Oleh: Lillyana Mulya & Shifa Fauzia Ramadhani
Prolog
Prinsip pengambilan keputusan secara tradisional dikaitkan dengan kecukupan informasi yang andal untuk membentuk alternatif pilihan pemecahan masalah, sementara informasi yang andal umumnya harus akurat untuk mewakili kebenaran. Metode pengambilan keputusan ini, kemudian mengarah pada pemahaman tentang ‘rasionalitas’ seseorang atau kelompok. Pengukuran informasi yang andal sering kali didasarkan pada konsistensinya jika dibandingkan dengan bukti lain, artinya jika dikonfirmasi, akan menjadi informasi yang objektif. Artikel ini mengklaim bahwa informasi yang andal dapat diukur tidak hanya berdasarkan kebenarannya, tetapi juga dapat didasarkan pada daya hasutnya, terutama dalam memobilisasi publik. Namun, dalam iklim kepercayaan publik yang rendah terhadap pemerintah, memotivasi mereka untuk mendukung kebijakan pemerintah bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, keandalan dan kepercayaan menjadi dua poin kunci untuk menganalisis kebijakan Daendels, sebagai perwakilan rezim Perancis di Jawa, dalam menahan serangan Inggris ke Jawa pada tahun 1811. Menggunakan rumor sebagai dasar kebijakan, Daendels mengumumkan strategi militernya di Batavia melalui media plakat (Belanda: plakkaat). Praktiknya adalah pengambilan keputusan yang tidak biasa; Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk memahami preferensi Daendels terhadap konsep informasi yang andal. Konteks historis periode transisi politik di awal abad ke-19 menjadi latar belakang untuk menyelidiki bagaimana otoritas dan masyarakat di Batavia berjuang untuk menandingkan perubahan ideologis dan batasan kedaulatan. Penggunaan plakat sebagai sumber juga berkontribusi pada studi komunikasi publik di era Daendels, terutama dalam pemilihan ‘medium’ untuk menyebarkan informasi.
Plakat sebagai media diseminasi informasi
Dalam seni pemerintahan (Stoler, 2002: 97-109), komunikasi merupakan salah satu aspek yang berkontribusi terhadap upaya pemerintah untuk meminimalkan instabilitas. Plakat merupakan media yang berfungsi sebagai jembatan informasi antara pemerintah dan rakyatnya. Plakat merupakan lembaran yang berisi ringkasan kebijakan yang diputuskan pemerintah secara tertutup, lalu dipublikasikan dengan cara menempelkannya ke dinding balai kota (Stadhuis) atau bangunan publik lainnya. Keputusan-keputusan tersebut sebagian besar berkaitan dengan isu-isu umum seperti regulasi pasar, kebijakan terkait perbudakan, sewa publik, lembaga, kependudukan (terutama Tionghoa), perilaku sipil masyarakat Batavia, dan sebagainya (Sejarah Nusantara, 2015). Oleh karena itu, informasi dalam plakat merupakan informasi yang sejak awal diciptakan untuk pengetahuan umum dalam rangka mengatur masyarakat.
Dari empat tahapan metode penulisan sejarah seperti heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi, penelitian ini menambahkan kritik sumber dengan konsep provenance dari ilmu kearsipan untuk mengetahui asal usul informasi: siapa penciptanya, mengapa pencipta memilih media tertentu untuk menyampaikan informasi, dan hasil apa yang diharapkan. Metode ini memperhatikan penjelasan pergeseran Great Tradition dalam kritik sumber ke metode pengenalan asal-usul seperti genealogi, genesis, dan orisinalitas dokumen. Kemudian, penelitian ini mempraktikkannya dalam satu jenis dokumen (Howell & Prevenier, 2001).
Darurat Militer Jawa 1810
Informasi tentang strategi Daendel pada tahun 1810 dimuat dalam plakat bertanggal 28 Bloeimaand (Mei) 1810 dengan judul ‘voorschriften voor het geval, dat Batavia in staat van beleg zoude worden verklaard’ atau peraturan jika Batavia dinyatakan dalam keadaan darurat militer (Plakkatboek 16, 211-213). Informasi ini diterbitkan kembali dalam sebuah plakat oleh Janssens pada tanggal 2 Agustus 1811 dengan judul ‘voorschrift nopens maatregelen, te nemen in geval eener landing te Batavia van de Engelschen’ atau peraturan tentang tindakan yang harus diambil jika Inggris mendarat di Batavia (Plakkatboek 16, 722-726).
Ketika pengepungan angkatan laut Inggris diprediksi pada tahun 1810, Daendels menyusun strategi jika darurat militer resmi diberlakukan di Batavia dan sekitarnya. Dalam strategi tersebut, upaya untuk menahan serangan Inggris adalah dengan memindahkan semua alat transportasi dan perbekalan dari lokasi pendaratan yang strategis. Beberapa perahu (prauw-pappang) diperlukan untuk mengangkut uang, surat berharga pemerintah, dan perbekalan dari rumah gubernur di Moolenvliet ke Meester Cornelis. Perahu-perahu yang dimaksud, yang sebelumnya diparkir di Molenvliet, di sepanjang Rijswijk, Weltevreden, dan sungai besar Goenoeng Sahari, harus dipersiapkan di lokasi yang paling aman (Plakkatboek 16, 211-213).
Sementara itu, perahu-perahu lain, siapa pun pemiliknya, yang tidak layak untuk pengangkutan harus dipindahkan ke pedalaman dan dijauhkan dari jangkauan musuh. Perahu-perahu besar seperti tjunia ditempatkan di Mokervaart di Tangerang, dan perahu-perahu kecil dipindahkan ke kanal dan sungai yang aman. Selanjutnya, perahu-perahu yang masih berada di pesisir atau laut harus kembali ke Sungai Bacassie dan Tjitarum di timur serta Ankee dan Tjidanie di barat. Aturan ini tidak hanya berlaku untuk angkutan air, angkutan darat seperti kuda dan kerbau juga perlu dipindahkan ke daerah Tangerang, Assam, dan sekitarnya. Kuda dan kerbau di sekitar Moolenvliet dibawa ke Tanna Abang; dan kuda-kuda dari Jaccatra, Goenoeng Saharie, dan Weltevreden dibawa ke Meester Cornelis dan didistribusikan di daerah-daerah pinggiran kota terbaik menurut pemiliknya (Plakkatboek 16, 211-213).
Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada kerja sama para pemilik masing-masing alat angkutan. Oleh karena itu, sebuah pemberitahuan disertakan bahwa jika pemilik transportasi tidak berkontribusi pada misi ini, pemerintah akan menghukum mereka dengan menembak kuda atau kerbau mereka. Mereka yang diminta untuk mengawasi dan bertanggung jawab atas misi ini termasuk anggota parlemen Batavia, gubernur daerah sekitar Batavia, pengacara pajak, juru sita kota, sheriff dan pemegang lisensi, kapten Cina, dan siapa pun yang memiliki kepentingan. Pengumuman di atas diikuti oleh kewajiban bagi semua pejabat pemerintah, pegawai negeri sipil dan pensiunan pegawai negeri sipil dan militer untuk selalu berada tiga jam di belakang tentara. Sementara itu, masyarakat umum diperintahkan untuk tinggal di dalam rumah mereka, dan meninggalkan pekerjaan mereka di luar untuk para budak. Tampaknya, ada kesadaran bahwa beberapa orang berpura-pura tidak tahu tentang pengumuman tersebut, sehingga plakat itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Cina dan bahasa lokal yang umum digunakan (Plakkatboek 16, 211-213).
Diketahui bahwa serangan Inggris akhirnya terjadi pada sore hari tanggal 4 Agustus 1811. Setelah mempertimbangkan berbagai lokasi pendaratan di Jawa, pasukan Inggris memasuki kota Batavia melalui desa Cilincing. Dinyatakan bahwa tidak ada satu pun tentara Belanda yang ditemukan ketika tentara Inggris memasuki desa tersebut, bahkan infrastruktur jembatan masih berdiri utuh. Beberapa kapal vedette ditemukan di seberang sungai, tetapi jembatan untuk menyeberangi Sungai Ancol telah dibakar. Agaknya, lokasi Cilincing memang merupakan lokasi pendaratan yang tak terduga, sehingga pertahanan di titik itu tidak disediakan. Namun, ketika tentara Inggris bergerak ke pusat kota, rumah-rumah sudah kosong. Sementara itu, rumah-rumah orang Tionghoa yang dihuni tidak menyimpan air, kemudian mereka menawarkan arak sebagai ganti air kepada tentara Inggris, yang menyebabkan mereka mabuk dan lengah. Di tempat lain, gudang-gudang telah dibakar, salah satunya oleh orang Melayu setempat. Orang-orang Eropa sendiri, sebagaimana direkomendasikan dalam plakat tidak terlihat di mana pun (Thorn, 2011).
Epilog: Rumor sebagai Dialog Publik Organik
Lalu, apakah Daendels memiliki prinsip pengambilan keputusan yang berbeda terkait informasi yang andal? Karakter militer Daendels tentu saja memungkinkannya mengambil keputusan dengan metode yang tidak biasa, semacam ‘kemasukakalan’ lain terkait rumor dan pengambilan keputusan. Namun, kita keliru jika berpikir bahwa ia tidak mempertimbangkan kebenaran dalam informasi tersebut, sebab ia melakukan verifikasi rumor dengan mengirim kapal pengangkut nila dan minyak kelapa ke Île de France (Mauritius). Kapal tersebut berhasil mencapai tujuannya, membongkar muatannya, dan memuat barang-barang lain seperti anggur dan alat tulis. Namun, kapal tersebut tidak dapat mengangkut seluruh muatannya karena buru-buru melarikan diri ketika armada Inggris muncul. Pada bulan Februari 1811, armada tersebut tiba di Batavia, tetapi dikenakan denda karena sebagian muatan yang kembali tidak dapat dimuat dan harus dijual oleh agen di Mauritius (Plakaatboek 16, 585).
Tindakan Daendels di atas membuktikan bahwa rumor bahwa “armada Inggris telah memantau banyak pelabuhan dan menangkap kapal-kapal asing yang melintasi perairan teritorial mereka di sepanjang jalur perdagangan Asia-Eropa” memang benar. Disebutkan pula bahwa Daendels mengetahui fakta bahwa Belanda telah dianeksasi oleh Prancis, dan Inggris telah merebut beberapa wilayah Belanda di Hindia Belanda (Marihandono, tanpa tahun). Bukankah itu cukup bagi Daendels untuk meyakinkan rakyat di Hindia Belanda bahwa serangan Inggris di Jawa sudah dekat? Ia tidak perlu menggunakan label rumor tersebut sebagai dasar untuk meminta dukungan rakyat Batavia terhadap kebijakannya. Lalu mengapa ia terus menggunakannya?
Studi terhadap konten rumor lain dalam plakat menunjukkan bahwa konsep informasi yang andal tentu saja tidak berbeda dengan saat ini. Isi rumor lain pada plakat yang lain juga membuktikan bahwa rumor merupakan sesuatu yang dilarang karena menimbulkan kegaduhan, sehingga kebijakan Daendels ini merupakan pengecualian. Ia tahu bahwa invasi Inggris pasti akan terjadi, dan kita tahu sekarang bahwa hal itu akhirnya terjadi, tetapi ia tetap menggunakan label rumor. Kekuatan hasutan rumor jelas menambahkan elemen lain pada konsep informasi yang ‘andal’. Tampaknya ia berpikir bahwa strateginya akan berhasil jika ia berpihak pada publik dengan menggunakan label rumor dalam opini publik untuk menunjukkan bahwa pendapat tersebut didengarkan dan ditanggapi serius oleh pemerintah. Akhirnya, meskipun plakat tampak sebagai media satu arah untuk menyebarkan informasi, studi ini menunjukkan bahwa penggunaan rumor sebagai dasar kebijakan meningkatkan daya persuasifnya. Hal ini karena rumor dianggap sebagai hasil dialog publik yang organik. Komunikasi ini, mungkin, disebut sebagai diakronis omnidireksional oleh van Ruler (2018), yang menyediakan arena untuk presentasi, negosiasi, konstruksi, dan rekonstruksi makna.
Penggunaan rumor dalam strategi militer di atas menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap ketahanan masyarakat dalam mengumpulkan informasi dan telah terbukti efektif dalam menggalang dukungan publik dan berkontribusi pada kebijakan pemerintah. Praktik ini sejalan dengan target SDG 16.7, khususnya perspektif historis dalam memastikan pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif, dan representatif di semua tingkatan.
Lillyana Mulya, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.
Shifa Fauzia Ramadhani, merupakan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.