Oleh: Andri Handayani
Kulon Progo adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kaya akan seni tradisi. Beberapa seni tradisi khas Kulon Progo seperti seni tari Jathilan, Incling, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Angguk, Oglek, Krumpyung, Zabur (seni teater), Langen Toyo, Tayup topeng maupun strek (seni silat keagamaan) masih digemari (nasional.tempo.co). Tari Angguk yang merupakan salah satu seni tradisi ‘icon’ Kulon Progo tersebut bahkan sudah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda Indonesia dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016. Oleh karena itu, sangatlah menarik jika kita dapat mengetahui lebih banyak tentang Tari Angguk.
Menurut Ki Demang Sokawaten (Situs Sutresna Jawa, melalui Afendy Widayat) awalnya Angguk diiringi oleh syair-syair barzanji. Di lain pihak, Tashadi (1979:2) mengatakan bahwa Angguk merupakan perkembangan bentuk dari ragam selawatan dan macapatan yang biasa dilaksanakan pada hajatan khitanan. Dalam perkembangannya, unsur selawatan yang menonjol adalah segi olah vokal dan musiknya sedangkan unsur macapatan yang muncul adalah segi sastra dan bahasanya. Segi cerita yang digunakan bersumber dari Serat Menak meskipun hanya salinan yang dibuat sebagai bahan bacaan (Widayat, 4). Menurut Surajiyo, pendiri Sanggar Sripanglaras Kulon Progo, dulunya memang cerita tari Angguk berasal dari Serat Menak menggunakan syair barzanji (Arab) jadi masih ada karakter Umarmaya dan Umarmahdi. Akan tetapi sekarang syair yang digunakan pada iringan musik dapat disesuaikan dengan permintaan, bisa memakai bahasa Arab atau bahasa Jawa.
Tari Angguk berasal dari dua suku kata “ang” dan “guk”. Suku kata “ang” bermakna mengiyakan atau setuju, bermakna masyarakat pendukung setuju bahwa tari Angguk bermanfaat sebagai media syiar agama Islam. Sedangkan kata “guk” mirip dengan “duk” yaitu bunyi jeduk (bedug). Selain itu dalam tariannya, Tari Angguk juga menunjukkan gerak mengangguk-anggukkan kepala (Tashadi, 1979: 10-11). Menurut Surajiyo, dulunya Angguk ditarikan oleh putra. Cerita Angguk bersumber dari cerita peperangan antara pasukan Nabi Muhammad dengan kaum Quraisy dimana pasukan Nabi menang. Untuk merayakan kemenangan, mereka bersenang-senang, bergembira ria, dan bersyukur kepada Tuhan atas kemenangannya dengan menari, menyanyi, dengan diiringi rebana, bedug, kendang dan syairnya berjanjen (barzanji), bersyukur dan setiap akhir pertunjukan selalu memberikan hormat dengan menganggukkan kepala maka oleh karena itu mengapa dinamakan Angguk, dari menganggukkan kepala.
Tari Angguk putra ditarikan dengan jumlah penari yang selalu genap, minimal 12 orang (Pratama, 4). Dalam perkembangannya, tari Angguk putra kurang diminati sehingga lahirlah tari Angguk putri. Tari Angguk putri biasanya ditarikan oleh pemudi berusia sekitar 17 hingga 30-an tahun (Afendy Widayat). Kostum tari Angguk putri juga unik yaitu kostum seperti serdadu Belanda, berkacamata, berkaus kaki dan tidak berkipas (Afendy Widayat). Peralatan iringan angguk terdiri atas (1) rebana (besar, sedang dan kecil), (2) jidor, (3) kendang batangan, (4) perkusi, (5) ketipung, dan drum. Iringan musik tersebut ditabuh secara ritmis, relatif ajeg, dengan ciri menonjol pada bunyi hentakan jidor dan drum. Adapun komposisi tariannya, secara sederhana terdiri atas ragam gerak, desain lantai dan pola tari. Ragam geraknya, semula gerak tari angguk sangat sederhana, namun akhirnya telah dikemas dengan tari-tarian Jawa modern, yakni dengan ragam gerak seperti entrig, kicat, kupu tarung, ogek, tanjak, ukel, dan sembah (Padmopuspito, 1995: 17- 18).
Dalam pertunjukannya, penari Angguk dapat mengalami kondisi ndadi (in trance) atau kesurupan sehingga dalam menari pun mereka seperti lupa diri atau dianggap kesetanan. Ndadi, pada dasarnya memang kesurupan roh lain, sehingga penari yang bersangkutan tidak sadar atau setengah sadar pada keberadaannya (Widayat: 2008). Pada waktu ndadi, penari yang kesurupan ditinggalkan oleh penari lainnya, kecuali jika roh lain yang bersangkutan meminta untuk ditemani. Berbagai permintaan dari penari yang sedang ndadi antara lain: (1) minta bersalaman dengan tuan rumah atau yang punya hajat atau dengan perangkat desa atau perangkat pemerintah setempat mulai dari ketua RT, kepala desa hingga Bupati, (2) minta lagu-lagu tertentu, (3) minta tokoh tertentu diajak menari (ketiban sampur), (4) minta makanan atau minuman tertentu, makan bara api, makan bunga, minum air bunga, dsb. (5) minta untuk mencium atau mendekati alat musik tertentu, (6) mencari tokoh tertentu, termasuk kemungkinan ketua atau sesepuh kelompok angguk yang bersangkutan, untuk diberi petuah tertentu, misalnya petuah tentang kejujuran, agar jangan korupsi, agar jangan berbuat serong dengan wanita lain, dsb (Widayat: 2008).
Beberapa macam pertunjukan tari Angguk putri dapat dibedakan berdasarkan tujuan dari pemesan/ penanggap. Menurut Surajiyo, ada tiga macam pertunjukan tari Angguk yaitu Tari Angguk religi, pertunjukan dan hiburan. Tari Angguk religi biasanya dipentaskan untuk acara keagamaan pada bulan Maulud dan Syawal. Kostumnya menyesuaikan yaitu lebih panjang. Tari Angguk pertunjukan biasanya dipentaskan untuk penjemputan tamu, peresmian gedung dan menjamu tamu negara. Kostumnya juga menyesuaikan. Bentuk tari Angguk yang lain adalah untuk hiburan. Versi ini yang lebih banyak ditanggap di masyarakat, biasanya untuk hajatan dan acara-acara lain. Kostum yang dipakai biasanya celananya lebih pendek. Syair yang dipakai juga lain, misalnya untuk religi, syair yang dipakai menggunakan shalawat. Syair yang dipakai untuk Angguk pertunjukan memakai syair untuk kebaikan, kemajuan dan pembangunan bisa memakai bahasa Jawa. Sedangkan Angguk hiburan menggunakan pantun-pantun atau parikan bahasa Jawa.
Perkembangan tari Angguk khususnya di Kulon Progo tidak terlepas dari peran pemerintah dan sanggar-sanggar seni di dalamnya. Peran sanggar sangat penting dalam memperkenalkan tari Angguk ke generasi muda. Menurut Sri Wuryanti beliau dan suaminya, Surajiyo mendirikan Sanggar Sripanglaras pada tahun 2001 untuk memperkenalkan Angguk putri kepada generasi muda. Ternyata tanggapan masyarakat dan pemerintah sangat bagus bahkan sekarang tidak hanya anak-anak yang mengenal Angguk tetapi juga ibu-ibu. Sri Wuryanti menyatakan bahwa tari Angguk sudah populer dan bisa dipentaskan dimana saja. Bahkan pemerintah Kulon Progo mengadaptasi beberapa gerakan tari Angguk ke dalam senam maka jadilah senam Angguk.
Generasi milenial berperan sangat penting bagi pelestarian tari Angguk Kulon Progo. Dalam video dokumenter ‘Generasi Milenial dan Eksistensi Tari Angguk Kulon Progo’ ini akan menyajikan bagaimana kehidupan sehari-hari seorang pemudi bernama Destrine Megentina yang tidak hanya seorang penari Angguk yang aktif di Sanggar Sripanglaras asuhan Sri Wuryanti dan pementasan tetapi juga seorang generasi milenial yang akrab dengan teknologi serta tetap mengedepankan pendidikan. Selain itu, cerita tentang Sanggar Sripanglaras oleh Sri Wuryanti dan informasi tentang tari Angguk Kulon Progo oleh Surajiyo juga disajikan melalui video ini. Semoga video dokumenter ini dapat menambah wawasan dan khazanah pengetahuan kita semua. Salam Budaya!
Referensi:
Alfarini, P. (7 Maret 2005). Kesenian Tradisional Kulon Progo Masih Digemari. Diakses 2 Oktober 2019. Tempo.co. URL: https://nasional.tempo.co/read/57576/kesenian-tradisional-kulon-progo-masih-digemari
Padmopuspito, Asia, dkk. (1995. “Kajian Folklor Angguk Sri Lestari Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo”. Yogyakarta: Penelitian IKIP Yogyakarta.
Pratama, E.A. (2017). “Musik Angguk Sripanglaras Kulonprogo”. Surajiyo. (2019, September 25). Wawancara pribadi. Skripsi. Tidak Diterbitkan.
Tashadi (Ed.). (1979-1980/1980-1981). “Risalah Sejarah dan Buaya”. Yogyakarta: Balai penelitian Sejarah dan Budaya.
Widayat, A. (2008). “Seni angguk membangun peradaban”.
Wuryanti, S. (2019, September 2). Wawancara pribadi.