan direproduksi/alih media” pada arsiparis ahli muda.

Tuntutan Kebutuhan: Dari Literasi Digital Menuju Kecerdasan Arsip Digital

Pemerintah (dalam hal ini Arsip Nasional RI) harus melakukan evaluasi ulang pada pemetaan kompetensi arsiparis yang bersinggungan dengan pengelolaan arsip di lingkungan digital. Kompetensi digital yang harus dimiliki oleh arsiparis tidak hanya berkaitan dengan operasionalisasi dari aplikasi Srikandi, juga tidak hanya terbatas pada pengarsipan website (Setyawan et al., 2025) maupun kurasi digital (Feng & Richards, 2018). Penulis mengasumsikan bahwa kompetensi digital untuk arsiparis secara implisit berada di masing-masing area kompetensi, baik pengelolaan arsip dinamis, pengelolaan arsip statis, pembinaan kearsipan, maupun penyajian arsip menjadi informasi. Namun karena kompetensi tersebut ditetapkan dalam standar nasional, maka kompetensi tersebut harus dapat teridentifikasi secara eksplisit.

Kompetensi teknis pengelolaan arsip digital yang semakin kompleks tidak dapat kemudian dipahami jabatan fungsional arsiparis harus bergeser memiliki latar belakang pendidikan bidang teknologi informasi. Secara filosofis keilmuan, kearsipan memiliki landasan fundamental yang berbeda dengan teknologi informasi sehingga berimbas juga pada praktiknya di lapangan. Hal ini dipertegas oleh (Prater, 2018) yang menguraikan beberapa contoh perbedaan pemahaman istilah dalam teknologi informasi antara praktisi TIK dengan arsiparis, misalnya backup yang dimaknai oleh praktisi IT sebagai “…copies of data made periodically then stored offline, and preferably offsite. The purpose of a backup is to restore the data on a system to a point in time before the data became corrupted or disappeared. The copies of data are kept for a period of time, then should be erased or overwritten” (Prater, 2018), sedangkan arsiparis memahaminya sebagai “…Backing up files is not the same as preserving them. Backups are solely designed to mitigate the risk of data loss in the event of an accident or attack, providing for business continuity. They are not designed to store data permanently offline for later retrieval. However, many of the tools and techniques used for making and maintaining backups can also be repurposed for digital preservation activities” (Prater, 2018). Mendapati fakta tersebut, keterampilan lainnya yang harus dibangun oleh arsiparis adalah kemampuan berkomunikasi dan membangun kerja sama dengan profesi bidang teknologi informasi dengan tetap mempertahankan profesionalisme sebagai arsiparis.

Catatan Penutup

Dalam konteks transformasi pemerintahan digital, arsiparis tidak cukup hanya “melek digital”. Arsiparis, khususnya di pemerintahan, harus memiliki kecerdasan digital, kemampuan strategis menggunakan teknologi untuk menjamin akuntabilitas dan memori. Kompetensi digital pun bukan sekadar kemampuan teknis mengoperasikan perangkat keras maupun lunak, tetapi kemampuan membangun tata kelola dalam suatu ekosistem digital. Dengan pemetaan kompetensi digital yang sistematis, jelas, dan terarah, Indonesia diharapkan dapat melahirkan arsiparis visioner dan profesional, tangguh secara substansi, cerdas secara digital, dan berperan strategis dalam mewujudkan pemerintahan berbasis data dan akuntabilitas publik.


Rina Rakhmawati, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Titi Susanti, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Khoirunnisa Nurhayati, merupakan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Emanuella Karamoy, merupakan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Mengelola Arsip dalam Perspektif Islam dan Nilai Pancasila: Menjaga Memori, Membangun Peradaban

Oleh: Arif Rahman Bramantya & Faizatush Sholikhah


Pengantar: Arsip, Cermin Kesadaran Bangsa

Arsip sering kali dianggap sebagai benda mati (sampah)—tumpukan kertas, dokumen tua, atau berkas administrasi yang hanya memenuhi lemari kantor maupun kolong tangga, bahkan ditempatkan di gudang. Namun kenyataannya, arsip adalah urat nadi sebuah peradaban. Ia menyimpan rekam jejak kehidupan, identitas, hingga legitimasi hukum sebuah bangsa. Tanpa adanya arsip, sebuah masyarakat akan mudah kehilangan arah dan rentan diombang-ambingkan kabar palsu atau manipulasi, serta kehilangan memori. Hal ini berarti hilangnya peradaban.

Indonesia memiliki banyak pelajaran pahit terkait kelalaian dalam mengelola arsip. Kebakaran di Gedung Kejaksaan Agung pada 2020, misalnya, menimbulkan kerugian besar karena dokumen penting ikut terbakar dan hangus. Ada pula kasus penjualan arsip pribadi Presiden Sukarno yang menyangkut surat nikah dan akta cerai, yang memperlihatkan betapa rapuhnya kesadaran publik terhadap pentingnya arsip sebagai rekam jejak sejarah.

Kejadian-kejadian tersebut bukan sekadar insiden administratif, tetapi juga cerminan lemahnya kesadaran kolektif terhadap arsip yang nantinya menjadi memori sejarahnya sendiri. Arsip yang hilang atau rusak tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengancam peradaban dan keberlanjutan budaya bangsa.

Maka pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana kita bisa membangun kesadaran yang sistematis tentang pentingnya arsip? Apakah ada kerangka etis, filosofis, agamis yang bisa menjadi fondasi kuat dalam praktik pengelolaan arsip di Indonesia?

Di sinilah ajaran Islam sebagai salah satu tawaran perspektif menarik. Prinsip-prinsip Islam bukan hanya bicara tentang akidah dan ibadah, tetapi juga tentang keteraturan sosial, tanggung jawab, dan bahkan mengatur tentang pengelolaan informasi. Dengan melihat arsip melalui lensa Islam, kita dapat menemukan dasar normatif untuk memperlakukan arsip bukan sekadar sebagai dokumen teknis, melainkan sebagai amanah moral dalam berkehidupan untuk mewujudkan tertib sosial budaya bangsa, serta membangun peradaban.

Arsip dalam Perspektif Islam

Dalam literatur keislaman, kita tidak menemukan istilah “arsip” secara langsung. Namun, Al-Qur’an dan hadits berulang kali menekankan pentingnya pencatatan, kesaksian, dan kejujuran dalam pengelolaan informasi. Beberapa ayat Al-Qur’an bisa dibaca sebagai prinsip dasar kearsipan. Prinsip pencatatan tertuang dalam QS Al-Baqarah: 282. Ayat terpanjang dalam Al-Qur’an, yang secara eksplisit memerintahkan umat Islam untuk mencatat setiap transaksi utang piutang. Bukan sekadar catatan informal, melainkan catatan resmi yang disaksikan, ditulis dengan benar, dan dijaga keasliannya. Jika ayat ini diperluas maknanya, maka jelas bahwa Islam menekankan pentingnya rekam jejak tertulis dalam semua urusan sosial. Catatan ini bukan sekadar dokumentasi pribadi, melainkan juga bentuk tanggung jawab sosial dan perlindungan hukum. Dalam konteks modern, perintah ini sejalan dengan konsep arsip autentik, utuh, dan dapat dipercaya.

Kemudian prinsip klarifikasi (tabayyun) dalam QS Al-Hujurat: 6. Ayat tersebut menjelaskan bahwa umat Islam diingatkan untuk melakukan klarifikasi sebelum mempercayai sebuah berita. Ayat ini menegaskan bahwa menerima informasi tanpa verifikasi bisa menimbulkan kekacauan sosial. Prinsip tabayyun ini sangat relevan dengan dunia kearsipan. Arsip tidak boleh hanya sekadar dikumpulkan, ia harus diverifikasi, dijaga keabsahannya, dan dikelola agar tidak menimbulkan disinformasi. Di era banjir informasi seperti sekarang, tabayyun menjadi mekanisme sosial yang penting untuk membedakan arsip yang valid dengan sekadar hoaks.

Begitu pula dengan sejarah Islam yang juga menyajikan teladan berharga. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Abu Bakar As-Siddiq menghadapi kenyataan banyak penghafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Umar bin Khattab mengusulkan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak hilang.

Tugas ini dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit dengan prosedur ketat bahwa setiap ayat harus diverifikasi melalui hafalan minimal dua orang, memiliki bukti tertulis, dan disaksikan oleh dua saksi. Sistem verifikasi berlapis ini merupakan contoh nyata bagaimana Islam sejak awal mengajarkan prinsip autentikasi dokumen. Kisah ini memberi pelajaran penting: pengelolaan arsip bukan sekadar teknis, tetapi bagian dari menjaga amanah agama dan peradaban.

Arsip di Era Digital: Tantangan Baru

Jika di masa lalu arsip identik dengan kertas, kini kita hidup di era digital. Jejak percakapan WhatsApp, email, unggahan Instagram, hingga dokumen Google Drive, semuanya adalah dokumen yang menyimpan memori pribadi maupun kolektif. Masalahnya, banyak orang tidak sadar bahwa arsip digital juga harus dikelola. Lupa kata sandi email, kehilangan akses cloud, atau bahkan terkena serangan siber bisa berarti kehilangan dokumen penting. Ini adalah permasalahan mendasar. Bedanya, kali ini bukan terbakar api, melainkan “terbakar” oleh kelalaian keamanan digital.

Kasus kebocoran data pribadi di Indonesia menegaskan hal ini. Dari data KTP hingga rekam medis pasien rumah sakit, semua termasuk arsip yang sangat sensitif. Ketika data jatuh ke tangan yang salah, dampaknya bisa berbahaya: pencurian identitas, penipuan daring, bahkan diskriminasi sosial.

Dalam konteks ini, prinsip Islam menjadi sangat relevan. Mengelola arsip digital bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga tanggung jawab moral. Menjaga kata sandi, melindungi privasi, dan berhati-hati membagikan informasi adalah bentuk nyata dari tatsabbut (kehati-hatian) dan tabayyun (klarifikasi).

Arsip dan Tertib Sosial Budaya

Mengapa arsip begitu penting bagi kehidupan sosial? Jawaban sederhananya adalah karena arsip sebagai fondasi tertib sosial budaya. Masyarakat yang abai terhadap arsip cenderung menghadapi masalah administratif, korupsi, hingga hilangnya kepercayaan publik. Sebaliknya, bangsa yang sadar arsip biasanya lebih tertib hukum, transparan, dan akuntabel. Dalam konteks Indonesia, budaya lisan yang masih dominan membuat kesadaran arsip tumbuh lambat. Banyak masyarakat baru menyadari pentingnya arsip ketika mereka kehilangan dokumen penting, seperti akta kelahiran atau sertifikat tanah. Padahal, pengelolaan arsip yang baik bisa mencegah konflik sosial, memperkuat legitimasi, dan melindungi hak-hak warga negara. Jika arsip-arsip ini hilang atau disalahgunakan, maka masalah akan muncul. Karena itu, kesadaran arsip harus diperkenalkan sejak dini.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia juga mengajarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dalam pengelolaan arsip.

  • Ketuhanan: arsip adalah amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab moral.
  • Kemanusiaan: arsip melindungi hak-hak dasar manusia, seperti identitas dan status hukum.
  • Persatuan: arsip menyimpan memori kolektif bangsa, yang menjadi perekat identitas nasional.
  • Demokrasi: arsip mendukung transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.
  • Keadilan sosial: arsip menjamin akses informasi yang adil bagi seluruh masyarakat.

Dengan demikian, praktik kearsipan dapat dibaca sebagai implementasi nyata Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Revolusi Mental Kearsipan

Meski regulasi dan teknologi arsip sudah berkembang, tantangan terbesar Indonesia tetaplah mentalitas masyarakat terhadap arsip. Banyak orang masih menganggap arsip sebagai beban administratif, bukan sebagai aset. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah revolusi mental kearsipan, yakni (1) Kesadaran Individu – Setiap orang harus menyadari pentingnya arsip pribadi, mulai dari ijazah hingga surat tanah, dan menjaganya dengan baik, (2) Gerakan Sadar Tertib Arsip – Kesadaran arsip harus ditumbuhkan dalam keluarga, sekolah, hingga komunitas, (3) Kebijakan Publik – Pemerintah harus mendorong sistem kearsipan yang transparan, inklusif, dan berbasis teknologi digital, (3) Etika Profesi – Arsiparis sebagai garda depan harus bekerja bukan sekadar teknis, tetapi juga etis, dengan menjunjung tinggi nilai agama dan Pancasila. Kearsipan juga memerlukan gerakan serupa, agar masyarakat melihat arsip sebagai sesuatu yang penting, bukan usang.

Arsip bukan hanya catatan administratif, tetapi juga warisan budaya. Ia menyimpan memori kolektif bangsa—dari naskah kuno, dokumen kolonial, hingga rekaman digital masa kini. Mengelola arsip berarti menjaga identitas bangsa. Kehilangan arsip berarti kehilangan bagian dari sejarah. Tanpa arsip, bangsa akan sulit belajar dari masa lalu dan merencanakan masa depan.

Penutup: Arsip sebagai Amanah Peradaban

Arsip bukan sekadar dokumen, melainkan amanah peradaban. Islam memberi dasar moral, Pancasila memberi dasar ideologis, dan ilmu kearsipan memberi dasar teoritis dan teknis. Sinergi ketiganya akan menghasilkan sistem kearsipan yang kuat, berkelanjutan, dan relevan bagi masyarakat modern. Dengan demikian kita bisa membangun kesadaran baru: arsip adalah bukti sejarah, pelindung hak, dan fondasi tertib sosial budaya. Jika bangsa ini ingin maju, maka kesadaran kearsipan harus tumbuh bukan hanya di kantor-kantor pemerintah, tetapi juga di rumah, sekolah, dan hati setiap warga negara. Arsip bukan lagi “beban administratif”, melainkan nadi peradaban yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Maka ajaran Islam, nilai pancasila, kearsipan relevan untuk diintegrasikan dalam membangun peradaban, sejalan dengan tujuan global Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 16: Peace, Justice and Strong Institutions.


Arif Rahman Bramantya, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

 

Faizatush Sholikhah, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM, Manajer Jaminan Mutu DBSMB

Downgrade Monday: Estetika VHS Arsip Elektronik dan Kontradiksinya dengan Tantangan Keusangan Teknologi

Oleh: Adhi Wirawan Dwi Pamungkas


Salah satu masalah utama dan sulit terhindarkan dalam pemeliharaan arsip elektronik adalah masalah keusangan teknologi (technological obsolescence) yang dipengaruhi oleh perkembangan dan inovasi teknologi yang lebih baru. Data dan informasi yang terekam di teknologi yang lama perlahan akan dipindahkan ke teknologi terbaru dan teknologi tua itu tak lagi digunakan. Contoh seperti CD, DVD dan storage device sangat cocok digunakan sebagai media back-up dan media simpan jangka pendek, tapi mereka akan usang—bahkan terlupakan—dalam periode waktu yang singkat ketika tipe media simpan baru dan spesifikasi terbaru dikembangkan. Hal yang sama juga dialami format file, karena ‘standar’ saat ini untuk format file pasti akan bergeser atau hilang dalam hitungan dekade. Sederhananya, data hanya permanen ketika perangkat keras dan perangkat lunak untuk mengaksesnya masih populer dipakai (Lin, dkk 2003:119). Sejalan dengan hal tersebut, akan lahir arsip elektronik dengan bentuk-bentuk barunya mengikuti perkembangan teknologi.

Rustam (2021) menjelaskan arsip elektronik merupakan arsip yang isi informasinya disimpan dalam media penyimpanan elektronik yang dihasilkan, dikomunikasikan, disimpan atau diakses dengan menggunakan peralatan elektronik. Pemanfaatan arsip elektronik digunakan dalam berbagai bidang baik dari pemerintahan, swasta dan bahkan di industri kreatif. Musik yang merupakan salah satu subsektor industri kreatif juga telah memanfaatkan arsip elektronik, salah satu pemanfaatannya adalah arsip audiovisual berupa video musik band atau musisi yang diproduksi dan diedarkan di perangkat-perangkat elektronik. Di samping perkembangan musik dan teknologi yang kian cepat, video musik masih berperan signifikan dalam mempromosikan karya sebuah band. Video musik membantunya dengan dua cara: eksposur dan pendapatan. Produksi video musik dibuat dengan maksud untuk mendorong eksposur melalui saluran-saluran media yang ada baik penayangan di televisi, streaming, atau diputar di area publik yang harapannya akan terkonversi ke penjualan album atau merchandise. Sehingga cukup penting bagi band atau musisi untuk membuat video musik yang menggambarkan aspek artistik dan mendorong angka penjualan mereka. Lalu apa yang terjadi jika sebuah arsip video musik dari band atau musisi era modern yang diproduksi dengan teknologi termutakhir, beresolusi tinggi, kemudian di-downgrade menjadi sebuah video musik dengan teknologi yang telah usang, tidak lagi diproduksi massal, dan beresolusi rendah juga tak tajam? Di tengah kemudahan teknologi saat ini, mengapa hal ini dilakukan? Proyek inilah yang dicetuskan oleh Henry Irawan atau lebih dikenal dengan moniker “Henry Foundation”, yang bernama Downgrade Monday.

Downgrade Monday adalah proyek yang digarap oleh Henry dengan cara merekam kembali video musik digital beresolusi tinggi ke format tape Video Home System (VHS). VHS sendiri merupakan tape perekam audiovisual berbentuk pita yang diproduksi oleh Victor Company of Japan (JVC) di tahun 1976. VHS merevolusi sumber hiburan bagi masyarakat yang semula hanya bisa menikmati tayangan televisi sesuai jam-jam yang ditentukan oleh channel televisi, kemudian dengan hadirnya VHS masyarakat mempunyai kebebasan untuk dapat merekamnya dan menikmatinya kapan saja dengan menggunakan tape VHS dan perangkat VCR.

Pada kemunculannya, VHS memiliki kompetitor bernama Betamax. Namun seiring berjalannya waktu, VHS lebih unggul dan lebih digemari masyarakat karena harga yang lebih murah dan kemampuannya yang dapat merekam dengan durasi yang lebih panjang, yaitu selama enam jam di mana Betamax hanya mampu merekam tiga jam. Kekalahan penjualan Betamax ciptaan Sony kala itu disebabkan karena mereka beranggapan masyarakat lebih peduli terhadap kualitas gambar daripada kemampuan sebuah tape dalam merekam dengan durasi yang panjang. Tim Sony terlalu fokus dalam pengembangan aspek kualitas gambar tersebut daripada memperpanjang kemampuan merekam durasi sebuah tape (Dennis & Reinicke, 2004:2). Meskipun pada akhirnya Betamax juga merilis tape yang dapat merekam selama enam jam, mereka telah kalah start dan VHS sudah melesat jauh dalam kepopuleran dan angka penjualan. Penetrasi VHS ini menyebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.

Pada periode masa emas VHS ini, bersamaan dengan masa kejayaan MTV yang pertama mengudara pada tanggal 1 Agustus 1981 di Amerika Serikat yang ditandai dengan diputarnya lagu dengan pesan subliminal dan statement yang cukup percaya diri dari The Buggles berjudul “Video Killed The Radio Star” (Douris, 2021).

Henry Foundation yang merupakan seniman yang kini lebih dikenal sebagai founder dari band Goodnight Electric, tumbuh pada era MTV. Ia bercerita waktu umurnya menginjak SMA, omnya yang merupakan lulusan sekolah teknik di Jerman membuat parabola yang dapat menangkap gelombang siaran MTV. Henry takjub karena ada channel TV namun menyiarkan lagu layaknya radio. Lagunya pun ada tampilan gambar visual. Dari situ awal mulai ketertarikannya pada video klip musik (Tim Penyusun The Jadugar, 2020: 38). Waktu berjalan, Henry kian terasosiasi erat dengan MTV Indonesia sejak produktif dalam memproduksi video musik band atau musisi alternatif bersama Anggun Priambodo dan Nana Suryadi di bawah nama The Jadugar yang awal meledak pada kurun waktu 2002 hingga 2005. Tayangan MTV Indonesia era itu padat diisi video musik-video musik ciptaan The Jadugar dan juga kreator video musik lainnya, Cerahati (Hilmi, 2017).

MTV kala itu menjadi ujung tombak sebagai referensi anak muda yang membutuhkan pegangan sebagai identitias diri dengan menawarkan konten-konten yang segar yang tidak dipunyai channel lain, sehingga mereka dengan mudahnya menjadi kiblat utama anak muda di era itu. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Deunze & Jenkins (2008) di model bisnis klasik, hanya sedikit perusahaan media yang mampu menyeragamkan kultur yang sesuai dengan visinya melalui dominasi produksi dan distribusi konten media. Individu-individu yang terpapar oleh konten tersebut didefinisikan melalui perannya sebagai ‘konsumen’ daripada dilihat sebagai produsen–atau lebih baik lagi, partisipan dalam–budaya yang mengelilinginya. MTV dengan digdayanya mampu menjadi influence alternatif bagi pemuda yang kala itu jenuh dengan musik yang itu-itu saja. Musik, busana dan sikap anak muda era itu sangat dipengaruhi oleh MTV. MTV yang memutar musik luar dan dalam negeri 24 jam nonstop menyuguhkan siaran yang segar. Anak muda di kala itu terkesima dengan busana nyentrik bertabrakan warna ala Jimi Multazam di The Upstairs, cadasnya musik Koil, atau terlena dengan alunan suara merdu Arina, vokalis Mocca (Wiradiputra, 2018).

Henry bercerita awal ketertarikannya pada VHS (dan mungkin menjadi cikal bakal ide Downgrade Monday) bermula dari rasa penasaran sisi videomaker-nya yang ingin mengoleksi dan mengalami merekam dengan VHS analog (Solihun, 2019). Hal ini dikonfirmasi oleh Henry pada sebuah wawancara lain yang ia pernah berujar bahwa kamera-kamera analog 1980s-90s berformat VHS/S-VHS adalah kamera favoritnya (Boer, 2020).

Dalam pemeliharaan arsip elektronik, kita mengenal migrasi yang merupakan langkah mengatasi tantangan arsip elektronik dengan cara memindahkan data dan informasi sebuah arsip dari teknologi lama ke teknologi baru. Sedangkan downgrade (di konteks artikel ini) adalah kebalikannya; dari teknologi baru ke teknologi lama. Sampai artikel ini ditulis, terdapat empat video musik yang di-downgrade dalam proyek ini yang diunggah di kanal Youtube milik Henry, yaitu:

  1. Bedchamber – “Natural”, Henry Foundation sebagai sutradara dan produser.
  2. Fisikamatematika – “Conformation”, Henry Foundation sebagai sutradara.
  3. Zigi Zaga – “Kill the Noise”, Henry Foundation sebagai sutradara.
  4. Goodnight Electric – “The Supermarket I am In feat. Polypony”, Henry Foundation sebagai sutradara.

Di keempat video musik tersebut, Henry berperan sebagai produser dan/atau sutradara sehingga ia memiliki kebebasan untuk mengutak-atik video musik tersebut, termasuk men-downgrade ke format VHS. Seluruh video tersebut mulanya diolah secara modern; direkam dengan kamera digital beresolusi tinggi dan diedit menggunakan software editing di perangkat laptop atau personal computer. Namun untuk proyek Downgrade Monday ini, ia rela menempuh jalan yang lebih panjang dengan cara men-downgrade ke format VHS, kemudian mengalihmediakan ke file digital lagi, dan mengunggahnya di kanal Youtube miliknya. Keempat video musik di atas melalui proses downgrade yang sama.

Gambar 1. Video musik Bedchamber – “Natural” format high definition (kiri) dan format VHS (kanan).

Henry tidak menjelaskan teknis bagaimana Downgrade Monday dijalankan. Namun sebuah kanal Youtube menjelaskan tahapan downgrade sebuah video format digital menjadi format VHS. Dalam videonya, untuk melakukan downgrade diperlukan beberapa alat yang harus disiapkan, yaitu: tv analog, VCR, kaset VHS kosong, laptop atau komputer untuk memutar sumber video yang akan di-downgrade, kabel RCA, kabel HDMI, dan HDMI2AV (Valashard Toys N’ Tapes, 2020).

Gambar 2. Setup dalam downgrade video high definition ke format VHS oleh kanal Youtuber Valashard Toys N’ Tapes.

Setup dan langkah demi langkah yang dilakukan oleh Henry dalam proyek ini mungkin lebih kurang sama dengan cara tersebut. Ia sempat membagikan di akun Instagramnya tentang eksperimen dalam men-downgrade ini yaitu dengan mengkomparasikan still image original dari yang beresolusi tinggi, ke still image hasil downgrade.

Gambar 3. Perbandingan still image dari sebelum downgrade (kiri) dengan setelah downgrade (kanan)

 Dari post Instagram di bawah ini, Henry sepertinya tidak berniat muluk-muluk, ia hanya ingin bersenang-senang saja dan dipertegas dengan kalimat terakhir di caption-nya: projek yang tidak bermanfaat namun cukup baik untuk dikonsumsi.

Gambar 4. Post mengenai Downgrade Monday dari Henry di akun Instagramnya

Selain hanya bersenang-senang saja dalam men-downgrade keempat video musik di atas, Henry juga mencoba mengkomersilkan proyek ini dengan rooster pertama adalah men-downgrade video musik milik musisi Harlan Boer dengan judul tape “Viva Video Harlan Boer”. VHS ini diproduksi oleh label HFMF Records dan tape ini berisi kompilasi video musik Harlan Boer selama tahun 2017-2020. VHS kompilasi video musik ini terjual habis di salah satu e-commerce dengan jumlah 10 tape.

Gambar 5. Post Instagram Harlan Boer terkait penjualan tape VHS “Viva Video Harlan Boer”.

Menarik jika melihat di zaman untuk menikmati tayangan film, mendengarkan musik atau bahkan bertransaksi memesan makanan bisa dilakukan hanya dengan sentuhan di layar gawai sembari rebahan, ternyata masih ada peminat–baik intensinya sebagai kolektor atau menggunakan dengan semestinya–VHS ini. Mengapa ini bisa terjadi? Apa daya tarik dari VHS sehingga masih digunakan atau dinikmati beberapa orang saat ini? Sebuah riset oleh Aharoni (2019) memberikan gambaran dalam sebuah bagan berikut:

Gambar 6. Bagan mode proses divergensi VHS.

Bagan di atas merupakan hasil riset dari Aharoni yang menjelaskan proses konversi VHS ke format digital yang disebabkan keusangan teknologi dengan mewawancarai tujuh laki-laki dan sembilan perempuan lintas profesi, usia 30 hingga 70 yang tinggal di Israel. Meminjam bagan tersebut, apa yang dilakukan Henry dalam proyek Downgrade Monday ini dapat dikategorikan dalam atribut digital conversion → the preserved converted videocassettes → emotional responsesnostalgia. Dari aspek emosional, video konversi VHS memberikan sense of nostalgia yang berasal dari kesan autentik dengan tampilan audiovisual khas video VHS (Aharoni, 2019:6).

Pengalaman dengan VHS juga dibagikan oleh pengguna lain yang didapat dari penelusuran yang telah dilakukan. Terdapat beberapa alasan di antaranya nilai-nilai sense of ownership, ‘mesin waktu’, dan keraguan terhadap keamanan dan longevity media digital.

Hannah Johnson, seorang wakil jaksa di Indiana, Amerika Serikat adalah salah satu penikmat VHS yang masih ia gunakan sampai sekarang. Hannah juga mengaku berlangganan streaming online seperti Netflix, Amazon Prime, dan lain-lain. Namun baginya VHS beda. Baginya, menyalakan VHS itu hal yang menenangkan, terutama setelah hari yang melelahkan di kantor. VHS memberinya kesempatan flashback menjadi anak kecil lagi yang tidak perlu memikirkan pekerjaan atau situasi politik. Selain itu, Sarah Godlin (seorang copywriter di kantor administrasi Humboldt State University di California) juga merasakan hal yang sama. Menurutnya, ketika menonton tape-tape VHS itu seperti membuka jendela ke masa lalu. Menonton dengan VHS bukan soal kualitas, melainkan keringkasan dalam menikmatinya. (Arkin, 2020).

Alasan selanjutnya adalah terdapat sense of ownership terhadap media yang dimiliki secara fisik dibanding media streaming. Jika suatu saat layanan internet berhenti, atau layanan streaming yang sudah kita berlangganan memutus akses terhadap konten yang kita sukai, kita menjadi terputus aksesnya terhadap konten tersebut. Tapi tidak dengan VHS, DVD, CD, kaset dan media fisik lainnya. Mereka bersifat kepemilikan dan bisa mengakses dan menikmatinya kapan saja, tanpa tergantung penyedia jasa layanan pihak ketiga. Keraguan dalam mempercayai format digital ini disebut Sterne (2009) sebagai ‘paradox of preservation’. Sterne menjelaskan bahwa file digital ‘tidak menua dengan baik’ karena ia mengalami glitches dan kerusakan karena kerapuhan peralatan digital. Akibatnya, ia sewaktu-waktu dapat hancur dan informasi yang terkandung di dalamnya turut musnah. Sebaliknya, media analog lebih tahan lama dari waktu ke waktu, hingga perlahan menghilang (Sterne, 2009: 64).

Nilai-nilai intangible di atas adalah bukti bahwa arsip berupa VHS dapat menjadi ‘kendaraan’ yang dapat melintasi dimensi ruang dan waktu. Ketika memulai proyek Downgrade Monday ini, Henry mungkin tidak memiliki niat grande dan mulia seperti berkampanye agar teknologi VHS tetap lestari. Barangkali alasan yang ia pijak adalah sesederhana penasaran iseng-iseng bagaimana wujud video musik yang ia sutradarai jika diproses dengan VHS. Ia mungkin hanya berniat ingin mereplikasi vibe retro ke video musik-video musiknya. Namun keisengannya ini membuktikan bahwa meski teknologi yang telah usang seperti VHS yang sudah terlewat jauh dari masa emasnya, ternyata ia tidak serta merta mati. VHS dapat menyimpan nilai-nilai nostalgia dan memorabilia, dan tantangan technological obsolescence menjadi tak begitu berarti bagi penikmatnya. Bahwa nilai-nilai sentimental–walau tidak dapat mencegah, setidaknya dapat menambah nafas teknologi yang usang menjadi kian panjang.

Referensi:

Aharoni, Matan 2019, “When obsolete technology meets convergence culture: The case of VHS videocassette”, Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies, Los Angeles: Sage Publications, pp. 6.

Arkin, Daniel 2020, “VHS tapes are back in vogue as everything old is new again”, NBC News 7 Maret, diakses pada 19 Juni 2023, <https://www.nbcnews.com/pop-culture/movies/vhs-tapes-are-back-vogue-everything-old-new-again-n1151611>.

Boer, Harlan 2020, “Wawancara The Jadugar: 15 Tahun Mengobrak-abrik Video Musik Indonesia”, Pop Hari Ini 7 Februari, diakses pada 19 Juni 2023, <https://pophariini.com/wawancara-the-jadugar-15-tahun-mengobrak-abrik-video-musik-indonesia/>.

Dennis, Alan R., & Reinicke, Bryan A., 2004, ‘Beta versus VHS and the acceptance of electronic brainstorming technology’, MIS Quarterly Vol. 28 No. 1, Management Information Systems Research Center: University of Minnesota, pp. 2.

Deunze, Mark. & Jenkins, Henry. 2008, ‘Editorial Convergence Culture’, Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies Vol. 14. London: Sage Publications, pp. 5.

Douris, Raina 2021, “The First 100 Videos Played On MTV”, NPR Music, diakses pada 20 Juni 2023, <https://www.npr.org/sections/world-cafe/2021/07/30/1021813462/the-first-100-videos-played-on-mtv>.

Hilmi, Muhammad 2017, “Anggota Rahasia The Jadugar”, Vice Indonesia 7 Maret, diakses pada 19 Juni 2023, <https://www.vice.com/id/article/4xpwjj/anggota-rahasia-the-jadugar>.

Lin, Siew L., dkk 2003, “Problems in the preservation of electronic records”, Library Review Vol. 52 No. 3, pp. 119.

Rustam, Muhammad. 2021. Pengelolaan Arsip Elektronik, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Solihun, Soleh 2019, THE SOLEH SOLIHUN INTERVIEW: HENRY FOUNDATION, video, Youtube 22 Juli, diakses pada 27 Juni 2023, <https://www.youtube.com/watch?v=S_OwW0fzDks&t=4491s>.

Sterne, Jonathan 2009, The preservation paradox in digital audio. Sound Souvenirs: Audio Technologies, Memory and Cultural Practices. Amsterdam: Amsterdam University Press, pp. 55–68.

Tim Penulis The Jadugar. 2020. The Jadugar: 15 Tahun Mengobrak-abrik Video Musik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Valashard Toys N’ Tapes 2020, How To Record A Video From Your Computer Onto A VHS Tape, video, Youtube 9 Juli, diakses pada 19 Juni 2023, <https://www.youtube.com/watch?v=iic3xg_7M4s&t=188s>.

Wiradiputra, Angga 2018, “Kilas Balik Musik Alternatif Indonesia”, Djarum Cokelat 14 Maret, diakses pada 9 Juli 2023, <https://www.djarumcoklat.com/article/kilas-balik-musik-alternatif-indonesia?page=17>.


Adhi Wirawan Dwi Pamungkas merupakan alumni D3 Kearsipan UGM angkatan 2014 yang saat ini bekerja di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Fokus tulisan dalam tema arsip audiovisual dan arsip digital.

Penyebaran Aplikasi SRIKANDI di Indonesia: Sinergi Ketangguhan Sosial Budaya dan SDG’s Industri, Inovasi, Infrastruktur

Oleh: Titi Susanti, Rina Rakhmawati, Andinie Putri Az Zaida


Pendahuluan

Di tengah era digitalisasi yang pesat, pengelolaan arsip dinamis sebagai fondasi transparansi dan akuntabilitas pemerintahan menghadapi tantangan kompleks. Aplikasi SRIKANDI (Sistem Informasi Kearsitean Nasional Digital) hadir sebagai inovasi strategis untuk mengoptimalkan pengelolaan arsip elektronik di Indonesia. Pengadopsian SRIKANDI tidak hanya mencerminkan komitmen pemerintah terhadap modernisasi birokrasi, tetapi juga berkontribusi pada dua agenda utama: Flagship KETANGGUHAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur .

Untuk memahami dinamika penyebaran SRIKANDI, analisis menggunakan kerangka Learning, Competition, Imitation, dan Coercion (LCIC) yang dikembangkan oleh Shipan dan Volden (2006) menjadi relevan. Model ini mengidentifikasi empat mekanisme difusi kebijakan: pembelajaran dari praktik sukses, tekanan kompetitif, tiruan terhadap entitas berprestise, dan pemaksaan institusional. Artikel ini mengkaji bagaimana mekanisme LCIC mendorong adopsi SRIKANDI di berbagai kementerian, seperti Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), serta sinerginya dengan agenda nasional dan global.

Analisis Penyebaran SRIKANDI Berdasarkan Mekanisme LCIC

  1. Learning (Pembelajaran)

Pembelajaran menjadi mekanisme awal adopsi SRIKANDI. Kementerian seperti Kemenag dan Kemenkumham mempelajari keberhasilan implementasi SRIKANDI di kementerian lain, terutama dalam hal efisiensi biaya dan peningkatan layanan publik. Contohnya, Kemenkumham meniru model integrasi SRIKANDI dengan sistem perizinan elektronik untuk mempercepat proses penerbitan dokumen hukum.

  1. Competition (Persaingan)

Tekanan kompetitif muncul dari kebutuhan untuk memenuhi standar tata kelola pemerintahan yang modern. Kemenkes, misalnya, mengadopsi SRIKANDI untuk menghadapi tuntutan transparansi dalam pengelolaan data kesehatan pasca-pandemi, seiring dengan langkah Kementerian Keuangan yang telah lebih dulu mengimplementasikannya.

  1. Imitation (Emulasi)

Beberapa kementerian mengadopsi SRIKANDI karena melihat prestise kementerian lain yang telah berhasil. Kemenaker, yang ingin meningkatkan citra sebagai instansi inovatif, meniru model implementasi SRIKANDI dari Kemenperin, yang dinilai memiliki reputasi kuat dalam digitalisasi.

  1. Coercion (Pemaksaan)

Regulasi pemerintah pusat menjadi faktor kritis. Kementerian PANRB mengeluarkan kebijakan wajib penggunaan SRIKANDI bagi seluruh kementerian/lembaga, dengan sanksi administratif bagi instansi yang tidak memenuhi target. Contohnya, Kementerian Desa diwajibkan mengintegrasikan SRIKANDI dengan sistem pendanaan desa untuk memastikan transparansi pengelolaan anggaran.

Sinergi SRIKANDI dengan KETANGGUHAN SOSIAL BUDAYA dan SDGs

  1. Mendukung KETANGGUHAN SOSIAL BUDAYA

SRIKANDI memperkuat ketahanan budaya dengan mendigitalkan arsip sejarah dan tradisi lokal. Misalnya, Kemenag menyimpan dokumen keagamaan tradisional dalam format digital, memudahkan akses generasi muda tanpa mengubah esensi nilai budaya. Selain itu, pelatihan penggunaan SRIKANDI bagi ASN meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam menghadapi perubahan teknologi.

  1. Berkontribusi pada SDGs Tujuan 9

Implementasi SRIKANDI menciptakan infrastruktur digital yang inklusif, seperti integrasi dengan sistem e-government dan penyediaan layanan arsip berbasis aplikasi mobile. Inovasi ini juga mendorong kolaborasi antara pemerintah dan industri teknologi lokal dalam pengembangan platform berbasis open source .

Kesimpulan

Penyebaran aplikasi SRIKANDI dalam pengelolaan arsip dinamis di Indonesia merupakan contoh konkret sinergi antara inovasi teknologi, ketahanan sosial budaya, dan pembangunan berkelanjutan. Melalui mekanisme LCIC, SRIKANDI berhasil menembus resistensi birokrasi dan menciptakan standar baru dalam tata kelola pemerintahan. Dengan memperkuat integrasi SRIKANDI ke dalam agenda nasional dan global, Indonesia tidak hanya meningkatkan efisiensi administrasi, tetapi juga memperkokoh fondasi masyarakat digital yang tangguh dan inklusif.


Titi Susanti, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Rina Rakhmawati, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Andinie Putri Az Zaida, merupakan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Arsip, Prinsip Islam, dan Nilai Pancasila: Perspektif yang Terlupakan

Oleh: Arif Rahman Bramantya & Mareta Sayyidina R. R.


Dalam era digital yang kian deras, arsip sering kali dianggap sebagai sesuatu yang usang atau tak lagi relevan. Namun, bagaimana jika kita memandang arsip bukan sekadar kumpulan material yang berdebu, lawas, tetapi sebagai warisan berharga yang memiliki nilai historis dan sosial? berdasar pada prinsip Islam dan nilai Pancasila. Itulah sudut pandang unik yang ditawarkan dalam pengelolaan arsip. Yang menarik, Islam sebagai agama yang komprehensif ternyata memiliki tradisi panjang dalam pengelolaan informasi dan dokumentasi. Dari pencatatan wahyu di masa Nabi Muhammad SAW hingga pembukuan Al-Qur’an oleh Abu Bakar RA—semua merupakan bentuk praktik kearsipan yang patut menjadi teladan. Prinsip-prinsip inilah yang kini relevan untuk diintegrasikan dalam membangun budaya arsip yang tertib, etis, dan berdaya guna, sejalan dengan tujuan global Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 16: Peace, Justice and Strong Institutions.

Mengaitkan arsip dengan prinsip Islam

Dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 282 adalah ayat terpanjang dan berbicara langsung tentang pentingnya mencatat setiap transaksi. Hal ini menunjukkan bahwa dokumentasi memiliki peran penting dalam menjamin keadilan dan keteraturan sosial. Dalam menghadapi derasnya arus informasi, Islam mengajarkan prinsip tabayyun (klarifikasi) dan tatsabbut (kehati-hatian). Ini relevan dengan praktik kearsipan modern yang menekankan validitas, akurasi, dan keutuhan informasi.

Surat Al-Baqarah ayat 282 juga menjelaskan terkait standar dalam penciptaan arsip yakni mensyaratkan penulisan yang benar, jujur, dan adil tanpa mengurangi dan menambahkan sedikit pun. Hal ini sesuai dengan salah satu karakteristik arsip yang tercantum pada ISO-15489-1 yakni realibillitas (andal), dimana sebuah arsip yang andal ini harus memenuhi kriteria sebagai representasi lengkap dan akurat dari transaksi atau aktivitas yang dibuktikannya. Lebih lanjut, dalam perspektif kearsipan, prinsip dokumentasi dalam ayat ini sejalan dengan nilai guna sekunder arsip yakni nilai kebuktian. Dengan nilai kebuktian ini, arsip tidak hanya sebagai dokumentasi yang pasif tetapi bisa menjadi instrumen aktif untuk melindungi hak tiap individu dan menjamin akuntabilitas dalam setiap transaksi.

Prinsip ini bukan hanya soal tata kelola dokumen, tetapi juga budaya memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya—baik dalam konteks pribadi maupun institusi. Sayangnya, kesadaran arsip di Indonesia masih rendah. Banyak kasus penting, seperti hilangnya dokumen sejarah atau arsip publik, menunjukkan lemahnya sistem dan budaya arsip kita. Padahal, arsip bukan hanya dokumen masa lalu, tetapi juga aset masa depan. Kegagalan dalam merawatnya sama dengan memutus mata rantai sejarah dan identitas bangsa.

Mengaitkan arsip dengan nilai Pancasila

Arsip bukan sekadar instrumen administratif, tetapi juga sarana menjaga keadilan (sila ke-5), memperkuat persatuan (sila ke-3), dan menjunjung tinggi kemanusiaan (sila ke-2). Dengan demikian, arsip bisa menjadi penguat tertib sosial budaya jika dikelola dengan baik dan penuh kesadaran. Masyarakat modern dihadapkan pada risiko kehilangan memori kolektif akibat minimnya perhatian terhadap dokumentasi.

Dalam perspektif kearsipan, ketiga sila Pancasila tersebut membentuk hubungan kausal yang saling memperkuat. Pertama, arsip mendukung sila ke-5 (Keadilan Sosial) melalui nilai kebuktiannya (evidential value) yang mampu mengungkap ketidakadilan dan menjamin akuntabilitas kebijakan publik. Keadilan sosial yang terwujud melalui pengarsipan akan menjadi prasyarat untuk terpenuhinya sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), Dimana nilai informasional arsip berfungsi sebagai bukti yang dapat melindungi hak dasar manusia. Dengan terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab, hak tiap Masyarakat dapat terpenuhi secara merata sehingga meminimalkan potensi kesenjangan dan konflik. Kondisi ini pada akhirnya memperkuat sila ke-3 (Persatuan Indonesia). Tanpa pengelolaan arsip yang baik mustahil membangun hubungan antar sila ini.

Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam—seperti kejujuran, amanah, dan tanggung jawab—ke dalam praktik kearsipan, kita tidak hanya menjaga dokumen, tapi juga menjaga nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa. Pengelolaan arsip bukan sekadar kerja teknis, melainkan kerja kebudayaan. Ketika kita mengelola arsip dengan baik, kita sedang membangun masa depan bangsa dengan fondasi spiritual dan sosial yang kuat. Sudah saatnya gerakan sadar arsip menjadi bagian dari revolusi mental, didukung oleh nilai Islam dan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Mengelola arsip dengan prinsip Islam dalam mendukung SDGs bukan hanya langkah teknis, tapi langkah strategis membangun bangsa yang adil, berbudaya, dan berkelanjutan. Mari kita bangun gerakan sadar arsip. Karena masa depan bangsa dimulai dari lembaran-lembaran yang kita dokumentasikan hari ini.


Arif Rahman Bramantya, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

 

Mareta Sayyidina R.R., merupakan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Peran Lembaga Kearsipan dalam Pelestarian Khazanah Arsip dan Mendukung Sustainable Development Goals

Oleh: Waluyo


Lembaga kearsipan adalah tempat di mana bahan-bahan unik (disebut archives) yang tidak diterbitkan disimpan untuk penelitian. Menurut kamus Oxford, lembaga kearsipan adalah “tempat di mana catatan publik atau dokumen bersejarah disimpan,” dan “catatan sejarah atau dokumen yang dilestarikan.” (Glandt, 2021; 4). Di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam undang-undang bahwa lembaga kearsipan bertanggungjawab mengelola arsip statis; Pasal 9 angka (4) UU Nomor 43 tahun 2009 menyatakan pengelolaan arsip statis menjadi tanggung jawab Lembaga kearsipan.

Di Indonesia, keberadaan lembaga kearsipan telah diatur sedemikian rupa karena “kearsipan”  telah menjadi urusan negara. Meskipun demikian masih terdapat keterbatasan dalam pengaturan terkait lembaga kearsipan ini, terutama bahwa “lembaga kearsipan” hanya berada pada lembaga-lembaga pemerintahan (government). Pengaturan bahwa lembaga kearsipan terdiri dari lembaga kearsipan pada tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten kota dan pergurun tinggi negeri menimbulkan pertanyaan, lalu bagaimana dengan pengelolaan arsip statis pada sektor privat?

Secara jelas, dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa lembaga kearsipan  bertanggungjawab dalam mengelola arsip statis, artinya Lembaga kearsipan adalah lembaga pelestari memori kolektif dari semua pecipta arsip. Sebagai Lembaga pelestari, maka menjadi keniscayaan untuk memanfaatkan teknologi terbaru dari perkembagan teknologi informasi saat ini.

Lembaga kearsipan  tidak  secara tiba-tiba menjadi pelestari arsip (warisan budaya), karena materi arsip tersebut sesungguhnya tercipta pada unit-unit kerja. Perlu dipahami bahwa arsip sebelum mencapai hilir, yaitu warisan budaya, arsip akan melalui suatu perjalanan yang dimulai dari tahap penciptaan (creation) di hulu pada unit-unit terkecil dalam lingkup organisasi tersebut sebagai arsip dinamis.

Bagaimanapun arsip-arsip tercipta disemua sektor seiring aktivitasnya. Maka pengelolaan dan tentu terutama penyelamatan arsip menjadi satu kesatuan dengan manajemen organsasi. Selain itu, penegasan terkait pelestarian arsip sebagai warisan budaya harus menjadi kesadaran bersama.

Sesungguhnya tujuan akhir pengelolaan arsip adalah untuk melestarikan dan menjadikan arsip dapat digunakan oleh masyarakat (Schellenberg, 1996;224). Lembaga kearsipan memiliki tanggungjawab ganda yaitu pelestarian dan penggunaan (Holbert (1977:2) . Lembaga kearsipan dibentuk untuk melestarikan arsip yang berkaitan dengan bukti pelaksanaan kegiatan, peristiwa, prestasi intelektual serta pengembangan potensi yang melahirkan inovasi dan karya-karya pembangunan lainnya, yang berkaitan dengan fungsi pencipta-pencipta arsip.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan menyatakan bahwa lembaga kearsipan  wajib melaksanakan pengelolaan arsip statis yang diterima dari pencipta arsip.  Pengelolaan arsip statis dilakukan melalui kegiatan akuisisi, pengolahan, preservasi, akses dan pelayanan arsip statis dalam suatu sistem kearsipan nasional. Pengelolaan arsip statis ditujukan untuk menjamin keselamatan dan keamanan arsip sebagai bukti pertanggungjawaban nasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Arsip-arsip yang dilestarikan oleh lembaga kearsipan,  merupakan arsip statis, yaitu arsip yang dipermanenkan karena memiliki nilai guna sekunder. Nilai guna sekunder  merupakan fungsi arsip diluar dari instansi pencipta/pemiliknya dan memiliki  fungsi bagi masyarakat atau publik . Nilai guna sekunder arsip statis meliputi nilai guna kebuktian, nilai guna informasional dan nilai guna intrinsik.

Deklarasi Universal tentang Arsip, menyatakan bahwa “arsip merekam keputusan, tindakan dan memori. Arsip merupakan warisan yang unik dan tak tergantikan melalui dari satu generasi ke generasi lainnya. Arsip dikelola sejak penciptaan untuk melestarikan nilai guna dan maknanya. Arsip adalah sumber otoritatif informasi yang menopang kegiatan administrasi yang akuntabel dan transparan. Arsip memainkan peran penting dalam pengembangan masyarakat dengan menjaga dan menyumbang memori individu dan masyarakat. Akses terbuka terhadap arsip memperkaya pengetahuan kita terhadap masyarakat manusia, meningkatkan demokrasi, melindungi hak-hak warga negara dan meningkatkan kualitas hidup”. (ICA, UNESCO, 2011)

Untuk mewujudkan pelestarian arsip sabagai warisan yang unik, maka peran alih media merupakan hal yang sangat penting dan mendesak. Pernyataan merekam  keputusan, tindakan, dan memori, menguatkan bahwa arsip adalah rekaman, bukti, jejak dari setiap aktivitas, setiap tindakan. Oleh karenanya, maka arsip akan menjadi pusat ingatan. Demikian seorang sastrawan Pramudya Ananta Toer pernah mengatakan bahawa arsip membantu seseorang memperbaiki ingatan. Arsip menunjukkan kekuatan pribadi pemiliknya. Arsip tidak akan berbohong karena ia tidak bisa membantah dirinya sendiri”

Oleh sebab itu Lembaga kearsipan  mempunyai peran yang strategis dalam melestarikan arsip serta memasyarakatkan arsip untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pembangunan. Sesungguhnya tujuan akhir pengelolaan arsip adalah untuk melestarikan dan menjadikan arsip dapat digunakan oleh masyarakat (Schellenberg, 1996;224).

Dorongan budaya untuk mendirikan lembaga kearsipan (Public Records Office) sesuangguhnya berasal dari para sejarawan. Sejak abad ke-17 dan seterusnya telah berusaha untuk mengembangkan pengakuan publik terhadap nilai arsip. (Schellenberg, 1956; 4). Meskipun pada perkembangan berikutnya bukan hanya sejarawan yang berkepentingan terhadap arsip, semua cabang ilmu pada masa sekarang ini sesungguhnya memerlukan arsip. Ilmu-ilmu dasar yang bergerak pada masalah taksonomi, tidak bisa lepas dari perspektif sejarah, maka arsip menjadi sumber primernya.

Arsip yang dikelola oleh lembaga kearsipan adalah bagian penting dari warisan budaya komunitas global. Arsip berkontribusi untuk membangun dan memelihara budaya dunia “Archives are an essential part of the cultural heritage of the global community. They contribute to establishing and maintaining of the world’s culture” (Axel Plathe, official of the UNESCO, 1999).Kontribusi yang dimaksud terlihat peran penting pengelolaan arsip dalam pencapaian tujuan pembanguan berkelanjutan. Lembaga kearsipan berperan sebagai penyedia data dan informasi yang diperlukan untuk perencanaan, pemantauan, evaluasi, dan pengambilan keputusan.  Identifikasi terhadap 17 tujuan pembangunan berkelajutan menunjukkan kebutuhan arsip secara eksplisit tertulis pada kata kunci “informasi” dan “data”, yang keduanya adalah arsip.

 

Referensi

Armida Salsiah Alisjahbana dan Endah Murniningtya, 2018, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Konsep, Target dan  Strategi ., Implementasi, Bandung: Unpad Press.

Chrysanthopoulos, Christos, et al.,  “University archives: the research road travelled and the one ahead. Global Knowledge”, Memory and Communication Vol. 72 No. 1/2, 2023 pp. 44-68.

Dupont, Christian Yves, “Libraries, Archives, and Museums in the Twenty-First Century: Intersecting Missions, Converging Futures?   in  RBM A Journal of Rare Books Manuscripts and Cultural Heritage · March 2007

Duranti, Luciana, and Patricia C. Franks.eds. 2015. Encyclopedia of Archival Science.Rowman & Littlefield. Lanham • Boulder • New York • London.

Franks, Patricia C. 2021. The Handbook of Archival Practice, Rowman and Littlefield, London.


Waluyo merupakan pengajar di Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Meningkatkan Efisiensi Pemerintahan Melalui Teknologi: Pemanfaatan Aplikasi SRIKANDI dalam Pengelolaan Arsip Dinamis di Era SDG’s

Oleh: Titi Susanti


Dalam era digital yang terus berkembang, pemanfaatan teknologi informasi dalam sektor publik menjadi salah satu kunci untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), terutama dalam hal pemerintahan yang efisien dan transparan. Aplikasi SRIKANDI, sebagai platform pengelolaan arsip dinamis elektronik di instansi pemerintah, berperan penting dalam mendukung efisiensi administrasi dan akuntabilitas. Namun, penerimaan dan pemanfaatan teknologi ini sangat bergantung pada dua faktor utama yang diukur dalam Technology Acceptance Model (TAM) yaitu persepsi kebermanfaatan dan persepsi kemudahan penggunaan.

Persepsi Kebermanfaatan: Menilai Dampak Positif Aplikasi SRIKANDI

Menurut analisis yang dilakukan, persepsi kebermanfaatan aplikasi SRIKANDI mencerminkan keyakinan pengguna bahwa aplikasi ini dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pekerjaan mereka, khususnya dalam kegiatan surat-menyurat dan pengelolaan dokumen. Pengguna merasa bahwa aplikasi ini dapat mempercepat pekerjaan, meningkatkan kinerja, dan menyederhanakan proses kerja. Namun, manfaat yang dirasakan sangat bergantung pada kebutuhan spesifik masing-masing unit kerja di instansi pemerintah. Meskipun aplikasi ini memiliki potensi besar, penggunanya tidak selalu dapat merasakan manfaat yang sama karena perbedaan fungsi dan tugas antara satu unit dengan unit lainnya.

Persepsi Kemudahan Penggunaan: Kunci Penerimaan Teknologi

Faktor kedua yang memengaruhi penerimaan SRIKANDI adalah persepsi kemudahan penggunaan. Pengguna yang merasa bahwa aplikasi ini mudah dipelajari dan digunakan cenderung lebih terbuka terhadap teknologi ini. Antarmuka yang jelas, fleksibilitas dalam penggunaannya, serta kemudahan untuk dipelajari adalah beberapa aspek yang mendukung persepsi positif terhadap aplikasi SRIKANDI. Meski demikian, untuk memperluas adopsi dan memastikan penerimaan lebih luas, perlu dilakukan evaluasi dan peningkatan berkelanjutan pada aspek kemudahan penggunaan. Hal ini akan memastikan lebih banyak pegawai merasa nyaman dan efektif dalam menggunakan aplikasi tersebut.

Catatan akhir

Meskipun aplikasi SRIKANDI sudah memberikan kontribusi positif dalam pengelolaan arsip di instansi pemerintah, pengoptimalan pemanfaatan aplikasi ini masih memerlukan perhatian yang lebih mendalam terhadap dua aspek utama: memastikan pengguna merasakan manfaat sesuai dengan kebutuhan pekerjaan mereka, serta meningkatkan kemudahan penggunaan aplikasi agar lebih banyak pegawai dapat mengadopsinya dengan mudah dan efektif. Pengembangan lebih lanjut dari aplikasi ini, dengan memperhatikan kedua faktor tersebut, akan berperan penting dalam mendukung tercapainya tujuan SDGs terkait pemerintahan yang efisien, transparan, dan berbasis teknologi.

Dengan memaksimalkan pemanfaatan SRIKANDI, instansi pemerintah dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif, efisien, dan transparan, sejalan dengan komitmen global untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.


Titi Susanti merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Analisis Perlindungan Privasi dan Keamanan Data Pribadi: UU No 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

Oleh: Faizatush SholikhahLastria Nurtanzila


Yogyakarta, 18 November 2024 – Pemerintah mendorong digitalisasi di berbagai sektor, termasuk digitalisasi data-data pribadi. Sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang berkaitan dengan Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh, penelitian Perlindungan Privasi dan Keamanan Data Pribadi: UU No 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi berupaya melihat kesiapan penyimpanan data termasuk kesediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengelolanya. Permasalahan lemahnya keamanan data pribadi digital juga diikuti dengan perlunya peningkatan kesadaran masyarakat tentang keamanan data dan privacy. Penelitian ini berlangsung dari Mei hingga Oktober 2024 dan bertujuan untuk mengeksplorasi tantangan serta upaya perlindungan data pribadi di era digital dilihat dari UU No 27/2022 tentang pelindungan data pribadi.

Dian Puteri Ramadhani dkk (ed, 2023) dalam bukunya yang diterbitkan Routledge “Acceleration of Digital Innovation & Technology towards Society 5.0” merupakan kumpulan tulisan (proceeding) membahas pengguna pasar yang saat COVID 19 melanggan Game Online, berlangganan Video on Demand seperti Netflix, Disney+Hotstar Indonesia dimana masyarakat dalam mengakses layanan-layanan tersebut membutuhkan share data pribadi. Pendekatan studi fenomenologi dan kearsipan digunakan untuk membantu menggambarkan posisi fenomena literasi digital serta menganalisis aspek perlindungan privasi dan keamanan data pribadi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan kebijakan, dimana narasumber penelitian selaku individu akan ditanya pendapatnya terkait kebijakan-kebijakan dalam perlindungan privasi dan keamanan data pribadi.

Dalam konteks Indonesia, dimana transformasi digital berkembang pesat, pengembangan penyimpanan data digital yang dapat ditawarkan di pasar Indonesia diperlukan diiringi dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas keamanan data pribadi. Beberapa hal penting terkait perlindungan privasi dan keamanan data pribadi di Indonesia:

  1. Keterbatasan Regulasi: Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan pada tahun 2022, implementasinya masih menghadapi tantangan dalam hal penegakan hukum dan kesadaran masyarakat. Banyak lembaga yang belum sepenuhnya memahami dan menerapkan kebijakan perlindungan data pribadi dengan baik.
  2. Kesenjangan Pengetahuan Publik: Penelitian ini mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah non-perkotaan, masih minim pemahaman tentang pentingnya perlindungan data pribadi. Hal ini memungkinkan adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengeksploitasi data pribadi secara ilegal.

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan Indonesia dapat memperkuat sistem perlindungan data pribadi serta menciptakan kebijakan yang adil dan transparan terkait perlindungan privasi di era digital.


Faizatush Sholikhah & Lastria Nurtanzila merupakan pengajar dan Ketua Program Studi Sarjana Terapan Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.