Oleh: Nanik Lestari
“Dari ponsel sederhana, warga pesisir Kota Pekalongan menulis ulang sejarah mereka. Merekam memori melalui media sosial menjadi jembatan antara kenangan yang hampir hilang dan masa depan yang masih bisa diingat.”
Transformasi Arsip Media Sosial di Wilayah Pesisir
Setiap kali pasang laut tiba di Kota Pekalongan, air asin menyusup perlahan ke dalam rumah-rumah penduduk. Bagi banyak keluarga, banjir rob bukan lagi peristiwa alam, melainkan rutinitas tahunan. Seperangkat dokumen yang tersimpan personal atau keluarga, instansi bukan hanya rusak tetapi juga lenyap. Padahal, menurut Franks (2018), sejak zaman prasejarah hingga era digital, manusia selalu berusaha mendokumentasikan pengalaman hidupnya menggunakan media yang tersedia sejak dulu baik dari lukisan gua hingga era sekarang yang berbasis digital. Pola ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan rekam jejak tidak pernah berubah, hanya medianya yang berganti.
Dalam konteks Pekalongan, masyarakat kini mulai berpindah, mereka mulai mengabadikan momen mereka melalui media sosial dengan unggahan gambar, foto, video. Situasi ini menunjukkan adanya perubahan media pencatatan yang adaptif dari konvensional kertas ke penyimpanan digital, sebagai wujud adaptasi atas ancaman iklim. Franks (2018) menelusuri sejarah panjang pencatatan manusia, dari token tanah liat di Mesopotamia hingga munculnya lemari arsip pada akhir abad ke-19. Setiap perubahan teknologi, selalu diikuti oleh cara baru untuk menyimpan dan mengelola informasi. Pergeseran ini tidak hanya teknis, tetapi juga budaya terkait cara manusia mengingat turut berubah bersama alat yang digunakan.
Bila di masa lalu arsip berbentuk tablet atau papirus yang rapuh, kini risiko serupa dihadapi dalam bentuk arsip digital yang rentan hilang tanpa backup atau password. Pekalongan menjadi contoh nyata bagaimana manusia mengulangi pola sejarah itu, mereka menemukan media baru untuk menyelamatkan memori lama. Masyarakat yang dulu menyimpan dokumen dalam plastik kini memotret dokumen tersebut, mengunggahnya ke WhatsApp, lalu mengirimkan salinannya ke anggota keluarga lain. Ini mungkin terlihat sederhana, namun sejatinya merupakan evolusi praktik kearsipan komunitas di era bencana.
Membangun Sistem Pengelolaan Arsip Elektronik untuk Ketahanan Kota
Teknologi baru seperti media sosial, cloud storage, dan kecerdasan buatan telah mengubah cara arsip diciptakan, disimpan, dan dipelihara. Salah satu fenomena menarik adalah munculnya social media records, dimana arsip yang tercipta melalui interaksi digital di media sosial. Dalam konteks Kota Pekalongan, praktik ini sangat nyata. Setiap kali banjir rob datang, warga mengunggah foto genangan di Facebook, Instagram @pekalonganinfo, dan membagikan video evakuasi di TikTok, atau memperingatkan tetangga melalui grup WhatsApp. Aktivitas ini menciptakan arsip sosial baru, yang merekam bukan hanya peristiwa bencana, tetapi juga solidaritas komunitas. Franks (2018) menjelaskan bahwa konten media sosial harus dipandang sebagai rekaman yang merepresentasikan kebijakan dan aktivitas organisasi atau komunitas, sehingga layak diarsipkan. Dengan kata lain, unggahan warga Pekalongan di media sosial merupakan dokumen sejarah digital yang layak dipertahankan sebagai bagian dari memori kota.
Dalam praktiknya, warga Pekalongan menjadi pengelola arsip di komunitas digital. Mereka tidak hanya menyelamatkan dokumen pribadi, tetapi juga mendokumentasikan perubahan lingkungan, jalur evakuasi, dan dinamika sosial melalui unggahan daring. Ini menunjukkan pergeseran dari paradigma arsip formal ke arsip partisipatif, di mana masyarakat berperan aktif menjaga ingatan kolektif. Konsep community archives yang dikemukakan Flinn, Stevens, dan Shepherd (2009) menjadi relevan di sini, bahwa masyarakat dapat mengambil alih kendali atas memori mereka sendiri. Franks (2018) memperkuat hal itu dengan menekankan bahwa teknologi tidak hanya mempercepat pembuatan arsip, tetapi juga mendemokratisasi proses penciptaannya. Siapapun kini bisa menjadi perekam sejarah menggunakan ponsel dan jaringan sosial.
Kemudian, sebagaimana diingatkan Franks (2018), munculnya teknologi baru juga menghadirkan risiko baru, terutama terkait keamanan data, otentisitas, dan keberlanjutan penyimpanan. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab pengelolaan arsip digital harus tetap mengikuti prinsip dasar kearsipan: autentik, reliabel, dan dapat diakses. Dalam konteks ini masyarakat juga menghadapi dilema ini setiap hari. Banyak yang kehilangan salinan digital karena ponsel rusak akibat banjir atau akun terserang malware. Pemerintah daerah juga belum memiliki sistem cloud-based record management yang andal untuk menyimpan data vital warga. Situasi ini menggambarkan apa yang disebut Franks (2018) sebagai tantangan kebijakan dan kapasitas kelembagaan dalam era media sosial dan data besar. Ia menyarankan agar lembaga publik memperbarui kebijakan pengelolaan arsip sebelum mengadopsi teknologi baru, termasuk pelatihan pegawai terkait literasi pengelolaan arsip digital/ elektronik yang menjadi bagian dari strategi adaptasi iklim di daerah pesisir.
Bagi masyarakat Kota Pekalongan, digitalisasi arsip bukan hanya upaya modernisasi, tetapi strategi bertahan hidup. Saat arsip fisik tenggelam, data digital menjadi satu-satunya jembatan menuju pelayanan publik, bantuan sosial, atau pendidikan. Di sisi lain, Franks (2018) menegaskan pentingnya memahami kembali definisi “arsip” dalam konteks teknologi baru. Ia menulis bahwa pertanyaan seperti “What is a record?” dan “How can we capture it?” kini harus dijawab ulang karena batas antara dokumen resmi dan interaksi sosial semakin kabur. Dalam kerangka itu, unggahan media sosial, data sensor rob, dan catatan komunitas lingkungan semuanya dapat dipandang sebagai rekaman kehidupan ekologis sebagai bentuk baru dari arsip yang merekam hubungan antara manusia, ruang, dan iklim.
Upaya kota untuk mewujudkan ketahanan informasi khususnya di wilayah pesisir, diperlukan sinergitas teknologi dan kebijakan. Berdasarkan panduan National Archives and Records Administration (NARA) yang dikutip Franks (2018), organisasi perlu memastikan:
- Identifikasi dan klasifikasi arsip digital, termasuk dari media sosial.
- Pengaturan akses dan keamanan data sesuai kebutuhan publik.
- Pembuatan retention schedule untuk dokumen sementara maupun permanen.
- Integrasi antara arsip komunitas dan arsip resmi untuk mencegah kehilangan memori kolektif.
Pendekatan ini dapat diterapkan di tingkat lokal melalui arsip komunitas berbasis cloud. Kelurahan dapat menjadi titik simpul penyimpanan data warga dan catatan lingkungan, dengan kolaborasi perguruan tinggi dan lembaga arsip nasional. Dengan demikian, upaya warga Pekalongan memotret dokumen mereka bukan sekadar tindakan spontan, tetapi bagian dari transformasi menuju sistem informasi yang tangguh terhadap perubahan iklim.
Referensi
- Flinn, A., Stevens, M., & Shepherd, E. (2009). Whose memories, whose archives? Independent community archives, autonomy, and the mainstream. Archival Science, 9(1–2), 71–86.
- Franks, P. C. (2018). Records and Information Management (2nd ed.). ALA Neal-Schuman.
Nanik Lestari, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.