Oleh: Tsabit Alayk Ridholah
Siapa yang tak kenal instagram? Sosial media yang satu ini memang sedang booming karena beberapa fitur terbarunya yang terus berkembang. Pengguna Instagram inipun tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Menurut hasil survei WeAreSocial.net dan Hootsuite, Instagram merupakan platform media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak ke tujuh di dunia. Selain sebagai jejaring sosial untuk berbagi foto, Instagram digunakan untuk memasarkan produk bisnis. Total pengguna Instagram di Indonesia sudah melebihi 57 Juta dan di dunia mencapai angka 800 juta pada Januari 2018 serta akan terus meronjak naik2. Penulis melihat aplikasi Instagram yang ada di PlayStore (pengguna android) sudah didownload oleh 1 Billion orang tau lebih dari 1 Milyar. Wow! Sebuah angka yang fantastis.
Memanfaatkan media sosial sebagai trend dalam komunikasi sudah bukan menjadi hal tabu lagi. Apalagi jika kita benar-benar memanfaatkan Instagram sebagai sarana penambah ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya internet telah merubah cara orang dalam berkomunikasi dari yang awalnya one to many menjadi many to many. Komunikasi ini berkembang pada era new media. Salah satu fenomena new media adalah tumbuhnya media sosial dimana digunakan oleh perusahaan untuk menciptakan electronic Word of Mouth (eWOM). eWOM adalah pernyataan positif atau negatif yang diungkapkan oleh pelanggan atau konsumen potensial ataupun yang sudah menggunakan mengenai produk atau perusahaan melalui Internet. Salah satu bentuk dari eWOM (electronic Word of Mouth) marketing adalah media sosial seperti Instagram. Instagram pertama kali rilis pada 6 Oktober 2010. Instagram merupakan sebuah aplikasi berbagi foto atau video yang memungkinkan pengguna dapat menerapkan filter digital, menyertakan caption sesuai yang diinginkan, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial (Hennig-thurau et al., 2004).
Kearsipan sebagai ilmu yang akan terus berkembang, sudah seharusnya mengikuti perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan pengertian kearsipan menurut banyak sekali sumber yang menyebutkan bahwa arsip harus mengikuti perkembangan media sesuai dengan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini berarti kearsipan harus beranjak meninggalkan cara-cara lama (konvensional) dalam memperkenalkan lingkup keilmuannya. ANRI sebagai Lembaga Negara Non-Kementerian yang menaungi kearsipan sudah seharusnya bisa memanfaatkan Instagram sebagai media sosial yang bertujuan untuk memperkenalkan keilmuan ini. Apabila kita melihat Instagram dari ANRI (@arsipnasionalRI), akun tersebut sudah diikuti oleh 1109 orang dan 139 postingan foto dan video. Namun sayangnya akun tersebut terlihat sangat monoton dengan foto jabat tangan dan seputar kegiatan ANRI. Jika kita bandingkan dengan Lembaga Negara Non-Kementerian lain seperti Badan Ekonomi Kreatif RI (@bekraf.go.id), maka ANRI akan tertinggal jauh. Jumlah followers dari akun @bekraf.go.id sudah mencapai 55.9k (559.000) serta memposting 420 foto dan video yang menarik (dilihat pada 27 Juli 2018). Ini menandakan kurang tenarnya kearsipan dari segi sosial media. Konten-konten yang ada pada akun-akun bertema kearsipan belum banyak dilirik oleh publik. Padahal hakikatnya masyarakat boleh dan berhak tau informasi mengenai kearsipan ini. Sebagaimana kewajiban dari seorang arsiparis untuk mengolah dan menyajikan informasi kepada pengguna. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Instagram saat ini memiliki banyak fitur yang bisa dimanfaatkan secara maksimal dengan konten-konten yang dapat memberikan edukasi kepada masyarakat melalui media sosial. Sebagai contoh, konten kreatif dengan gambar yang berisi caption penjelasan mengenai gambar tersebut. Saat ini Instagram harus dianggap sebagai media komunikasi dua arah. Sebagai konsumen, tentunya kita ingin dimanjakan dengan pelayanan yang sangat baik dan juga cepat. Begitu pula dengan Instagram, kita sebagai konsumen ingin dimanjakan dengan foto ataupun video yang menarik sehingga kita betah untuk membacanya. Sebagai contoh, kita bisa melihat akun (@tirto.id) dan (@kumparancom) sebagai akun pemberi informasi kepada publik melalui gambar, video, info grafis, dan berita-berita lainnya. Di Indonesia, akun Instagram yang fokus memberikan ilmu pengetahuan mengenai kearsipan saat ini masih sangat sedikit sekali. Jikapun ada, maka kontennya belum mampu menarik mata masyarakat untuk berkunjung dan membaca. Padahal kemungkinan potensi yang akan timbul jika memanfaatkan instagram sebagai sarana pengenalan ilmu kearsipan adalah masyarakat akan tertarik dengan arsip. Contoh sederhana yang dilakukan oleh akun (@kearsipan.sv.ugm) adalah dengan memberikan edukasi mengenai KIK (Kamus Istilah Kearsipan). Dengan demikian, istilah-istilah mengenai kearsipan tidak akan terasa asing lagi dikalangan masyarakat.
Referensi:
Kurniatun. Arsiparis : Antara Realita dan Harapan. Arsip Universitas (AU) UGM. Yogyakarta
Ana Putri H. (2017). Analisis Pengaruh Media Sosial Instagram Terhadap Pembentukan Brand Attachment (Studi Universitas Muhammadiyah Surakarta). Skripsi FEB UMS. Surakarta