Oleh: Arif Rahman Bramantya & Faizatush Sholikhah
Pengantar: Arsip, Cermin Kesadaran Bangsa
Arsip sering kali dianggap sebagai benda mati (sampah)—tumpukan kertas, dokumen tua, atau berkas administrasi yang hanya memenuhi lemari kantor maupun kolong tangga, bahkan ditempatkan di gudang. Namun kenyataannya, arsip adalah urat nadi sebuah peradaban. Ia menyimpan rekam jejak kehidupan, identitas, hingga legitimasi hukum sebuah bangsa. Tanpa adanya arsip, sebuah masyarakat akan mudah kehilangan arah dan rentan diombang-ambingkan kabar palsu atau manipulasi, serta kehilangan memori. Hal ini berarti hilangnya peradaban.
Indonesia memiliki banyak pelajaran pahit terkait kelalaian dalam mengelola arsip. Kebakaran di Gedung Kejaksaan Agung pada 2020, misalnya, menimbulkan kerugian besar karena dokumen penting ikut terbakar dan hangus. Ada pula kasus penjualan arsip pribadi Presiden Sukarno yang menyangkut surat nikah dan akta cerai, yang memperlihatkan betapa rapuhnya kesadaran publik terhadap pentingnya arsip sebagai rekam jejak sejarah.
Kejadian-kejadian tersebut bukan sekadar insiden administratif, tetapi juga cerminan lemahnya kesadaran kolektif terhadap arsip yang nantinya menjadi memori sejarahnya sendiri. Arsip yang hilang atau rusak tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengancam peradaban dan keberlanjutan budaya bangsa.
Maka pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana kita bisa membangun kesadaran yang sistematis tentang pentingnya arsip? Apakah ada kerangka etis, filosofis, agamis yang bisa menjadi fondasi kuat dalam praktik pengelolaan arsip di Indonesia?
Di sinilah ajaran Islam sebagai salah satu tawaran perspektif menarik. Prinsip-prinsip Islam bukan hanya bicara tentang akidah dan ibadah, tetapi juga tentang keteraturan sosial, tanggung jawab, dan bahkan mengatur tentang pengelolaan informasi. Dengan melihat arsip melalui lensa Islam, kita dapat menemukan dasar normatif untuk memperlakukan arsip bukan sekadar sebagai dokumen teknis, melainkan sebagai amanah moral dalam berkehidupan untuk mewujudkan tertib sosial budaya bangsa, serta membangun peradaban.
Arsip dalam Perspektif Islam
Dalam literatur keislaman, kita tidak menemukan istilah “arsip” secara langsung. Namun, Al-Qur’an dan hadits berulang kali menekankan pentingnya pencatatan, kesaksian, dan kejujuran dalam pengelolaan informasi. Beberapa ayat Al-Qur’an bisa dibaca sebagai prinsip dasar kearsipan. Prinsip pencatatan tertuang dalam QS Al-Baqarah: 282. Ayat terpanjang dalam Al-Qur’an, yang secara eksplisit memerintahkan umat Islam untuk mencatat setiap transaksi utang piutang. Bukan sekadar catatan informal, melainkan catatan resmi yang disaksikan, ditulis dengan benar, dan dijaga keasliannya. Jika ayat ini diperluas maknanya, maka jelas bahwa Islam menekankan pentingnya rekam jejak tertulis dalam semua urusan sosial. Catatan ini bukan sekadar dokumentasi pribadi, melainkan juga bentuk tanggung jawab sosial dan perlindungan hukum. Dalam konteks modern, perintah ini sejalan dengan konsep arsip autentik, utuh, dan dapat dipercaya.
Kemudian prinsip klarifikasi (tabayyun) dalam QS Al-Hujurat: 6. Ayat tersebut menjelaskan bahwa umat Islam diingatkan untuk melakukan klarifikasi sebelum mempercayai sebuah berita. Ayat ini menegaskan bahwa menerima informasi tanpa verifikasi bisa menimbulkan kekacauan sosial. Prinsip tabayyun ini sangat relevan dengan dunia kearsipan. Arsip tidak boleh hanya sekadar dikumpulkan, ia harus diverifikasi, dijaga keabsahannya, dan dikelola agar tidak menimbulkan disinformasi. Di era banjir informasi seperti sekarang, tabayyun menjadi mekanisme sosial yang penting untuk membedakan arsip yang valid dengan sekadar hoaks.
Begitu pula dengan sejarah Islam yang juga menyajikan teladan berharga. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Abu Bakar As-Siddiq menghadapi kenyataan banyak penghafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Umar bin Khattab mengusulkan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak hilang.
Tugas ini dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit dengan prosedur ketat bahwa setiap ayat harus diverifikasi melalui hafalan minimal dua orang, memiliki bukti tertulis, dan disaksikan oleh dua saksi. Sistem verifikasi berlapis ini merupakan contoh nyata bagaimana Islam sejak awal mengajarkan prinsip autentikasi dokumen. Kisah ini memberi pelajaran penting: pengelolaan arsip bukan sekadar teknis, tetapi bagian dari menjaga amanah agama dan peradaban.
Arsip di Era Digital: Tantangan Baru
Jika di masa lalu arsip identik dengan kertas, kini kita hidup di era digital. Jejak percakapan WhatsApp, email, unggahan Instagram, hingga dokumen Google Drive, semuanya adalah dokumen yang menyimpan memori pribadi maupun kolektif. Masalahnya, banyak orang tidak sadar bahwa arsip digital juga harus dikelola. Lupa kata sandi email, kehilangan akses cloud, atau bahkan terkena serangan siber bisa berarti kehilangan dokumen penting. Ini adalah permasalahan mendasar. Bedanya, kali ini bukan terbakar api, melainkan “terbakar” oleh kelalaian keamanan digital.
Kasus kebocoran data pribadi di Indonesia menegaskan hal ini. Dari data KTP hingga rekam medis pasien rumah sakit, semua termasuk arsip yang sangat sensitif. Ketika data jatuh ke tangan yang salah, dampaknya bisa berbahaya: pencurian identitas, penipuan daring, bahkan diskriminasi sosial.
Dalam konteks ini, prinsip Islam menjadi sangat relevan. Mengelola arsip digital bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga tanggung jawab moral. Menjaga kata sandi, melindungi privasi, dan berhati-hati membagikan informasi adalah bentuk nyata dari tatsabbut (kehati-hatian) dan tabayyun (klarifikasi).
Arsip dan Tertib Sosial Budaya
Mengapa arsip begitu penting bagi kehidupan sosial? Jawaban sederhananya adalah karena arsip sebagai fondasi tertib sosial budaya. Masyarakat yang abai terhadap arsip cenderung menghadapi masalah administratif, korupsi, hingga hilangnya kepercayaan publik. Sebaliknya, bangsa yang sadar arsip biasanya lebih tertib hukum, transparan, dan akuntabel. Dalam konteks Indonesia, budaya lisan yang masih dominan membuat kesadaran arsip tumbuh lambat. Banyak masyarakat baru menyadari pentingnya arsip ketika mereka kehilangan dokumen penting, seperti akta kelahiran atau sertifikat tanah. Padahal, pengelolaan arsip yang baik bisa mencegah konflik sosial, memperkuat legitimasi, dan melindungi hak-hak warga negara. Jika arsip-arsip ini hilang atau disalahgunakan, maka masalah akan muncul. Karena itu, kesadaran arsip harus diperkenalkan sejak dini.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia juga mengajarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dalam pengelolaan arsip.
- Ketuhanan: arsip adalah amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab moral.
- Kemanusiaan: arsip melindungi hak-hak dasar manusia, seperti identitas dan status hukum.
- Persatuan: arsip menyimpan memori kolektif bangsa, yang menjadi perekat identitas nasional.
- Demokrasi: arsip mendukung transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.
- Keadilan sosial: arsip menjamin akses informasi yang adil bagi seluruh masyarakat.
Dengan demikian, praktik kearsipan dapat dibaca sebagai implementasi nyata Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Revolusi Mental Kearsipan
Meski regulasi dan teknologi arsip sudah berkembang, tantangan terbesar Indonesia tetaplah mentalitas masyarakat terhadap arsip. Banyak orang masih menganggap arsip sebagai beban administratif, bukan sebagai aset. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah revolusi mental kearsipan, yakni (1) Kesadaran Individu – Setiap orang harus menyadari pentingnya arsip pribadi, mulai dari ijazah hingga surat tanah, dan menjaganya dengan baik, (2) Gerakan Sadar Tertib Arsip – Kesadaran arsip harus ditumbuhkan dalam keluarga, sekolah, hingga komunitas, (3) Kebijakan Publik – Pemerintah harus mendorong sistem kearsipan yang transparan, inklusif, dan berbasis teknologi digital, (3) Etika Profesi – Arsiparis sebagai garda depan harus bekerja bukan sekadar teknis, tetapi juga etis, dengan menjunjung tinggi nilai agama dan Pancasila. Kearsipan juga memerlukan gerakan serupa, agar masyarakat melihat arsip sebagai sesuatu yang penting, bukan usang.
Arsip bukan hanya catatan administratif, tetapi juga warisan budaya. Ia menyimpan memori kolektif bangsa—dari naskah kuno, dokumen kolonial, hingga rekaman digital masa kini. Mengelola arsip berarti menjaga identitas bangsa. Kehilangan arsip berarti kehilangan bagian dari sejarah. Tanpa arsip, bangsa akan sulit belajar dari masa lalu dan merencanakan masa depan.
Penutup: Arsip sebagai Amanah Peradaban
Arsip bukan sekadar dokumen, melainkan amanah peradaban. Islam memberi dasar moral, Pancasila memberi dasar ideologis, dan ilmu kearsipan memberi dasar teoritis dan teknis. Sinergi ketiganya akan menghasilkan sistem kearsipan yang kuat, berkelanjutan, dan relevan bagi masyarakat modern. Dengan demikian kita bisa membangun kesadaran baru: arsip adalah bukti sejarah, pelindung hak, dan fondasi tertib sosial budaya. Jika bangsa ini ingin maju, maka kesadaran kearsipan harus tumbuh bukan hanya di kantor-kantor pemerintah, tetapi juga di rumah, sekolah, dan hati setiap warga negara. Arsip bukan lagi “beban administratif”, melainkan nadi peradaban yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Maka ajaran Islam, nilai pancasila, kearsipan relevan untuk diintegrasikan dalam membangun peradaban, sejalan dengan tujuan global Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 16: Peace, Justice and Strong Institutions.
Arif Rahman Bramantya, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.
Faizatush Sholikhah, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM, Manajer Jaminan Mutu DBSMB