Pos oleh :

tim editor

Bagaimana Spotify Membuka Langkah Proses Katalogisasi Arsip Rekaman Suara

Oleh: Widiatmoko Adi Putranto dan Regina Dwi Shalsa Mayzana


Katalogisasi arsip merupakan salah satu bagian penting dan tak terelakkan dari proses preservasi, tak terkecuali bagi arsip berjenis rekaman suara berupa album musik berbentuk CD (Compact Disc). Mengabaikan katalogisasi dapat memicu kemungkinan yang berujung pada inefisiensi upaya pelestarian. Sebaliknya, katalog yang akurat, konsisten, dan jelas (Read & Czajkowski 2003) penting untuk dihadirkan demi terciptanya keberlangsungan akses di masa depan. Namun, kegiatan tersebut ternyata menghadirkan cukup banyak tantangan, terutama bagi para kataloger pemula. Manifestasi album musik yang unik serta data yang seringkali dijabarkan secara implisit membuat kebutuhan informasi dalam pembuatan metadata katalog bisa jadi tidak berhasil diidentifikasi.

Siapa sangka layanan streaming musik yang dikabarkan menjadi musuh terbesar eksistensi album musik berbentuk fisik, justru dapat membantu kataloger pemula untuk melakukan identifikasi, deskripsi, maupun evaluasi atas informasi pada koleksi. Baru-baru ini, kegiatan praktikum dalam mata kuliah Prodi Kearsipan UGM, yaitu Pengolahan Bahan Pustaka, mencoba menelisik potensi Spotify sebagai salah satu layanan streaming musik paling populer saat ini dalam membantu proses katalogisasi koleksi arsip musik berbentuk CD. Informasi yang dibutuhkan dari suatu CD untuk dapat ditranskripsikan dalam metadata katalog, kerap kali tidak lengkap atau tidak mudah dibaca karena keterbatasan ruang, keinginan band, maupun kepentingan desain. Misalnya saja dalam pembuatan katalog album Calendar Days (2013) karya Dick Diver, mahasiswa—yang dikategorikan sebagai kataloger pemula—sangat mudah terjebak oleh sumber yang tidak kredibel atau data yang berbeda-beda serta tidak konsisten. Informasi yang tercantum di cover CD juga amat terbatas. Masalahnya, selain karena informasi eksplisit serta pengetahuan kataloger atas data band dan album tertentu umumnya cukup minim (seperti halnya konservator–kataloger biasanya mesti fokus pada satu bidang kerja), band Dick Diver juga sengaja mencantumkan informasi yang dipelesetkan pada sumber alternatif berupa akun media sosial Facebook mereka.

Gambar 1. Keterangan Anggota Band Dick Diver pada akun resmi Facebook (Dick Diver n.d.a)

Akun Instagram mereka juga tak cukup membantu memberikan lebih banyak informasi. Selain itu, Dick Diver juga bukan band yang seringkali diulas maupun dikenal banyak lapisan segmentasi pendengar. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan pencarian sumber alternatif selain melalui akun media sosial mereka. Sebagai platform streaming musik yang dikenal luas dan banyak digunakan, bukan tidak mungkin Spotify akan menjadi rujukan bagi para kataloger dalam melakukan evaluasi data yang mereka butuhkan. Fitur about artist serta music credit pada Spotify mampu menyediakan sebagian data-data yang dibutuhkan dalam katalogisasi, misalnya informasi mengenai penulis lagu, produser, hingga label rekaman pembuatan album musik itu bernaung (Spotify 2018). Meskipun begitu, beberapa kolom di dalam fitur music credit Spotify seringkali masih belum terisi. Sehingga, platform ini sudah mampu membuka jalan bagi kataloger untuk melakukan uji silang data-data yang mereka kumpulkan dari berbagai sumber lainnya. Mengapa merujuk pada Spotify?, tentu karena kredibilitas dan spesifikasinya pada platform musik yang saat ini semakin populer.

Gambar 2. Music Credit pada Album Calendar Days oleh Dick Diver dan Music Credit pada Album Melbourne, Florida oleh Dick Diver

Pada era banjir informasi seperti sekarang, mengambil dan menganalisis data dari layanan streaming serta platform lain sebenarnya telah menjadi kegiatan penting yang sangat memengaruhi pengambilan keputusan sehari-hari (Maasø & Hagen 2020). Walaupun belum sepenuhnya mencantumkan data secara komprehensif untuk semua band, Spotify terbukti memiliki potensi besar dalam membantu kataloger mengambil keputusan ketika melengkapi metadata pada proses katalogisasi arsip album musik berbentuk CD. Bukan tidak mungkin apabila kolom dalam fitur-fiturnya telah terisi data dengan lengkap, platform tersebut akan menjadi rujukan utama untuk melakukan identifikasi maupun evaluasi data-data yang diperlukan dalam proses katalogisasi. Hal ini penting untuk terus dikaji mengingat tidak semua informasi yang dibutuhkan selalu tersedia secara eksplisit pada album CD itu sendiri. Nantinya, potensi ini juga akan membantu proses katalogisasi yang tak mudah terhadap arsip-arsip rekaman suara berupa album band berbentuk CD, terutama bagi kataloger pemula dan band-band yang belum dikenal luas. Yang penting didiskusikan selanjutnya adalah apa yang dibilang Oleksandr Pastukhov (2018) dari Universitas Malta bahwa sebagai fakta, metadata tidak masuk dalam perlindungan hak cipta. Di sisi lain, kreasi, deskripsi dan cara penyusunannya bisa.

Referensi:

Dick Diver 2013, Calendar Days, CD, Chapter Music, Melbourne.

— 2015, Melbourne, Florida, CD, Chapter Music, Melbourne.

— n.d.a, About: Dick Diver Band, Facebook, diakses pada 26 Juni 2020, <https://www.facebook.com/dickdiverband/about/?ref=page_internal&_rdc=1&_rdr>.

— n.d.b, Music credit: Calendar Days, Spotify, diakses pada 10 Juni 2020, <https://open.spotify.com/album/2ZEleVTPShrbq6IUXSecYv?si=DrdpTseWT0SUY0Li6dF9y>.

— n.d.c, Music credit: Melbourne, Florida, Spotify, diakses pada 12 Juni 2020, <https://open.spotify.com/album/4xcqP7mqA3zF0camxgwQBo?si=I81wmEiYRyiVe1Fr_ndHLA>.

Maasø, A, & Hagen, AN 2020. ‘Metrics and decision-making in music streaming’, Popular Communication, vol. 18, no. 1, pp. 18-31.

Pastukhov, O 2018. ‘Legal issues surrounding digital archiving’ dalam M Dobreva (ed.), Digital Archives: Management, use and access, Facet Publishing, London, pp. 73-95.

Read, J & Czajkowski, A 2003, Cataloguing without tears: Managing knowledge in the information society, Chandos Publishing, Oxford.

Spotify 2018, ‘Spotify Now Displays Songwriter Credits’, Spotify for Artists, 02 Februari, diakses pada 9 Juni 2020, <https://artists.spotify.com/blog/spotify-now-displays-songwriter-credits>.

IRAMA NUSANTARA: Kerja Pengarsipan Musik Populer Indonesia

Oleh: Ignatius Aditya Adhiyatmaka


Musik populer yang merupakan bagian dari budaya populer pada umumnya tidak dianggap sebagai cultural heritage atau warisan budaya. Hal tersebut disebabkan oleh istilah “budaya” yang sering kali hanya merujuk pada budaya adiluhung atau high culture. Budaya populer yang bersifat komersil, diproduksi secara massal, dan dianggap tidak otentik menjadikannya ditempatkan bersebrangan dengan budaya adiluhung (Shuker, 2001). Namun demikian, jarak yang memisahkan budaya adiluhung dengan budaya populer perlahan semakin menghilang dalam konteks modernitas yang terjadi di beberapa dekade terakhir (Storey, 1993). Selain itu, konsep mengenai warisan budaya juga menjadi sangat terkontestasi dan bercabang (Atkinson, 2008). Batas antara budaya populer dengan budaya adiluhung yang cenderung menipis serta terjadinya kontestasi konsep warisan budaya kemudian memunculkan beberapa pemahaman baru mengenai peran musik populer dalam budaya yang dijalani dan hidup di tengah masyarakat.

Beberapa individu, tidak terkecuali yang berada di Indonesia, mulai melihat musik populer dapat berperan penting dalam membentuk memori kultural hingga identitas. Dengan berdasar pada kesamaan pemahaman tersebut, muncul beberapa inisiatif membentuk komunitas untuk mengarsipkan segala sesuatu yang berhubungan dengan musik populer Indonesia. Sejalan dengan Assmann (2008), inisiatif kerja pengarsipan musik populer dapat dilihat sebagai sebuah proses pembentukan memori dari berbagai benda atau material yang dimaknai sebagai sarana untuk mengingat. Salah satu dari beberapa insiatif kerja pengarsipan musik populer Indonesia adalah Irama Nusantara. Resmi dibentuk pada tahun 2011, Irama Nusantara menjadi inisiatif kerja pengarsipan yang selalu didasarkan pada usaha membentuk arsip musik populer Indonesia yang mudah diakses oleh publik. Usaha tersebut diwujudkan oleh Irama Nusantara dengan mengunggah semua arsip rekaman yang sebelumnya telah didigitaisasi ke situs mereka yang dapat diakses di www.iramanusantara.org.

Para penggagas Irama Nusantara sebenarnya telah mulai mengarsipkan musik populer Indonesia secara digital pada tahun 1998. Saat masih berkuliah di Bandung, David Tarigan, Toma Avianda, dan Christoforus Priyonugroho berinisiatif membuat situs daring untuk mengunggah dan berbagi hasil digitasi koleksi rekaman musik populer Indonesia pribadi mereka dengan nama Indonesia Jumawa. Setelah berjalan sekitar kurang lebih 2 tahun, situs Indonesia Jumawa akhirnya terbengkalai karena kesibukan para penggagasnya. Kepedulian David Tarigan pada kesejarahan musik populer Indonesia membuatnya kembali berinisiatif membuat radio daring bernama Kentang Radio di tahun 2009 yang khusus menyiarkan musik populer Indonesia dari masa lampau. Semua rekaman musik yang disiarkan oleh Kentang Radio adalah bagian dari koleksi pribadi milik David Tarigan dan juga arsip digital yang telah dibentuk Indonesia Jumawa sebelumnya. Antusiasme publik dalam merespon siaran-siaran Kentang Radio akhirnya membuat David Tarigan tergerak mengajak para penggagas Indonesia Jumawa dengan sekaligus mengajak Alvin Yunata, Mayumi Haryoto, Norman Illyas, dan Dian Wulandari untuk kembali mengarsipkan musik populer Indonesia dengan membentuk Irama Nusantara.

Dalam rangka mewujudkan tujuan mereka untuk membentuk arsip digital musik populer Indonesia yang lebih lengkap, Irama Nusantara mulai mendigitasi rekaman-rekaman yang berasal dari koleksi pribadi para kolektor rekaman dan juga arsip rekaman yang dimiliki oleh institusi formal seperti Radio Republik Indonesia. Selain itu, Irama Nusantara juga sering kali “meminjam” rekaman-rekaman yang beredar di para pedagang rekaman musik bekas untuk didigitasi terlebih dahulu sebelum kemudian dikembalikan untuk diperjualbelikan kembali. Irama Nusantara memilih untuk lebih fokus mengarsipkan rekaman-rekaman musik populer Indonesia dalam format piringan hitam berbahan vinil dan shellac karena lebih riskan rusak hingga menjadi relatif lebih sulit untuk diakses oleh publik jika dibandingkan dengan format-format lain seperti kaset dan cakram padat.

Gambar 1. Proses digitasi rekaman di rumah kolektor rekaman musik populer Indonesia.

Proses pengarsipan rekaman yang dilakukan oleh Irama Nusantara dimulai dari proses digitasi yang ditujukan untuk mengubah audio analog menjadi digital untuk dapat disimpan di hard disk. Data audio digital hasil digitasi kemudian direstorasi dengan menggunakan perangkat lunak dengan tujuan menghilangkan suara-suara yang tidak diinginkan akibat adanya kecacatan fisik dari rekaman vinil maupun shellac. Setelah selesai direstorasi, data audio kemudian digandakan sekaligus dikonversi menjadi format audio berkualitas rendah (MP3 dengan bitrate 56 Kbps) yang setara dengan kualitas suara radio AM untuk diunggah ke situs daring, sedangkan data audio berkualitas tinggi diarsipkan di server luring internal milik Irama Nusantara dengan akses terbatas. Strategi untuk merendahkan kualitas audio yang diunggah ke situs daring Irama Nusantara dimaksudkan agar mencegah munculnya permasalahan Hak atas Kekayaan Intelektual dan juga mencegah adanya peluang kegiatan produksi dan/atau publikasi ulang. Tidak hanya audio, sampul dan stiker label pada rekaman juga dipindai dan direstorasi untuk dijadikan sebagai data visual yang diarsipkan dan juga diunggah ke situs daring sebagai informasi pendukung data audio.

Gambar.2 Proses digitasi piringan hitam (kiri) dan Proses restorasi data audio (kanan)

Sampai saat ini, Irama Nusantara telah berhasil mendigitasi, mengarsipkan, mengunggah, dan membuka akses data audio serta visual dari sedikitnya 3000 rekaman musik populer Indonesia yang dirilis antara tahun 1920-an hingga 1980-an. Selain mengunggah data rekaman, Irama Nusantara juga sedang dalam proses mendigitasi majalah musik populer Indonesia yang terbit di masa lampau seperti Aktuil dan juga beberapa memorabilia lain seperti poster acara musik serta foto-foto musisi populer Indonesia.

Gambar 3. Proses restorasi data visual (kiri) dan Proses memindai sampul rekaman (kanan)

Sebagai sebuah arsip berbasis komunitas yang didirikan oleh para enthusiasts atau penggemar musik populer Indonesia, Irama Nusantara dapat diidentifikasi serupa dengan institusi-institusi pengarsipan musik populer independen yang dinamai oleh Sarah Baker (2015: 2) sebagai “DIY institutions”. Lebih lanjut, ketika meneliti beberapa DIY Institutions di berbagai negara, Baker menyimpulkan bahwa persepsi mengenai musik populer yang secara umum belum begitu dihargai di ranah publik hingga berpengaruh pada proses pendanaan dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah, menjadi faktor utama yang sering kali menghambat keberlangsungan DIY Institutions. Hambatan tersebut juga sering kali ditemui oleh Irama Nusantara dan hingga kini tetap menjadi ancaman utama bagi keberlangsungan komunitas dan arsip yang telah mereka bentuk.

Referensi:

Assman, J.,2008. Communicative and Cultural Memory. Dalam Erll, A. dan Nünning, A. (eds.). Cultural Memory Studies: An International and Interdisciplinary Handbook. De Gruyter, Berlin.

Atkinson, D., 2008. The heritage of mundane places. In: Graham, B., Howard, P. (Eds.), The      Research Companion to Heritage and Identity. Ashgate, Aldershot, UK.

Baker, S., 2015. Do-It-Yourself Institutions of Popular Music Heritage: the Preservation of Music’s Material Past in Community Archives, Museums and Halls of Fame. Archives and Records, DOI: 10.1080/23257962.2015.1106933

Shuker, R., 2001. Understanding Popular Music, 2nd edition. Routledge, London.

Storey, J., 1993. An Introduction to Cultural Theory and Popular Culture, 2nd edition. Prentice Hall, London.

Arsip Audiovisual KUNCI Study Forum and Collective

Oleh: Fiky Daulay


Berawal dengan nama KUNCI Cultural Studies Center, KUNCI adalah kelompok belajar yang dibentuk oleh Nuraini Juliastuti dan Antariksa pada tahun 1999 sebagai upaya untuk membentuk ruang alternatif pasca kejatuhan Orde Baru. Pada praktiknya, KUNCI berperan sebagai pusat kajian budaya nirlaba melalui kerja-kerja penelitian dan publikasi dalam semangat lintas disiplin dan lokalitas seputar seni, budaya dan pendidikan alternatif. KUNCI membayangkan diri sebagai ruang produksi pengetahuan yang berpijak pada kesadaran praksis politik budaya di tengah politik praktis yang berkembang setelah kejatuhan rezim.

Sejak 2019, KUNCI Cultural Studies Center berganti nama menjadi KUNCI Study Forum and Collective, menitikberatkan pada kolektivisasi belajar, termasuk di antaranya: pengelolaan ruang, diskusi, perpustakaan, penelitian, penerbitan, percetakan, dan pengorganisasian sekolah. KUNCI melintasi dan menghubungkan batas-batas institusi, disiplin, serta lokalitas. Keanggotaannya berbasis persahabatan dan informalitas, serta berprinsip swa-organisasi dan kolaboratif.

‘Menggembosi’ Arsip

Sebagai anak magang di Kunci pada pertengahan tahun 2015, sulit rasanya untuk menjelaskan rasa heran akan pengaturan arsip kunci yang tampak kacau-balau, karut-marut atau centang-perenang. Mulai dari pendataan lokasi buku, lembar catatan, dokumen-dokumen penting, nota, hingga benda-benda kecil sekalipun. Sederetan pertanyaan muncul bersamaan di benak saya; bagaimana logika pengaturan arsip di sini berlangsung sebenarnya? Hubungan apa yang sedang dibentuk dari ketidakteraturan ini? Mengapa situs yang memuat arsip praktik penelitian sangat banyak dan dibuat terpisah dengan situs utama? Mengapa strategi mengingat kembali (recalling) arsip tertentu bergerak dari masing-masing anggota yang bisa saja bertanggung jawab pada proyek tertentu lalu dikembalikan pada ingatan secara kolektif?

Hingga kini kekacauan itu belum berubah atau barangkali tidak akan berubah banyak. Sekilas, apa yang tampak ke permukaan adalah penggembosan arsip organisasi dari dalam ke dalam pecahan-pecahan yang lebih kecil. Pecahan-pecahan kebutuhan arsip yang tidak berhubungan tetapi pada titik lainnya berjumpa melalui rembesan arsip pada praktik di masa lalu yang kemudian muncul pada bentuk praktik lainnya atau praktik yang akan datang. Lalu bagaimana praktik pengarsipan Kunci menggembosi dirinya sendiri dan pemaknaan apa yang ingin dibangun?

Dalam definisi ketat, arsip tentu saja mengacu pada seluruh bentuk rekaman historis yang terkait dengan catatan peristiwa atau terlebih, bukti autentik material yang tidak dipublikasikan dalam sebuah organisasi atau instansi. Namun, sebagai pustaka berbasis riset, KUNCI mendekati fragmen atau pengelompokan sumber informasi historis sebagai timbal balik antara abstraksi pengetahuan berwujud kerangka berpikir-pendekatan dengan penciptaan refleksi bersama berwujud materi publikasi.

Dengan kata lain, ia diandaikan sebagai landasan antara hubungan teori dan praktik yang tidak memisahkan kesejarahan arsip dan penggunaan arsip. Dalam contoh praktis, catatan bibliografi pustaka berperan sebagai pendukung penelitian juga dianggap sebagai arsip. Dengan demikian, dalam penciptaan publikasi (baru), arsip dibayangkan sebagai sesuatu yang terbuka, bergerak dengan waktu sekaligus mendorong pertanyaan bagaimana rekaman historis berhubungan dengan ketertarikan dan inisiatif masing-masing anggota? Ia kemudian menggeser pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan arsip dan apa yang tidak. Lebih pada upaya masing-masing anggota untuk membuka hubungan ‘arsip’ sebagai perangkat pengetahuan dengan ketertarikannya dan bagaimana memaknai publisitas atau penyebaran praktik penelitian secara luas.

KUNCI menyimpan berbagai macam bentuk arsip audio visual, termasuk:

  • Koleksi salinan publikasi, jurnal, buku, zine, majalah, katalog bertemakan seni, pendidikan dan budaya yang mendukung praktik penelitian kami atau tanpa membedakannya, salinan keseluruhan dan fragmen-fragmen koleksi tersebut menjadi infrastruktur penelitian.
  • Koleksi foto atau materi visual lainnya yang terkait dengan proyek penelitian dan materi publikasi (penyimpanan daring, hard disk, media sosial termasuk Instagram, Facebook, dll)
  • Koleksi materi audio meliputi rekaman diskusi publik, wawancara, soundscape, rekaman acara publik lainnya termasuk potongan material audio lainnya yang akan diolah ke dalam penyiaran radio sekaligus hasil penelitian. Selain itu kami berperan untuk merawat sebagian koleksi kaset fisik yang dimiliki oleh Hersri Setiawan (penulis, aktivis, sejarawan), memuat rekaman sejarah lisan dengan tokoh-tokoh dari berbagai periode sejarah Indonesia. Pada praktiknya, koleksi kaset otentik ini tersimpan di dalam lemari kedap udara. Pembukaan akses digital dilakukan semi-terbuka bagi para peneliti/akademisi yang telah memohonkan akses untuk menggali sejarah Indonesia dengan hanya mengaksesnya di tempat.

Koleksi kaset Hersri Setiawan

Pengelolaan arsip utamanya berperan sebagai infrastruktur penelitian sekaligus hasil penelitian yang dapat disebut sebagai perangkat ‘rumah/kantor’. Bentuk kerja yang mendorong inisiatif masing-masing individu dalam kerja-kerja kolektif mendorong pengelolaan arsip audio visual berbasis inisiatif masing-masing anggota. Beberapa dari kami akan mendaftar, mengelompokkan, dan melabeli arsip tersebut utamanya sebagai hasil penelitian yang dapat diakses sewaktu-waktu baik secara fisik atau digital secara intuitif, terbuka dan swa-reproduksi sesuai ketertarikan masing-masing anggota yang tidak selalu memproyeksikan masa depan.

Sebagai refleksi dari cara kerja kami yang cenderung untuk tidak membagi secara ketat pembagian kerja, alhasil kami tidak memiliki pembagian khusus antara ruang kerja, ruang pustaka, termasuk ruang penyimpanan arsip. Pada praktiknya, seluruh bentuk arsip fisik utamanya tersimpan di antara ruang kerja dan pustaka di dalam kabinet yang memuat folder, dan materi cetakan lainnya. Selain itu kami juga mengandalkan kotak-kotak penyimpan dan perangkat hard disk.

Penyimpanan arsip audio visual digital juga berada di wahana daring utama yang terbuka dan dapat diakses publik luas: https://archive.org/details/@kunci_cultural_studies_center. Wahana ini bekerja sebagai lumbung yang meneruskan tautan ke situs-situs yang kami kelola, diantaranya: Kunci.or.id, radio.kunci.or.id, dan situs lainnya yang memuat hasil proyek penelitian. Namun demikian, tidak ada hirarki yang bertingkat di antara lumbung dengan jejaring situs terkait lainnya.

 Tidak ada alur khusus dalam pengaturan arsip. Pendekatan label tagging atau kata kunci yang juga hadir di wahana archive.org dan website lainnya, juga berlaku pada pelabelan intuitif arsip-arsip fisik baik dokumen, publikasi, atau materi cetak lainnya hingga menuju kotak penyimpanan dan rak-rak kabinet. Sebagai organisasi yang tidak dapat digolongkan ke dalam institusi publik penuh, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat ataupun seperti Pustaka publik (Kota,Daerah, atau bahkan Universitas), kami mengelola jangkauan publik dalam kerangka semi-terbuka. Semi-terbuka mengacu kepada pembukaan akses formal sebesar-besarnya atas seluruh kegiatan publik melalui berbagai pintu seperti pustaka, website dan Klub Numpang Baca.

Namun di sisi lain, akses tersebut dibatasi oleh bentuk publik yang cenderung informal, berbasis jejaring dan pertemanan. Semi-terbuka kemudian mengandaikan akses yang terbuka bagi siapapun, tetapi pra-kondisi sosial atas akses arsip terbentuk melalui hubungan individual masing-masing di dalam keanggotaan Kunci dengan individu atau kelompok lain yang memiliki ketertarikan atau dalam semangat yang sama.

Selain akses daring dalam berbagai situs dan sosial media yang cenderung berwujud visual, pengelolaan akses audio secara publik juga diaktivasi melalui situs radio.kunci.or.id dan rilisan fisik Nguping Records. Radio adalah laman daring namun tak terpisahkan dengan usaha publikasi arsip Kunci di kanal lainnya. Konten radio memuat diskusi publik yang diorganisir oleh Kunci di kantor atau tempat lain seperti lokasi residensi. Konten ini berdampingan dengan bentuk lain seperti wawancara, soundscape, sastra lisan, audio guide terangkum dalam proyek Heterotropics.

Koleksi podcast Heterotropics #2: Resound, revision, recollection:Sensing through colonial archives, diinisiasi melalui 1.5 bulan residensi penelitian di Tropenmuseum (Amsterdam, Belanda), museum kolonial yang mengoleksi berbagai macam obyek, arsip dan dokumen dalam pameran ‘350 Tahun sejarah kolonial Indonesia’. Alih-alih menelaah arsip kolonial tersebut dalam kerangka visualnya, kami kemudian membongkar praktik pengarsipan di dalamnya. Podcast yang mentransmisikan medium suara dan bunyi menjadi perluasan ruang serangkaian wawancara dengan orang-orang biasa yang melakukan praktik pengarsipan, perekaman soundscape kota, symposium, termasuk penciptaan audio guide fiksional yang seperti produksi audio lainnya bersandar pada dekonstruksi museum sebagai institusi pendidikan yang memproduksi pengetahuan. Di sini pula, laku menggembosi arsip sekali lagi muncul dalam upaya yang lebih subtil untuk mengkolektivisasi relasi arsip sekaligus logika produksinya melalui kekuatan reflektif bunyi yang memperluas sekaligus mempersempit ruang publik. Menggembosi arsip kemudian dapat bermakna sebagai praktik arsip yang tidak terlepas dari pembentukan hubungan individu-publik yang tercipta dari upaya pendataan, pembagian, pengklasifikasian di dalam jejaring kesejarahannya.

Radio memungkinkan publik untuk berbagi ruang penciptaan partisipasi bersama melalui transmisi internet baik dalam bentuk koleksi podcast atau live streaming. Laman ini menjadi kanal arsip audio yang dapat diakses sewaktu-waktu dalam kategorisasi kegiatan kunci sekaligus kesegeraan diseminasi diskusi publik. Radio berbasis internet kemudian mengekspresikan media arsip sekaligus arsip itu sendiri sebagai ruang yang terbuka melampaui sekat lokasi dan konsep waktu yang terus berjalan.

Nguping Records merupakan sebuah upaya lanjutan pengolahan arsip berwujud rilisan fisik kaset. Pada tahun 2017, kami mengundang Uma Gumma, seorang seniman yang juga menjadi siswa temporer pada usaha kolektivisasi belajar Sekolah Salah Didik (SSD) untuk mengolah kembali arsip audio yang tersimpan dalam brankas Kunci melalui pendekatan artistik.[1] Uma kemudian memproduksi 3 rilisan audio dalam bentuk kaset, diantaranya; ‘Kasak-Kusuk Angkatan Tua’ memuat wawancara dengan Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan di Yogyakarta pada tahun 1999 pasca reformasi; ‘It’s My Job To Keep Punk Rock Elite’, memuat dua diskusi mengenai subkultur punk dalam Forum Gemar Membaca Kunci Cultural Studies Center pada 2014; ‘Suara Selepas Kerja’, memuat pembacaan karya sastra favorit oleh Susana Nisa, dan Arista Devi sebagai perpanjangan dari kelompok baca bersama buruh migran dalam proyek ‘Klub Baca Selepas Kerja’. Rilisan fisik kemudian menawarkan kompresi bentuk arsip dalam bentuk yang lebih berwujud bendawi dan dapat dikoleksi kembali.

[1] Kunci menginisiasi proyek jangka panjang Sekolah Salah Didik sejak 2016. Secara singkat, proyek SSD bertujuan untuk membongkar beragam lapisan hirarki dan otoritas produksi pengetahuan dalam institusi pendidikan formal. Proyek ini dijalankan lewat serangkaian eksperimen menjalankan proses  belajar melalui metode pedagogi alternatif (pembelajaran ala Jacotot dari Jacques Ranciere, Turba, nyantrik dan Taman Siswa).

Generasi Milenial dan Eksistensi Tari Angguk Kulon Progo

Oleh: Andri Handayani


Kulon Progo adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kaya akan seni tradisi. Beberapa seni tradisi khas Kulon Progo seperti seni tari Jathilan, Incling, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Angguk, Oglek, Krumpyung, Zabur (seni teater), Langen Toyo, Tayup topeng maupun strek (seni silat keagamaan) masih digemari (nasional.tempo.co). Tari Angguk yang merupakan salah satu seni tradisi ‘icon’ Kulon Progo tersebut bahkan sudah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda Indonesia dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016. Oleh karena itu, sangatlah menarik jika kita dapat mengetahui lebih banyak tentang Tari Angguk.

Menurut Ki Demang Sokawaten (Situs Sutresna Jawa, melalui Afendy Widayat) awalnya Angguk diiringi oleh syair-syair barzanji. Di lain pihak, Tashadi (1979:2) mengatakan bahwa Angguk merupakan perkembangan bentuk dari ragam selawatan dan macapatan yang biasa dilaksanakan pada hajatan khitanan. Dalam perkembangannya, unsur selawatan yang menonjol adalah segi olah vokal dan musiknya sedangkan unsur macapatan yang muncul adalah segi sastra dan bahasanya. Segi cerita yang digunakan bersumber dari Serat Menak meskipun hanya salinan yang dibuat sebagai bahan bacaan (Widayat, 4). Menurut Surajiyo, pendiri Sanggar Sripanglaras Kulon Progo, dulunya memang cerita tari Angguk berasal dari Serat Menak menggunakan syair barzanji (Arab) jadi masih ada karakter Umarmaya dan Umarmahdi. Akan tetapi sekarang syair yang digunakan pada iringan musik dapat disesuaikan dengan permintaan, bisa memakai bahasa Arab atau bahasa Jawa.

Tari Angguk berasal dari dua suku kata “ang” dan “guk”. Suku kata “ang” bermakna mengiyakan atau setuju, bermakna masyarakat pendukung setuju bahwa tari Angguk bermanfaat sebagai media syiar agama Islam. Sedangkan kata “guk” mirip dengan “duk” yaitu bunyi jeduk (bedug). Selain itu dalam tariannya, Tari Angguk juga menunjukkan gerak mengangguk-anggukkan kepala (Tashadi, 1979: 10-11). Menurut Surajiyo, dulunya Angguk ditarikan oleh putra. Cerita Angguk bersumber dari cerita peperangan antara pasukan Nabi Muhammad dengan kaum Quraisy dimana pasukan Nabi menang. Untuk merayakan kemenangan, mereka bersenang-senang, bergembira ria, dan bersyukur kepada Tuhan atas kemenangannya dengan menari, menyanyi, dengan diiringi rebana, bedug, kendang dan syairnya berjanjen (barzanji), bersyukur dan setiap akhir pertunjukan selalu memberikan hormat dengan menganggukkan kepala maka oleh karena itu mengapa dinamakan Angguk, dari menganggukkan kepala.

Tari Angguk putra ditarikan dengan jumlah penari yang selalu genap, minimal 12 orang (Pratama, 4). Dalam perkembangannya, tari Angguk putra kurang diminati sehingga lahirlah tari Angguk putri. Tari Angguk putri biasanya ditarikan oleh pemudi berusia sekitar 17 hingga 30-an tahun (Afendy Widayat). Kostum tari Angguk putri juga unik yaitu kostum seperti serdadu Belanda, berkacamata, berkaus kaki dan tidak berkipas (Afendy Widayat). Peralatan iringan angguk terdiri atas (1) rebana (besar, sedang dan kecil), (2) jidor, (3) kendang batangan, (4) perkusi, (5) ketipung, dan drum. Iringan musik tersebut ditabuh secara ritmis, relatif ajeg, dengan ciri menonjol pada bunyi hentakan jidor dan drum. Adapun komposisi tariannya, secara sederhana terdiri atas ragam gerak, desain lantai dan pola tari. Ragam geraknya, semula gerak tari angguk sangat sederhana, namun akhirnya telah dikemas dengan tari-tarian Jawa modern, yakni dengan ragam gerak seperti entrig, kicat, kupu tarung, ogek, tanjak, ukel, dan sembah (Padmopuspito, 1995: 17- 18).

Dalam pertunjukannya, penari Angguk dapat mengalami kondisi ndadi (in trance) atau kesurupan sehingga dalam menari pun mereka seperti lupa diri atau dianggap kesetanan. Ndadi, pada dasarnya memang kesurupan roh lain, sehingga penari yang bersangkutan tidak sadar atau setengah sadar pada keberadaannya (Widayat: 2008). Pada waktu ndadi, penari yang kesurupan ditinggalkan oleh penari lainnya, kecuali jika roh lain yang bersangkutan meminta untuk ditemani. Berbagai permintaan dari penari yang sedang ndadi antara lain: (1) minta bersalaman dengan tuan rumah atau yang punya hajat atau dengan perangkat desa atau perangkat pemerintah setempat mulai dari ketua RT, kepala desa hingga Bupati, (2) minta lagu-lagu tertentu, (3) minta tokoh tertentu diajak menari (ketiban sampur), (4) minta makanan atau minuman tertentu, makan bara api, makan bunga, minum air bunga, dsb. (5) minta untuk mencium atau mendekati alat musik tertentu, (6) mencari tokoh tertentu, termasuk kemungkinan ketua atau sesepuh kelompok angguk yang bersangkutan, untuk diberi petuah tertentu, misalnya petuah tentang kejujuran, agar jangan korupsi, agar jangan berbuat serong dengan wanita lain, dsb (Widayat: 2008).

Beberapa macam pertunjukan tari Angguk putri dapat dibedakan berdasarkan tujuan dari pemesan/ penanggap. Menurut Surajiyo, ada tiga macam pertunjukan tari Angguk yaitu Tari Angguk religi, pertunjukan dan hiburan. Tari Angguk religi biasanya dipentaskan untuk acara keagamaan pada bulan Maulud dan Syawal. Kostumnya menyesuaikan yaitu lebih panjang. Tari Angguk pertunjukan biasanya dipentaskan untuk penjemputan tamu, peresmian gedung dan menjamu tamu negara. Kostumnya juga menyesuaikan. Bentuk tari Angguk yang lain adalah untuk hiburan. Versi ini yang lebih banyak ditanggap di masyarakat, biasanya untuk hajatan dan acara-acara lain. Kostum yang dipakai biasanya celananya lebih pendek. Syair yang dipakai juga lain, misalnya untuk religi, syair yang dipakai menggunakan shalawat. Syair yang dipakai untuk Angguk pertunjukan memakai syair untuk kebaikan, kemajuan dan pembangunan bisa memakai bahasa Jawa. Sedangkan Angguk hiburan menggunakan pantun-pantun atau parikan bahasa Jawa.

Perkembangan tari Angguk khususnya di Kulon Progo tidak terlepas dari peran pemerintah dan sanggar-sanggar seni di dalamnya. Peran sanggar sangat penting dalam memperkenalkan tari Angguk ke generasi muda. Menurut Sri Wuryanti beliau dan suaminya, Surajiyo mendirikan Sanggar Sripanglaras pada tahun 2001 untuk memperkenalkan Angguk putri kepada generasi muda. Ternyata tanggapan masyarakat dan pemerintah sangat bagus bahkan sekarang tidak hanya anak-anak yang mengenal Angguk tetapi juga ibu-ibu. Sri Wuryanti menyatakan bahwa tari Angguk sudah populer dan bisa dipentaskan dimana saja. Bahkan pemerintah Kulon Progo mengadaptasi beberapa gerakan tari Angguk ke dalam senam maka jadilah senam Angguk.

Generasi milenial berperan sangat penting bagi pelestarian tari Angguk Kulon Progo. Dalam video dokumenter ‘Generasi Milenial dan Eksistensi Tari Angguk Kulon Progo’ ini akan menyajikan bagaimana kehidupan sehari-hari seorang pemudi bernama Destrine Megentina yang tidak hanya seorang penari Angguk yang aktif di Sanggar Sripanglaras asuhan Sri Wuryanti dan pementasan tetapi juga seorang generasi milenial yang akrab dengan teknologi serta tetap mengedepankan pendidikan. Selain itu, cerita tentang Sanggar Sripanglaras oleh Sri Wuryanti dan informasi tentang tari Angguk Kulon Progo oleh Surajiyo juga disajikan melalui video ini. Semoga video dokumenter ini dapat menambah wawasan dan khazanah pengetahuan kita semua. Salam Budaya!

Referensi:

Alfarini, P. (7 Maret 2005). Kesenian Tradisional Kulon Progo Masih Digemari. Diakses 2 Oktober 2019. Tempo.co. URL: https://nasional.tempo.co/read/57576/kesenian-tradisional-kulon-progo-masih-digemari

Padmopuspito, Asia, dkk. (1995. “Kajian Folklor Angguk Sri Lestari Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo”. Yogyakarta: Penelitian IKIP Yogyakarta.

Pratama, E.A. (2017). “Musik Angguk Sripanglaras Kulonprogo”. Surajiyo. (2019, September 25). Wawancara pribadi. Skripsi. Tidak Diterbitkan.

Tashadi (Ed.). (1979-1980/1980-1981). “Risalah Sejarah dan Buaya”. Yogyakarta: Balai penelitian Sejarah dan Budaya.

Widayat, A. (2008). “Seni angguk membangun peradaban”.

Wuryanti, S. (2019, September 2). Wawancara pribadi.

Pemanfaatan eLisa dalam Proses Pembelajaran Mata Kuliah Bidang Kearsipan

Learning Management System (LMS) merupakan istilah global untuk sistem komputer yang dikembangkan secara khusus dalam mengelola pembelajaran online, distribusi materi dan memungkinkan kolaborasi antara mahasiswa dengan dosen sebagai pembelajar sepanjang hayat (longlife learner). Meskipun perkembangan teknologi berkembang cukup pesat yang identik dengan era disrupsi, UGM sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia, transfer pengetahuan untuk menciptakan peserta didik yang berkompeten dan berkarakter kuat berdasarkan pancasila bersifat mutlak. Pengembangan sistem pembelajaran berbasis elektronik pun harus mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki keahlian, ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang memungkinkan mereka siap terjun di dunia kerja. Terkait dengan bidang Kearsipan, kemampuaan yang wajib dimiliki oleh peserta didik yaitu merujuk pada kemampuan dalam mengelola dan melestarikan arsip dan diharapkan dapat memainkan peran yang siginifikan dalam melakukan pengelolaan informasi dan dokumen di tengah pertumbuhan informasi dan teknologi informasi yang sangat semakin pesat.

eLearning System for Academic Community (eLisa) adalah sebuah LMS yang dikembangkan oleh UGM. Pengembangan konsep e-Learning melalui Mata kuliah Pengelolaan Record Center bertujuan untuk menyebarluaskan pengetahuan dalam pengelolaan arsip inaktif dengan baik dan benar sesuai kaidah kearsipan serta pengetahuan dalam merancang Record Center sesuai standar minimal Arsip Nasional Republik Indonesia. Pemanfaatan e-Learning dalam mata kuliah Pengelolaan Record Center pun juga mengarahkan kepada mahasiswa untuk dapat melakukan praktikum secara nyata dan berdampak positif dengan menggunakan arsip inaktif tidak teratur dari unit kerja khususnya Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada. Konsep e-Learning bidang kearsipan menuntut mahasiswa untuk dapat merencanakan, mengidentifikasi dan membuat keputusan mengenai seberapa jauh tingkat kemajuan pembelajaran yang mereka peroleh.

Dalam mendukung usaha menumbuhkan sadar arsip di kalangan publik, khususnya mahasiswa, konsep e-Learning dengan perancangan dan pembuatan materi ajar dalam Mata Kuliah Pengelolaan Record Center diterapkan pada semester genap. Bahan ajar dalam pembelajaran e-Learning merupakan medium yang memungkinkan mahasiswa belajar secara mandiri. Mahasiswa berinteraksi, menggali dan memecahkan masalah melalui bahan ajar sebagai sumber utama. Program ini ingin melihat sejauh mana konsep e-Learning dapat berkontribusi dalam menumbuhkan kesadaran arsip melalui manajemen kearsipan yang baik dan benar.

Rendahnya penguasaan terhadap teori serta rendahnya kesadaran terhadap bidang Kearsipan harus diatasi melalui ilmu pengetahuan. Gejala-gejala umum kurang dikenalnya bidang Kearsipan dapat dilihat dari rendahnya pemahaman mengenai arsip dan Kearsipan. Oleh karena itu, Progam Studi Kearsipan dituntut untuk melakukan transfer pengetahuan dalam proses pembelajaran yang berkaitan dengan bidang kearsipan, terutama program-program yang akan dirancang dalam konsep e-Learning.

Pengelolaan Record Center merupakan matakuliah inti dalam Program Studi Kearsipan, sesuai dengan kurikulum baru tahun 2017. Mata kuliah ini merupakan hasil redesain kurikulum, dengan menggabungkan mata kuliah Manajemen Arsip Inaktif (kurikulum 2012). Manfaat yang bisa dapatkan ketika kita memahami secara benar Pengelolaan Record Center melalui e-Learning adalah memungkinkan kita untuk berinteraksi secara langsung bahkan pada jarak yang jauh sekalipun. Pada situasi-situasi yang telah dikondisikan, interaksi akan muncul bahkan dapat dilakukan bukan hanya kepada satu orang, melainkan kepada seluruh komunitas pengguna jaringan tersebut. Manfaat praktis dari pemanfaatan e-Learning adalah mahasiswa semakin smart melalui smartphone yang mereka miliki. Dalam lingkup capaian pembelajaran, manfaat yang diperoleh bagi mahasiswa yakni memperkuat pemahaman teori kearsipan dan menumbuhkan sadar arsip yang nantinya akan diaplikasikan dalam kegiatan praktikum maupun dalam dunia kerja.

Masyarakat mulai menyadari bahwa keberadaan arsip merupakan informasi aktual. Oleh karena itu, perlu adanya manajemen Kearsipan yang baik sebagai upaya untuk menumbuhkan GNSTA (Gerakan Nasional Sadar Tertib Arsip) yang telah digaungkan oleh ANRI selaku Lembaga Kearsipan Nasional melalui Perka Anri No 7 Tahun 2017 Tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Arsip. Oleh karena itu, Program Studi Kearsipan, Departemen Bahasa, Seni, dan Manajemen Budaya Sekolah Vokasi UGM bertanggung jawab untuk mendukung gerakan tersebut. Sebagai institusi pendidikan, Program Studi Kearsipan juga berkewajiban untuk menumbuhkan sense kearsipan kepada para mahasiswa. Mahasiswa menjadi ujung tombak untuk menerapkan ilmu yang mereka pelajari ketika masuk dalam dunia kerja baik di institusi pemerintahan maupun swasta. Secara tidak langsung, sense kearsipan akan terus mengendap dan diwujudkan dalam proses kerja pengarsipan, sehingga pengakuan publik terhadap pentingnya arsip dan kearsipan akan mengakar kuat. Pertanyaan mendasar yang akan diajukan adalah bagaimana menumbuhkan sense kearsipan kepada para mahasiswa (milenial)? Usaha apa saja untuk menumbuhkan sense kearsipan tersebut?

Kebutuhan belajar dengan pemanfaatan teknologi (e-learning) pada dasarnya menggambarkan jarak antara tujuan belajar yang diinginkan dan kondisi yang sebenarnya. Oleh karena itu, konsep e-learning pun secara langsung memiliki andil dalam usaha untuk menumbuhkan sadar arsip kepada mahasiswa. Secara khusus, hasil pembelajaran e-learning dipraktikan ke dalam program rekonstruksi arsip unit kerja yang berada di Sekolah Vokasi. Dua angkatan mahasiswa Program Studi Kearsipan telah berkontribusi untuk menata arsip, khususnya di Bagian Keuangan, Sekolah Vokasi UGM. Tidak menutup kemungkinan bahwa hasil pembelajaran ini pun akan diterapkan melalui praktik rekonstruksi arsip di lingkungan Sekolah Vokasi dan fakultas lain di lingkup UGM. Jadi, kebutuhan belajar dengan konsep e-learning merupakan kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk menemukan hal-hal yang diperlukan dalam belajar dan hal-hal yang dapat membantu tercapainya tujuan belajar itu sendiri, melalui kegiatan praktikum.

Memaknai Kearsipan dalam Konteks Keluarga

Oleh: Tsabit Alayk Ridholah

Ketika kita mendengar kata arsip, maka pikiran kita langsung terbesit pada tumpukan kertas didalam lemari tua yang jarang dilihat. Ketika kita mendengar kata arsip, maka secara otomatis kita akan mengarah pada kertas usang sebagai bukti administrasi. Padahal, arsip sebagai rekaman informasi tidak layak dan tidak seharusnya diperilakukan seperti itu. Pada zaman sekarang, dimana internet sudah tidak menjadi kepentingan tersier lagi, google dan sosial media adalah konsumsi sehari-hari masyarakat. Memang benar adanya bahwa terkadang kita melupakan arsip milik pribadi, baik itu lupa menyimpan atau bahkan hilang. Namun pada intinya, arsip sangat dibutuhkan. Bahkan jika di level negara, jika arsip vital yang hilang, maka urusannya adalah legalitas suatu daerah, hingga bisa saja diklaim milik negara lain seperti kasus Sipadan-Ligitan. Mantan Presiden Panama, Richardo J. Alfaro mengatakan bahwa “pemerintah tanpa arsip ibarat tentara tanpa senjata, dokter tanpa obat, petani tanpa benih, tukang tanpa alat. Arsip memberikan kesaksian terhadap keberhasilan, kegagalan, pertumbuhan dan kejayaan bangsa”. Inilah bukti dari pentingnya arsip menurut mantan Presiden yang “arsip” rahasia negaranya terbongkar.

Kita mengetahui bahwa struktur terendah atau terbawah dari negara adalah sebuah keluarga, yang mana keluarga tersebut terdiri dari anak, ibu, ayah, dan lain sebagainya. Lemahnya sistem kearsipan di negara kita merupakan efek dari ketidakbiasaan dengan arsip sejak kecil dalam lingkup keluarga. Salah satu tanda bahwa kita belum terbiasa dengan arsip sejak kecil adalah kita tidak menyimpan satu buku atau satu file dalam bentuk apapun semasa kita taman kanak-kanak atau ketika sekolah dasar dulu. Ketika kita selesai ataupun lulus dari SD, yang kita dapatkan hanya selembar ijazah. Padahal foto-foto semasa TK atau SD, adalah arsip berjangka simpan panjang karena mengandung nilai kesejarahan. Foto-foto semasa kecil tersebut juga bisa menjadi bahan cerita kepada anak cucu kita kelak. Namun sayangnya belum semua orang tua sadar akan hal itu, belum semua guru mengetahui bahwa foto itu adalah arsip, dan ini berimbas pada anak cucu serta generasi mendatang.

Arsip sudah semakin dikenal oleh masyarakat. Arsip memiliki nilai informasi yang sangat tinggi sebagai memori masa lalu sekaligus bukti sejarah yang mampu memberi inspirasi dan sumber pengetahuan. Didalam rumah kita tentunya terdiri dari beberapa aset maupun simpanan. Dari semua aset yang ada dalam keluarga, arsip merupakan warisan yang tak ternilai harganya dibandingkan dengan benda warisan lainnya. Karena arsip merupanan bukti otentik dari setiap peristiwa yang terjadi terekam dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi dan informasi. Arsip merupakan warisan dari genrasi ke generasi perlu dirawat, dipelihara dari berbagai faktor yang dapat merusak baik fisik maupun informasi yang terkandung di dalam arsip tersebut.Arsip yang dihasilkan dalam keluarga ini ada berbagai macam jenis, namun yang terbanyak adalah arsip-arsip pendidikan dan kewarganegaraan seperti akte kelahiran, kartu keluarga, ijazah, KTP, dan lain sebagainya. Namun bukan hanya itu, yang lebih penting adalah tentang peran orang tua maupun guru dalam mendidik anak untuk mengenalkan arsip dan mengajarkannya. Arsip dalam konteks kekeluargaan didasarkan pada pengenalan awal mengenai apa itu arsip dan contoh dalam kehidupan sehari-hari yang sering ditemui. Bukan berarti menjelaskan dalam naskah akademik ataupun bahasa seminar, namun gaya bahasa santai orang tua kepada anaknya yang akan menjelaskan dikala bermain atau ketika sang anak sedang quality time bersama. Sebagai contoh nyata, saat ini jarang sekali orang tua yang mengajari anaknya untuk menyimpan arsip milik pribadi dengan rapih dan tertata. Bahkan tak jarang pula orang tua yang belum mengeti tentang arsip itu apa, jenisnya apa saja, dan lain-lain. Sehingga kondisi ini turun temurun sampai ke anak cucu kita kelak.

Pengajaran sederhana dari orang tua kepada anaknya tentang pentingnya arsip dan mengajarkan untuk menyimpannya sangatlah penting dizaman sekarang. Kasus kehilangi dokumen pribadi sudang sangat sering terjadi. Solusinya adalah merubah pandangan dan paradigma bahwa arsip adalah sesuatu yang usang dan tidak menarik menjadi sesuatu yang penting dan melekat dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan hanya tugas dari dinas maupun lembaga kearsipan, ini juga merupakan tugas dari keluarga sebagai agen terkecil dari negara. Masyarakat yang mengenal arsip sejak dini, akan berdampak pada kehidupannya kelak ketika memasuki dunia kerja maupun pasca dewasa.

Referensi:
Ben Senang Galus. Urgensi dan Relevansitas Kearsipan Bagi Negara. Dinas Pendidikan Provinsi DIY. Yogyakarta
Fitria Agustina. (2016). Sosialisasi Sadar Arsip dan Penyelamatan Memori Melalui Film. Arsip UGM. Yogyakarta
Sri Sulasmi. (2014). Arsip Keluarga Sebuah Langkah Kecil Yang Besar. Kantor Arsip dan Perpustakaan Karanganyar Jawa Tengah

Memanfaatkan Media Sosial Instagram untuk Memperkenalkan Kearsipan di Indonesia

Oleh: Tsabit Alayk Ridholah

Siapa yang tak kenal instagram? Sosial media yang satu ini memang sedang booming karena beberapa fitur terbarunya yang terus berkembang. Pengguna Instagram inipun tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Menurut hasil survei WeAreSocial.net dan Hootsuite, Instagram merupakan platform media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak ke tujuh di dunia. Selain sebagai jejaring sosial untuk berbagi foto, Instagram digunakan untuk memasarkan produk bisnis. Total pengguna Instagram di Indonesia sudah melebihi 57 Juta dan di dunia mencapai angka 800 juta pada Januari 2018 serta akan terus meronjak naik2. Penulis melihat aplikasi Instagram yang ada di PlayStore (pengguna android) sudah didownload oleh 1 Billion orang tau lebih dari 1 Milyar. Wow! Sebuah angka yang fantastis.

Memanfaatkan media sosial sebagai trend dalam komunikasi sudah bukan menjadi hal tabu lagi. Apalagi jika kita benar-benar memanfaatkan Instagram sebagai sarana penambah ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya internet telah merubah cara orang dalam berkomunikasi dari yang awalnya one to many menjadi many to many. Komunikasi ini berkembang pada era new media. Salah satu fenomena new media adalah tumbuhnya media sosial dimana digunakan oleh perusahaan untuk menciptakan electronic Word of Mouth (eWOM). eWOM adalah pernyataan positif atau negatif yang diungkapkan oleh pelanggan atau konsumen potensial ataupun yang sudah menggunakan mengenai produk atau perusahaan melalui Internet. Salah satu bentuk dari eWOM (electronic Word of Mouth) marketing adalah media sosial seperti Instagram. Instagram pertama kali rilis pada 6 Oktober 2010. Instagram merupakan sebuah aplikasi berbagi foto atau video yang memungkinkan pengguna dapat menerapkan filter digital, menyertakan caption sesuai yang diinginkan, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial (Hennig-thurau et al., 2004).

Kearsipan sebagai ilmu yang akan terus berkembang, sudah seharusnya mengikuti perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan pengertian kearsipan menurut banyak sekali sumber yang menyebutkan bahwa arsip harus mengikuti perkembangan media sesuai dengan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini berarti kearsipan harus beranjak meninggalkan cara-cara lama (konvensional) dalam memperkenalkan lingkup keilmuannya. ANRI sebagai Lembaga Negara Non-Kementerian yang menaungi kearsipan sudah seharusnya bisa memanfaatkan Instagram sebagai media sosial yang bertujuan untuk memperkenalkan keilmuan ini. Apabila kita melihat Instagram dari ANRI (@arsipnasionalRI), akun tersebut sudah diikuti oleh 1109 orang dan 139 postingan foto dan video. Namun sayangnya akun tersebut terlihat sangat monoton dengan foto jabat tangan dan seputar kegiatan ANRI. Jika kita bandingkan dengan Lembaga Negara Non-Kementerian lain seperti Badan Ekonomi Kreatif RI (@bekraf.go.id), maka ANRI akan tertinggal jauh. Jumlah followers dari akun @bekraf.go.id sudah mencapai 55.9k (559.000) serta memposting 420 foto dan video yang menarik (dilihat pada 27 Juli 2018). Ini menandakan kurang tenarnya kearsipan dari segi sosial media. Konten-konten yang ada pada akun-akun bertema kearsipan belum banyak dilirik oleh publik. Padahal hakikatnya masyarakat boleh dan berhak tau informasi mengenai kearsipan ini. Sebagaimana kewajiban dari seorang arsiparis untuk mengolah dan menyajikan informasi kepada pengguna. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Instagram saat ini memiliki banyak fitur yang bisa dimanfaatkan secara maksimal dengan konten-konten yang dapat memberikan edukasi kepada masyarakat melalui media sosial. Sebagai contoh, konten kreatif dengan gambar yang berisi caption penjelasan mengenai gambar tersebut. Saat ini Instagram harus dianggap sebagai media komunikasi dua arah. Sebagai konsumen, tentunya kita ingin dimanjakan dengan pelayanan yang sangat baik dan juga cepat. Begitu pula dengan Instagram, kita sebagai konsumen ingin dimanjakan dengan foto ataupun video yang menarik sehingga kita betah untuk membacanya. Sebagai contoh, kita bisa melihat akun (@tirto.id) dan (@kumparancom) sebagai akun pemberi informasi kepada publik melalui gambar, video, info grafis, dan berita-berita lainnya. Di Indonesia, akun Instagram yang fokus memberikan ilmu pengetahuan mengenai kearsipan saat ini masih sangat sedikit sekali. Jikapun ada, maka kontennya belum mampu menarik mata masyarakat untuk berkunjung dan membaca. Padahal kemungkinan potensi yang akan timbul jika memanfaatkan instagram sebagai sarana pengenalan ilmu kearsipan adalah masyarakat akan tertarik dengan arsip. Contoh sederhana yang dilakukan oleh akun (@kearsipan.sv.ugm) adalah dengan memberikan edukasi mengenai KIK (Kamus Istilah Kearsipan). Dengan demikian, istilah-istilah mengenai kearsipan tidak akan terasa asing lagi dikalangan masyarakat.

Referensi:

Kurniatun. Arsiparis : Antara Realita dan Harapan. Arsip Universitas (AU) UGM. Yogyakarta
Ana Putri H. (2017). Analisis Pengaruh Media Sosial Instagram Terhadap Pembentukan Brand Attachment (Studi Universitas Muhammadiyah Surakarta). Skripsi FEB UMS. Surakarta

Mengulik Right to be Forgotten di Indonesia

Bagi kita sebagai warga negara, informasi digital sangatlah penting. Hal ini di antaranya untuk mencari sumber referensi, mencari data, dan lain sebagainya. Didalam informasi yang kita cari tersebut terkadang mengandung sesuatu kasus yang sudah lampau dan juga sudah selesai (habis masa perkaranya). Orang dalam kasus tersebut seharusnya bisa dihapuskan nama dan beritanya, karena kasus tersebut telah selesai (Right to be Forgotten). Right to be forgotten merupakan hak untuk dilupakan dari publik terkait kasus yang pernah dialami seseorang dimasa lampau. Jika kita lihat di negara lain, pada 2010, seorang warga negara Spanyol mengajukan gugatan terhadap media massa dan Google ke Pengadilan Spanyol. Ia menggugat karena merasa bahwa privasinya terganggu atas informasi kasus yang masih ditemukan di Google, padahal kasus itu sudah dinyatakan selesai (resolved) beberapa tahun yang lampau, sehingga informasi yang ada di Google tersebut sudah tidak relevan. Ia lantas mengajukan permohonan supaya pengadilan meminta media massa dan Google menghapus konten informasi yang telah merugikannya itu. Pengadilan Spanyol kemudian meminta pendapat dari Pengadilan Uni Eropa, apakah Peraturan tentang Perlindungan Data Uni Eropa 1995 berlaku untuk mesin pencari seperti Google; apakah aturan itu berlaku untuk Google Spanyol mengingat bahwa server Google berada di Amerika Serikat; dan apakah penggugat mempunyai hak untuk meminta agar data dirinya dihapuskan dari Google (right to be forgotten). Setelah berproses selama empat tahun, Pengadilan Uni Eropa dalam putusannya pada Mei 2014 menyatakan bahwa meskipun server Google ada di AS, ia terikat pada Peraturan tentang Perlindungan Data Pribadi, karena Google mempunyai cabang di Spanyol; Google harus mematuhi aturan tersebut; dan penggugat mempunyai hak untuk dilupakan (dalam kondisi tertentu) dengan meminta Google menghapus informasi tentang dirinya. Namun Pengadilan Uni Eropa menegaskan, ketentuan untuk menghapus informasi tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak relevan (irrelevant), tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive).
Google sebenarnya menyimpan kekhawatiran akan terjadi penyalahguanaan hak dan juga arsip elektronik. Terlebih jika aturan ini diberlakukan di negara-negara yang belum maju dan cenderung korup. Kekhawatiran itu diutarakan langsung oleh pendiri Google, Larry Page. Sebagai contoh, pianis Dejan Lazic pernah mencoba menggunakan Hak untuk dilupakan ini demi bisa menghapus ulasan negatif tentang penampilannya dari The Washington Post. Lazic mengklaim bahwa kritik itu memfitnah, kejam, ofensif, dan tidak relevan untuk seni. Google tentu menolak menghapus jenis tautan yang seperti itu. Sejak tuntutan Cosjeta dikabulkan, permintaan penghapusan tautan yang diterima Google meningkat. Berdasarkan data keterbukaan dari situs resmi Google, jumlah tautan yang sudah dievaluasi untuk dihapus tercatat sebanyak 1,63 juta. Ia berasal dari 523.394 permintaan. Tautan dari Facebook menjadi yang terbanyak diminta untuk dihapus, yakni mencapai 13.852 tautan.
Bagaimana jika di Indonesia? Google Search Engine atau mesin pencari Google saat ini berfungsi sebagai mesin pencari semua jenis informasi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hasil perubahan telah resmi berlaku kemarin (28 November 2016). Di dalam perubahannya, salah satunya diatur tentang “right to be forgotten” di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk dihapuskan informasi tentang dirinya di media internet. Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Teguh Arifiyadi menjelaskan bahwa penerapan right to be forgotten di Indonesia akan berbeda dengan negara lain. Penghapusan konten di Uni Eropa atau Rusia atau negara lainnya yang menerapkan hanya dilakukan sebatas dalam mesin pencari (search engine), di Indonesia nantinya tidak akan seperti itu. implementasi right to be forgotten di Indonesia nantinya tidak hanya pada mesin pencari (search engine). Penghapusan konten yang dianggap tidak relevan berdasarkan penetapan pengadilan langsung dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik yang memegang kendali langsung atas suatu konten tertentu. Hal tersebut tegas disebut dalam Pasal 26 ayat (3) revisi UU ITE: “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”. Frasa „berada di bawah kendalinya‟ menjadi penegasan dimana implementasi di Indonesia tidak hanya pada mesin pencari. Selain itu, perbedaan penerapan right to be forgotten yang lain adalah soal luasnya cakupan informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan penghapusan oleh seseorang. Dalam revisi UU ITE, konten yang dapat dimohonkan penghapusan tak hanya mengenai konten yang berkaitan dengan data pribadi, namun lebih luas dari hal itu. Apapun informasi atau dokumen elektronik sepanjang dinilai tidak relevan, maka yang bersangkutan dapat meminta penghapusan dengan menunggu penetapan pengadilan. Selain itu, hak untuk dilupakan ini masih banyak menjadi perbincangan di Indonesia karena dianggap “berbenturan” dengan hak atas informasi. Yang harus dipelajari dari Hak Asasi Manusia (HAM) ini adalah hak-hak yang dibatasi oleh “asasi” manusia. Jadi tidak semua keinginan dari masyarakat harus terpenuhi. Tetapi yang jelas ada batasan atau koridor-koridor yang harus kita patuhi terlebih dahulu sebelum kita mendapatkan hak yang kita inginkan. Begitu pula dengan right to be forgottem ini, harus ada prosedur serta tata cara tertentu agar keinginan untuk dilupakannya dapat dikabulkan. Satu hal yang terpenting, Indonesia sebagai negara hukum sudah berusaha untuk membuat ataupun menciptakan suatu aturan main agar masyarakatnya merasa aman dan terlindungi. Hanya saja hukum ini belum begitu sempurna karena ada beberapa poin pembahasan yang harus ditelaah lebih dalam lagi baik dari segi hukum, teknologi informasi, maupun kearsipan. Hak untuk dilupakan ini adalah sebuah konsep yang sudah didiskusikan dan dipraktikkan di Eropa dan Argentina sejak 2006. Ia memberikan hak kepada setiap individu untuk meminta mesin pencari menghapus tautan berkaitan dengan data pribadi mereka. Menurut banyak kabar, penerapan hak untuk dilupakan di Indonesia ini hanya sebatas pencarian akses yang akan dipersulit diwilayah domain atau negara yang bersangkutan. Tetapi masih bisa diakses oleh negara diluar domain dan kontennya masih tersedia. kewenangan pemutusan akses oleh Kominfo secara teknis hanya Geo Blocking, artinya suatu konten hanya terblokir sebatas wilayah Indonesia. Apabila diakses dari luar Indonesia, maka konten tersebut masih tetap bisa diakses. Boleh jadi, secara efektivitas tidak terlalu berdampak namun setidaknya bisa meredam upaya akses dari siapapun agar hak pribadi masih tetap terlindungi.

Oleh: Tsabit Alayk R

Referensi:

Dwi Hartono. (2016). UU ITE, Hak untuk Dilupakan, dan Hak Publik atas Informasi. www.komnasham.go.id. Diakses pada 28 Juli 2018

Ervina Anggraini. (2016). Hak untuk dilupakan Hanya Berlaku dalam Perkata ITE. www.cnnindonesia.com/teknologi. Diakses pada 28 Juli 2018

Wan Alfa N Z. (2016).Tak Terlupakan dengan Hak Untuk Dilupakan. www.tirto.id. Diakses pada 28 Juli 2018

(2016). Ini Bedanya Konsep Right To Be Forgotten di Indonesia dengan Negara Lain. www.hukumonlne.com. iakses pada 28 Juli 2018

Test Main Page

[ngg_images source=”galleries” container_ids=”1″ display_type=”photocrati-nextgen_basic_thumbnails” override_thumbnail_settings=”0″ thumbnail_width=”240″ thumbnail_height=”160″ thumbnail_crop=”1″ images_per_page=”20″ number_of_columns=”0″ ajax_pagination=”0″ show_all_in_lightbox=”0″ use_imagebrowser_effect=”0″ show_slideshow_link=”0″ slideshow_link_text=”[Show slideshow]” order_by=”sortorder” order_direction=”ASC” returns=”included” maximum_entity_count=”500″]