Oleh: Nanik Lestari, Salsabilah Az Zahra & Afiyanti
Gelombang yang Menenggelamkan Ingatan
Di Pekalongan, sebuah kota batik di pesisir utara Jawa, air laut kini bukan lagi sekadar latar geografis, melainkan ancaman yang datang saban musim. Banjir rob, air pasang yang menembus daratan tidak hanya menenggelamkan rumah dan sawah, tetapi juga menyapu bersih dokumen penting. Ijazah, sertifikat tanah, dokumen-dokumen keluarga, pemerintah hingga catatan budaya lokal. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa yang hilang bukan hanya benda, tapi jejak memori kolektif.
Arsip, yang seharusnya menjadi “ingatan sosial” bagi masyarakat dan institusi, ikut hanyut bersama gelombang pasang. Ironisnya, perbincangan tentang perubahan iklim jarang menyorot bagaimana air rob menghapus catatan hidup warga pesisir. Pekalongan menjadi cermin bagaimana krisis iklim dan krisis memori berjalan beriringan dan bagaimana masyarakat berjuang menjaga ingatan mereka di tengah banjir yang terus datang tanpa undangan.
Dalam wacana global, kajian arsip dan perubahan iklim masih jarang disandingkan. Padahal, menurut Tansey (2015), arsip adalah entitas paling rapuh terhadap bencana alam: sekali terendam, tinta memudar, kertas hancur, dan bukti sejarah pun sirna. Di negara-negara berkembang, kerentanan ini semakin parah karena arsip lokal dikelola dengan sumber daya minim. Banyak kantor kelurahan tidak memiliki sistem digitalisasi, ruang penyimpanan kering, atau prosedur tanggap darurat. Akibatnya, ketika banjir datang, arsip pemerintah dan warga sama-sama tak terlindungi.
Studi kami di Pekalongan Barat, Degayu, dan Pasir Kraton Kramat menunjukkan betapa lemahnya perlindungan dokumen publik dan pribadi. Arsip sekolah rusak karena air asin, catatan kependudukan basah dan tak terbaca, dan dokumen keluarga yang menjadi bukti hak hukum maupun identitas sosial lenyap tanpa jejak. Kerusakan fisik hanyalah satu sisi, namun kerusakan yang lebih dalam adalah kerentanan sosial. Ketika memori komunitas tidak diakui dalam sistem kearsipan formal. Banyak cerita warga tentang banjir besar, kehilangan, dan perjuangan bertahan hidup tidak pernah masuk ke catatan resmi pemerintah. Di sinilah muncul kesenjangan besar catatan memori negara dan masyarakat.
Perjuangan Masyarakat Merekam Memori
Upaya mengenang ingatan dilakukan warga Pekalongan dengan beberapa kegiatan ditengah situasi banjir rob. Dari wawancara beberapa pihak, penulis menemukan bahwa masyarakat pesisir mengembangkan cara-cara sederhana untuk menyelamatkan arsip:
- Menyimpan dokumen penting dalam wadah plastik atau galon air bekas.
- Memindahkan surat-surat keluarga ke rumah kerabat di daerah yang lebih tinggi.
- Mengeringkan kertas basah di bawah sinar matahari untuk menyelamatkan sebagian tulisan.
- Mendokumentasikan banjir melalui media sosial, foto ponsel, dan cerita lisan antarwarga.
Praktik ini bagi masyarakat bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga upaya mengarsipkan pengalaman merekam peristiwa, emosi, dan strategi adaptasi. Masyarakat di tengah keterbatasan, mereka menciptakan bentuk baru dari apa yang disebut arsip komunitas, yaitu catatan yang lahir dari solidaritas dan rasa ingin diingat. Konsep ini sejalan dengan gagasan Flinn, Caswell, dan Battley (2020), yang menekankan pentingnya keterlibatan warga dalam membentuk arsip mereka sendiri. Ketahanan arsip tidak lagi bergantung pada teknologi, tetapi pada partisipasi dan kesadaran kolektif. Memori komunitas sejatinya adalah sistem arsip yang hidup dan tersimpan dalam hubungan sosial, praktik budaya, dan pengalaman bersama.
Penelitian Viviane Frings-Hessami (2024) memberi sudut pandang menarik bahwa orang akan menyimpan catatan jika mereka memahami nilai informasi itu bagi hidupnya. Dalam konteks Pekalongan, masyarakat yang sadar pentingnya dokumen mulai mencatat ulang kehidupannya baik dalam buku catatan, unggahan Facebook, maupun pesan WhatsApp. Beberapa ibu rumah tangga mencatat tanggal banjir, lokasi pengungsian, dan kerusakan rumah di buku tulis anak mereka. Catatan itu bukan hanya data, tetapi bentuk rekam jejak eksistensi bahwa mereka ada dan bertahan. Praktik seperti ini secara tidak langsung mencerminkan literasi kearsipan pribadi, seperti kemampuan untuk menilai, memilih, dan melestarikan informasi penting dalam keseharian. Seperti halnya perempuan Bangladesh dalam studi Frings-Hessami, warga Pekalongan juga menemukan nilai baru dalam menyimpan catatan. Mereka melakukan itu bukan karena aturan birokrasi, tetapi karena kebutuhan akan memori dan pembelajaran.
Ketimpangan Adaptasi dan Tantangan Kebijakan
Temuan lapangan terkait dengan pengelolaan arsip masyarakat dan tantangan perubahan iklim menunjukkan adanya ketimpangan geografis dan kebijakan. Di wilayah utara Pekalongan, tanggul dan infrastruktur pertahanan banjir telah dibangun, tetapi disebelah barat kawasan Pekalongan masih banyak kelurahan yang masih tergenang berminggu-minggu tanpa intervensi signifikan karena limpasan wilayah lain. Kondisi ini berimplikasi langsung pada sistem pengelolaan arsip. Kondisi kantor kelurahan yang terendam menimbulkan kehilangan dokumen administratif, sekaligus kelemahan kelurahan untuk mendukung masyarakat untuk melindungi arsip pribadi mereka. Padahal, menurut pendekatan climate governance, ketahanan informasi seharusnya menjadi bagian dari kebijakan adaptasi iklim daerah.
Digitalisasi memang sering disebut solusi, tetapi tanpa jaringan listrik stabil dan dukungan sumber daya manusia, digitalisasi justru menjadi janji kosong. Solusi terbaik ditengah kondisi seperti ini menurut penulis adalah membangun sistem penyimpanan ganda yang aman baik fisik dan digital, kemudian pelatihan literasi ketahanan arsip bagi masyarakat pesisir, serta integrasi data komunitas ke dalam basis data pemerintah daerah.
Kisah Pekalongan memberi pelajaran penting bahwa arsip bukan sekadar kumpulan kertas, melainkan refleksi dari daya hidup masyarakat. Saat banjir rob merusak dokumen, masyarakat justru memperkuat solidaritas dengan mencatat, memotret, menceritakan, dan berbagi. Inilah bentuk ketahanan kultural yang tidak bisa diukur dengan indeks ekonomi semata. Dalam konteks ini, arsip menjadi instrumen ketahanan iklim:
- Upaya merekam akan menyimpan jejak adaptasi dan kebijakan lokal.
- Upaya merekam pengalaman masyarakat akan menjadi sejarah untuk generasi berikutnya.
- Upaya merekam menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan berbasis memori.
Upaya-upaya merekam memori dapat dilakukan melalui pembuatan catatan pribadi, foto, rekaman video/suara, penyelamatan dokumen, memindahkan penyimpanan, duplikasi dan back up media. Hal-hal seperti ini tentu sangat memerlukan kesadaran personal mengenai literasi pengelolaan arsip, kolaborasi antara lembaga arsip, pemerintah daerah, dan komunitas masyarakat, sehingga arsip harus dipahami bukan sebagai beban administratif, melainkan sebagai strategi bertahan hidup di tengah krisis lingkungan. Ketika air rob menggenang Kota Pekalongan, yang ikut tenggelam bukan hanya rumah dan jalan, tapi juga identitas kolektif. Namun dari balik genangan, muncul kesadaran baru bahwa menjaga arsip berarti menjaga diri sendiri. Masyarakat mungkin tidak menyebut diri mereka arsiparis, tapi tindakan sederhana mereka menulis, mencatat, merekam, menyimpan, mengingat adalah bentuk nyata dari kearsipan yang berdaya. Dari sinilah harapan muncul bahwa di antara air yang pasang dan memori yang nyaris hilang, masih ada upaya untuk mengingat dan bertahan.
Referensi
- Battley, B. (2020). Community memory as living recordkeeping.
- Caswell, M. (2014). Toward a survivor-centered archives.
- Flinn, A., Stevens, M., & Shepherd, E. (2009). Whose memories, whose archives?
- Frings-Hessami, V. (2024). Motivations for personal recordkeeping practices. Archival Science, 24(1), 83–99.
- Tansey, E. (2015). Archives in a changing climate.
- Wessell, N., & Thorpe, K. (2023). Regional archives and climate risk.
Nanik Lestari, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.
Salsabilah Az Zahra, merupakan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.
Afiyanti, merupakan mahasiswa Magister Administrasi Publik, FISIPOL UGM