Arsip:

audiovisual

Youtube dan Praktik Pengarsipan Audiovisual

oleh: Nabiilah Khusnul A.


Dalam kondisi wabah pandemi covid-19 saat ini, seberapa sering netizen melihat kabar tentang artis yang akan melaksanakan konsernya secara virtual? Media apa saja yang mereka gunakan? Dalam masa pandemi, semua kalangan dituntut untuk lebih kreatif dan responsif dalam melaksanakan kegiatan mereka sehari-hari. Mengubah proses kreatif dari tatap muka menjadi daring pun menjadi solusi praktis. Salah satunya contohnya yaitu pelaksanaan konser secara virtual oleh sederetan artis. Media yang digunakan pun beragam, salah satunya melalui situs web berbagi video, Youtube. Situs ini menyediakan bermacam video yang dapat diunggah oleh siapapun. Tak heran jika pengunjung situs ini terus meningkat, bahkan di tahun 2020. Jumlah pengguna Youtube dapat dilihat dalam grafik yang dikutip dari wearesocial.com sebagai berikut.

Gambar 1. Grafik Sosial Media yang Paling Sering Digunakan di Dunia (Januari 2020)

Gambar 2. Presentase Penggunaan Aplikasi Mobile Berdasarkan Kategori (Januari 2020)

Pada bulan Januari, Youtube menduduki posisi kedua setelah Facebook sebanyak 2 milyar pengguna berdasarkan pengguna aktif, penonton advertise/iklan, atau pengunjung unik lainnya setiap bulan. Dari beberapa negara yang melapor, kategori dengan rate tertinggi yaitu penggunaan sosial media untuk chat app atau aplikasi messenger dengan jumlah presentase 89%.

Gambar 3. Grafik Sosial Media yang Paling Sering Digunakan di Dunia (April 2020)

Gambar 4. Presentase Penggunaan Aplikasi Mobile Berdasarkan Kategori (April 2020)

Kemudian dilihat pada bulan April 2020, Youtube masih menduduki peringkat yang sama yaitu nomor kedua setelah Facebook. Namun dikarenakan wabah pandemi covid-19 semakin meluas, sehingga di beberapa negara menyebabkan peningkatan dalam online dan aktivitas digital, rate penggunaan tertinggi yaitu dalam kegiatan menonton shows dan film dalam layanan streaming dengan presentase 57%.

Penggunaan situs Youtube yang menduduki peringkat kedua menunjukkan bahwa Youtube dapat menjadi salah satu media yang dapat dimanfaatkan dalam proses pengarsipan arsip audiovisual dengan syarat dan ketentuan yang diberikan oleh Youtube. Situs Youtube juga dapat menjadi media simpan dalam bentuk digital yang dapat diakses oleh pengguna berbagai latar belakang sehingga sosialisasi yang terkait dengan kerja pengarsipan menjadi lebih mudah. Video yang diunggah di Youtube saat ini, akan menjadi memori atas sebuah peristiwa dalam suatu wilayah dan waktu tertentu, aktivitas individu maupun institusi, kegiatan yang sedang tren pada masanya, dan kejadian yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Apa yang terjadi tentang liputan berita Korea bahwa ABK Indonesia yang bekerja di kapal Cina mengalami pelanggaran HAM berat? Apabila berita tersebut hanya ditayangkan pada TV Korea saja tentu akan menarik sedikit perhatian publik atau bahkan tidak akan ditindak lanjut oleh pemerintah Indonesia. Namun karena video tersebut diunggah melalui Youtube dan diulas oleh beberapa pengguna sehingga menjadi trending di Indonesia.  Video tersebut dapat menjadi sumber informasi yang mungkin tidak terkuak oleh media Indonesia dan dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk menindaklanjuti atau dalam kata lain membuktikan bahwa fungsi video tersebut sama dengan fungsi arsip yaitu sebagai sumber informasi.

Pada kasus lain, sama halnya jika sebuah video hanya berisi aktivitas seorang manusia dari jutaan manusia lainnya yang memiliki saluran Youtube. Walaupun terlihat tidak terlalu penting mengetahui kehidupan pribadi seseorang, namun kemungkinan besar hal tersebut dapat menjadi sebuah saksi besar dalam sejarah kehidupan manusia yang dapat dimanfaatkan pada masa kini hingga memprediksi seperti apa masa depan.

Dilansir dari m.cnnindonesia.com tentang artikel “Arsip Video Bersejarah Bakal Diunggah ke Youtube” bahwa dua perusahaan media yaitu Associated Press dan British Movietone akan mengunggah video peristiwa paling penting dan bersejarah dalam 120 tahun terakhir. Direktur Arsip Internasional Associated Press, Alwyn Lindsey juga menyebutkan bahwa saluran videonya akan diproyeksikan sebagai ensiklopedia visual dalam abad paling bergejolak di sejarah manusia. Lindsey juga menjelaskan bahwa masyarakat dapat menikmati beberapa saat tertua dan paling luar biasa dalam sejarah.

Artikel tersebut mengandung makna yang kuat bahwa Youtube telah menjadi sebuah platform media baru dalam pengarsipan audiovisual. Saat ini Youtube juga telah menerapkan sistem copyright sehingga pengguna dapat mengakses namun tidak dapat mengklaim atau menduplikat hak milik sebuah saluran. Copyright berlaku jika sebuah video terindikasi mengutip atau menduplikasi saluran lain tanpa izin dan mengunggahnya dalam saluran miliknya. Maka dari pihak Youtube akan mem-banned video hingga akun yang melakukan duplikasi. Semakin beragamnya fitur yang tersedia di Youtube semakin memudahkan penggunanya untuk semakin memperluas jangkauan penonton atas apa yang sebelumnya belum atau tidak memungkinkan dibagikan secara daring. Selain itu dapat semakin meminimalisir bahkan mencegah video yang diunggah bebas dari duplikasi. Sehingga situs Youtube memiliki peran cukup penting dalam pengarsipan audiovidual atau arsip berbentuk video.

Referensi:

Kemp, Simon. 2020. “Digital 2020: 3.8 Billion People Use Social Media”. https://wearesocial.com/blog/2020/01/digital-2020-3-8-billion-people-use-social-media. Diakses pada 20 Mei 2020

Kemp, Simon. 2020. “Digital Around The World in April 2020”. https://wearesocial.com/blog/2020/01/digital-around-the-world-in-april-2020. Diakses pada 20 Mei 2020

Panji, Aditya. 2015. “Arsip Video Bakal Diunggah ke Youtube”. https://m.cnnindonesia.com/teknologi/20150724134746-186-67975/arsip-video-bersejarah-bakal-diunggah-ke-youtube. Diakses pada 20 Mei 2020.

Rahadian, Bagas. 2020. “Sejumlah Arsip Konser Live Bakal Tayang 72 Jam Non Stop di Youtube Termasuk di Dalamnya Konser Lawas Slipknot dan Green Day”. https://hai.grid.id/read/072121477/sejumlah-arsip-konser-live-bakal-tayang-72-jam-non-stop-di-youtube-termasuk-di-dalamnya-konser-lawas-slipknot-dan-green-day. Diakses pada 20 Mei 2020

Pusat Bantuan Youtube, https://www.youtube.com/intl/id/about/copyright/#support-andtroubleshooting 


Nabiilah Khusnul Afifah adalah mahasiswa Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM angkatan 2018.

Arsip Audiovisual dalam Arsip Audiovisual: Arsip Audiovisual dan Karya Kreatif

Oleh: Widiatmoko Adi Putranto


Dengan sejumlah video klip band-nya, Kla Project, yang ia unggah di kanal pribadi Youtube-nya dan diklaim sebagai ‘asli’, apakah fokus Katon Bagaskara adalah hanya pada nostalgia dan monetisasi ataukah ia sebenarnya juga figur yang mengamalkan konsep LOCKSS dan memahami prinsip digital cultural preservation? Arsip audiovisual, atau arsip pada umumnya, tak melulu harus memiliki kegunaan yang diartikan secara kaku: hukum, riset, atau administrasi. Arsip audiovisual, dan lainnya, bisa digunakan ulang atau diulas dan dibicarkan dalam media kreatif baru yang bentuknya bisa saja sangat berbeda atau, sama-sama arsip audiovisual juga dan dengan sendirinya memberikan konteks baru. Sejumlah karya kreatif telah menggunakan, mendiskusikan dan menunjukkan gejolak zaman yang mampu direkam oleh arsip audiovisual baik dalam konteks konten, media, maupun carrier.

Gambar 1. Salah satu cuplikan videoklip Dreams Tonite oleh Alvvays (2017)

Pada videoklip salah satu single di album kedua mereka–Antisocialite, yang rilis tiga tahun lalu, band Alvvays dari Kanada menghidupkan kembali sejumlah potongan footage pekan raya Expo pada tahun 1967 di Montreal dari National Film Board of Canada–lembaga yang menawarkan footage untuk keperluan komersial dengan biaya terjangkau dan pada tahun yang sama juga berkomitmen menambah jumlah staff indigenous mereka (CBC News 2017), dan Prelinger Archive yang memiliki koleksi film ephemeral dengan lisensi terbuka. Selain kepiawaian teknik editing yang subtle untuk menggabungkan potongan footage dengan shoot baru mereka, penggunaan arsip ini terkesan natural agaknya karena video mereka pun juga sama-sama direkam menggunakan film. Potensi-potensi semacam ini, menurut Roued-Cunliffe (2017), kian dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi.

Dari Indonesia, band the Adams (2019) memilih untuk menggunakan arsip foto kolega mereka dalam bentuk mozaik sebagai bagian dari videoklip lagu ‘Masa-masa’ yang menjadi bagian dari album terbaru yang mereka rilis tahun lalu, Agterplaas dalam menciptakan kesan nostalgia. Yang lebih lawas, video director Tak Bisa ke Lain Hati-nya KLa Project (2008) menggunakan sejumlah arsip yang sama sebagai bagian dari upaya memvisualisasikan lagu tersebut dalam video klip mereka. Bedanya: semuanya adalah pas foto dalam format fisik. Hampir semua orang mungkin sekarang akan menatap layar untuk melihat foto digital berformat jpeg atau melakukan panggilan video, namun pas foto cetak yang masuk kategori arsip still image, adalah objek terbaik di tahun 90an yang biasanya tersimpan di dompet atau terpajang di pigura kamar. Apabila diperhatikan dengan teliti, setidaknya ada 8 set pas foto dengan model Memes yang disusun bersama objek-objek atau gestur lain dengan tujuan menyiratkan maksud atau perasaan tertentu pada videoklip tersebut. Pertama, pas foto yang digoreng di bawah dua telur ceplok dalam panci (01.12). Kedua, pas foto hitam putih berjejer yang ditempel memenuhi dinding (00.42, 04.23), dilewati langkah kaki dengan sepatu boot yang mencipratkan air. Ketiga, pas foto tertutup daun, kemudian diterbangkan angin (00.47). Keempat, pas foto hitam putih yang dibakar (01.26). Kelima, pas foto di atas papan catur dengan gerakan bidak kuda hitam memakan perdana menteri coklat kayu (02.06). Keenam, pas foto yang dicat garis merah lurus (02.37). Ketujuh, pas foto yang diseraki gundu (02.43) dan terakhir, pas foto yang ditimpa tulisan menggunakan mesin tik (02.50). Nampaknya, semua set mewakili perasaan yang gelisah, bimbang, dan penuh pertimbangan sesuai lirik lagu.

Gambar 2. Salah satu cuplikan videoklip Tak Bisa Ke Lain Hati oleh KLa Project (2008)

Di EP Skenario Masa Muda (2007), band White Shoes and the Couples Company menyisipkan sejumlah potongan dialog antara lagu satu dengan lagu lainnya. Percakapan-percakapan ini terinspirasi dari sejumlah adegan pada film Tiga Dara (Ismail 1956) dan seolah berkorelasi dan membuka tiap lagu. Misalnya, ada percakapan soal ditabrak skuter sebelum lagu Pelan Tapi Pasti yang bertemakan jalan-jalan berkeliling Jakarta. Faktanya, karya ini memang sengaja dibuat untuk membantu menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap upaya pelestarian arsip film Indonesia bersama dengan Kineforum dan Sinematek Indonesia.

Sementara itu, ada juga beberapa karya yang mengangkat arsip audiovisual sebagai tema. Band Goodnight Electric dari Jakarta misalnya, memilih media pembaca kaset video yang telah usang, VCR, untuk diabadikan sebagai sebuah lagu. Kerap kali terjadi, teknologi audiovisual berkembang dengan dipengaruhi secara signifikan oleh tuntutan sosial dan kebutuhan pasar (Edmonson 2016). Sebelum digantikan VCD dan DVD (dan tentunya Youtube dan Netflix), merekam acara atau siaran televisi dalam kaset Betamax dan VHS menggunakan Video Cassette Recorder (VCR) adalah kegiatan yang cukup populer sekaligus menimbulkan perdebatan hak cipta di tahun 1980an. Pada era tersebut, bahkan tak semua orang memiliki akses pada televisi yang kini dapat dimiliki dengan mudah oleh semua orang. Lebih-lebih kepemilikan VCR dan alat rekam pribadi seperti video recorder atau handycam. Bagi masa kecil saya saat itu, tidak memiliki VCR dan kasetnya berarti melewatkan tayangan Doraemon di RCTI via TV tetangga pada hari Minggu pagi. Perjalanan VCR bisa jadi alegori yang tepat bagi salah satu tantangan terbesar dalam digital preservation: obsolescence. Di lagu dan video klip ini, Goodnight Electric (2019) meromantisasi memutar dan menonton rekaman film via VCR –baik media pembaca maupun wadahnya sudah sukar dijumpai–yang memiliki kemampuan untuk bisa dipercepat dan cahaya, definisi, dan dimensinya begitu indah sehingga membuat kita terpana, merona dan merana. Mungkin maksudnya merana seperti kolega saya pengampu mata kuliah Pengelolaan Arsip Audiovisual, Arif Rahman Bramantya, yang kerap dipusingkan dengan skema administrasi keuangan yang tidak memungkinkan pembelian infrastruktur bekas seperti VCR.

Gambar 3. Salah satu cuplikan videoklip VCR oleh Goodnight Electric (2019)

Pada awal masa kuliah sarjana, seorang teman yang belakangan bekerja di rental VCD meminjamkan saya VCD film yang saya tonton 3 kali sehari, film itu adalah Janji Joni (Anwar 2005). Seperti judul artikel ini, Janji Joni adalah film yang membicarakan film. Edmondson (2016) menyebut bahwa tak seperti konten, carrier audiovisual bisa dikategorikan sebagai artefak tersendiri dan memiliki sejumlah karakter intrinsik yang tak mungkin dimigrasikan ke dalam bentuk lainnya. Janji Joni tidak hanya menampilkan rekam jejak masa dimana bioskop masih bertumpu pada pengantar dan pemutar rol film manual yang memberikan pengalaman indrawi dan estetika walau kini tak lagi dilirik industri, namun juga merekam arsip skena musik independen Jakarta di pertengahan 2000an karena Joko Anwar memutuskan untuk menggunakan scoring yang hampir sebagian besar merupakan band-band yang tergabung dalam kompilasi JKT:SKRG (Tarigan 2004)–album yang berisikan band-band seperti Sore dan Sajama Cut di awal karir mereka. Itu belum terhitung penampilan Henry Foundation dari Goodnight Electric dan Hanin Sidharta dari label rekaman Aksara sebagai figuran dan Tantowi Yahya di adegan melahirkan bayi dengan gimmick khas yang pernah identik dengan dirinya: pembawa acara kuis Who Wants to be Millionaire (RCTI 2001 – 2006) yang pernah populer sebagai tayangan televisi pada awal 2000an dan profesi evergreen-nya sebagai penyanyi musik country. Janji Joni juga menyadarkan kita bahwa sama seperti arsip audiovisual, penonton film di bioskop juga bisa diklasifikasikan: dari penonton spoiler hingga penonton pacaran. Sungguh arsip audiovisual yang penuh dengan hal-hal yang arsip audiovisual.

Referensi:

Alvvays A 2017, Alvvays – Dreams Tonite [Official Video], video, Youtube, 13 September, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=ZXu6q-6JKjA>.

Anwar, J (dir.) 2005, Janji Joni, ‎VCD, Kalyana Shira Films.

CBC News 2017, ‘National Film Board ‘redefining’ its relationship with Indigenous Peoples’, CBC News, 20 Juni, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.cbc.ca/news/indigenous/nfb-new-relationship-indigenous-peoples-1.4167947>.

Edmonson, R 2016, Audiovisual archiving: Philosophy and principles, UNESCO, Bangkok.

Goodnight Electric Official 2019, Goodnight Electric-VCR (Official Music Video), video, Youtube, 11 September, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=VlCAH4nr2Ok>.

Ismail, U (dir.) 1956, Tiga Dara, motion picture, Perfini.

Katon Bagaskara Official 2008, KLa Project-Tak Bisa Ke Lain Hati (The Original Version), video, Youtube, 31 Januari, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=h1e4q9LLTA0>.

Prelinger, R 2004 – 2020, Prelinger Archives, Panix, diakses pada 28 Juli 2020, <http://www.panix.com/~footage/>.

Roued-Cunliffe, H 2017, ‘Open heritage data and APIs’ dalam H Roued-Cunliffe & A Copeland (eds.), Participatory Heritage, Facet Publishing, London, pp. 195-203.

RCTI 2001 – 2006, Who Wants to be Millionaire, television program, RCTI.

Tarigan, D & Ringo, L (prod.) 2004, JKT:SKRG, CD, Aksara Records.

The Adams 2019, The Adams-Masa-Masa (Official Lyric Video), video, Youtube, 25 Februari, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=IMDn0YqV2NI>.

White Shoes & The Couples Company 2007, Skenario Masa Muda, CD, Aksara Records.

Meneladani Tradisi Pengarsipan Bagong Kussudiarja: Pengelolaan Arsip di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja

Oleh: Herraditya Mahendra


Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) dibangun dan didirikan pada tahun 1978 oleh maestro seni Indonesia Bagong Kussudiardja di Kab. Bantul, D.I. Yogyakarta. PSBK memusatkan perhatian pada pertumbuhan dan pengembangan nilai seni, baik yang berbentuk keindahan hidup bersama maupun karya. PSBK memakai metode belajar aktif-partisipatif yang menjembatani proses kerjasama  seniman dan masyarakat untuk bersama-sama memanfaatkan kesenian untuk mencapai kehidupan yang bermartabat dan beradab.

Melanjutkan spirit Bagong Kussudiardja, PSBK mewujudkan diri sebagai art-center dengan misi mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. PSBK hadir sebagai laboratorium kreatif, tempat berkumpul, dan ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin. PSBK menghadirkan karya seniman-seniman muda, fasilitasi riset-riset artistik dan pengembangan profesional seniman maupun masyarakat umum, dan merancang program-program untuk meningkatkan community engagement dan pengembangan jaringan, melalui kesenian.

Bagong Kussudiarja merupakan seniman yang sadar akan arsip. Beliau selalu menyimpan dan mengelompokkan hal-hal seperti catatan perjalanan, liputan media, dokumentasi peristiwa kesenian, gambar pola langkah tari, hingga surat menyurat. PSBK selaku sebuah institusi meneladani hal tersebut dan melakukan proses pengarsipan mereka sendiri dari program-program yang mereka jalankan. PSBK sadar bahwa arsip itu penting dan berharga sebagai penanda jaman dan jendela pengetahuan.

PSBK membagi arsip mereka menjadi dua bagian yakni arsip fisik dan arsip audio visual. Arsip fisik merupakan arsip arsip yang didapatkan dari program-program yang dijalankan PSBK dari tahun 1978 dan juga arsip-arsip Bagong Kussudiharja sebagai seniman. Arsip-arsip yang dikumpulkan ini memiliki keanekaragaman jenis, yakni:

  • Arsip karya
  • Catatan pribadi Bagong Kussudiarja
  • Foto cetak dan klisenya
  • Buku-buku koleksi
  • Buku-buku terbitan Padepokan Press.
  • Katalog
  • Brosur
  • Poster
  • Catatan program

Gambar 1. Display Arsip Audiovisual PSBK

Sumber: Dokumentasi Penulis

Merapikan yang Terserak

Gambar 2. Display Arsip Foto PSBK

Sumber: Dokumentasi Penulis

Arsip arsip yang ada tersebut ditata dan dirawat di perpustakaan PSBK. Sebagai institusi yang mengarsipkan semua hal yang ada di dalamnya, PSBK mendapatkan arsipnya dari program-program yang dijalankannya.  Pada tahapan ini, semua arsip yang diambil dari program yang melibatkan seniman, akan dibuatkan salinannya. Salinan pertama akan diberikan pada seniman selaku pemilik karya dan PSBK menyimpan salinan satunya. Tahapan setelah akuisisi arsip dari seluruh peristiwa yang dilakukan PSBK adalah melakukan pengumpulan dan klasifikasi data. Klasifikasi yang dilakukan adalah dengan mengelompokkannya per tahun dan per peristiwa. Pada proses ini dilakukan juga pengisian metadata dari temuan arsipnya.

Setelah melakukan pengumpulan dan klasifikasi, hal yang dilakukan adalah melakukan validasi dari data temuan. Validasi ini perlu dilakukan untuk mengetahui detail informasi dari arsip yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk memberikan konteks dari seluruh arsip yang ada. Setelah proses validasi data, hal yang dilakukan adalah proses digitalisasi. Semua dokumen fisik akan didigitalisasi. Hal tersebut bertujuan untuk preservasi koleksi agar lebih aman dan lebih aksesibel.

Selanjutnya, hal yang dilakukan adalah penyimpanan. Arsip-arsip fisik akan dikelompokkan sesuai tahun dan peristiwanya, kemudian disimpan dalam kotak karton yang sudah dipersiapkan sedangkan file-file digitalisasi akan disimpan di harddisk dan dibuat sistem  foldering sesuai dengan tahun dan peristiwanya. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan publikasi dan membuka akses publik. PSBK sudah membuka arsipnya dengan menyelenggarakan pameran arsip Bagong Kussudiarja pada tahun 2018 dan 2019. Kedua pameran tersebut berhasil memberikan gambaran pada pengunjunganya akan pentingnya mengarsipkan hal-hal penting dalam proses kekaryaan seorang Bagong Kussudiarja dan PSBK sendiri sebagai institusi.

Arsip audio visual yang dimiliki oleh PSBK adalah arsip yang meliputi foto, rekaman audio, video dokumentasi, dan juga karya audio visual yang pernah diproduksi oleh PSBK. tahapan yang dilakukan juga sama seperti tahapan yang sudah dijelaskan di atas. Pembedanya adalah arsip audio visual PSBK memiliki beragam bentuk seperti DVD dan mini DV. File tersebut akan didigitalisasi dan disimpan di harddisk. Kemudian akan dibuatkan lagi salinannya ke harddisk lain atau dialihmediakan lagi ke copy DVD. PSBK juga menyimpan arsip audio visualnya dalam cloud, yakni dengan mengunggahnya ke youtube untuk video dokumentasi dan karya audio visual yang diproduksi oleh PSBK sendiri.

PSBK sebagai lembaga menganggap bahwa pengarsipan adalah cara untuk mengadvokasi seniman lain untuk melakukan proses pendokumentasian terhadap karya-karya yang mereka miliki. Oleh karena itu, PSBK sangat memperhatikan hak seniman atas karyanya. Seniman yang berkolaborasi dengan PSBK memiliki hak penuh atas karyanya sedangkan PSBK memiliki hak simpan dan mendistribusikannya untuk kepentingan riset dan edukasi.

Keterbukaan Akses terhadap Publik

PSBK membuka akses arsip seluas-luasnya kepada publik. Hal tersebut ditunjukkan dari pameran arsip PSBK yang pernah digelar pada tahun 2018 dan 2019. Pada pameran tersebut PSBK menggelar arsip dari pendiri PSBK yakni Bagong Kussudiarja. Pameran arsip ini menegaskan kembali bahwa PSBK sebagai sebuah lembaga meneladani pendirinya yang memiliki perhatian khusus terhadap arsip, sehingga laku keseniannya masih bisa kita pelajari sampai sekarang. PSBK juga menggunakan teknologi terbarukan untuk membuka aksesnya kepada publik, salah satunya adalah dengan menggunak aplikasi yang bernama sirkuit apps. Aplikasi ini menjelaskan PSBK mulai dari awal berdiri hingga sekarang dengan cara memindai kode yang tersebar di bangunan-bangunan yang ada di kompleks PSBK, cara ini memperlihatkan bahwa PSBK ingin memberikan informasi juga pada publik bahwa bangunan yang dimiliki PSBK adalah arsip itu sendiri dan banyak cerita yang dimiliki oleh bangunan di kompleks PSBK. PSBK pun masih memiliki impian untuk mengembangkan lagi akses publik terkait arsip yang dimilikinya, yakni dengan mengembangkan laman web yang dapat menampilkan semua arsip PSBK secara lengkap dan terintegrasi.

Pengarsipan yang dilakukan PSBK adalah meneruskan semangat yang sudah dikobarkan oleh Bagong Kussudiarja. PSBK berharap jerih payah Bagong Kussudiarja untuk mengarsipkan laku keseniannya dapat menularkan kesadaran itu ke semua seniman dan penikmat seni yang mengakses arsip dari PSBK. sehingga generasi mendatang bisa mempelajari dan mengambil hal baik dari apa yang sudah pernah kita lakukan. 

Televisi: Media Berbasis Waktu dan Para Penontonnya*

Oleh: Lillyana Mulya


Dalam artikel di jurnal Wacana yang diterbitkan tahun 2019, Els Bogaerts menulis bagaimana upayanya menelusuri arsip tentang suatu tayangan televisi yang sempat disiarkan oleh TVRI pada masa Orde Baru. Acara itu berjudul Siung Macan Kombang (The Panther’s Fang) yang ditayangkan setiap Senin sore pada bulan Oktober 1992. Siung Macan Kombang adalah judul ketoprak Jawa yang diciptakan oleh Hasmi (Harya Suryaminata). Scriptnya ditulis dalam bahasa Jawa sehari-hari pada tahun 1989. Satu hal yang membuatnya menarik dan menempel dalam memori kolektif masyarakat di Jawa adalah pengemasan serial itu menjadi sebuah ketoprak sayembara. Inovasi ini menjadi satu model persuasif untuk menarik penonton televisi sebanyak-banyaknya pada masa itu.

Media televisi

Televisi merupakan satu capaian perkembangan teknologi yang menyiarkan secara luas suatu rekaman audiovisual. Bersama dengan radio dan media cetak (koran), televisi adalah bagian dari media penyiaran (broadcast) untuk menyampaikan informasi dari satu titik kepada khalayak yang lebih luas. Karakter televisi adalah media penyampai informasi satu arah, dalam artian penonton tidak dapat berinteraksi secara langsung dengan apapun yang ada dalam televisi.

Pertelevisian di Indonesia diawali oleh kiprah Televisi Republik Indonesia (TVRI), yang menjadi stasiun televisi resmi milik pemerintah Republik Indonesia sejak 1962. Saat itu, pendiriannya berbarengan dengan persiapan Asian Games pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno. Posisi TVRI sebagai pembawa pesan pemerintah untuk kesatuan Indonesia diteruskan hingga pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Pada masa jayanya, melalui satelit Palapa yang diluncurkan pertama tahun 1976, TVRI sanggup menyiarkan pesan pemerintah hingga ke seluruh menara pemancar di wilayah pelosok Indonesia. Ross Tapsell menyebut penyiaran TVRI sebagai “national teacher” sebab memiliki agenda pendidikan, terutama pendidikan bahasa dan budaya Indonesia ke seluruh masyarakat yang heterogen. Tujuannya, menciptakan masyarakat Indonesia yang homogen. Dibanding media lain seperti media cetak dan radio, televisi tergolong mudah dikontrol sehingga televisi dapat dipakai untuk mengkaji pembentukan penonton secara kolektif.

Penonton dan memori

Aspek teknis dalam penyiaran televisi merupakan perkara penentu dalam suatu siaran. Menurut Ade Armando (2011), penyiaran televisi di Indonesia menggunakan model penyiaran terpusat. Jakarta sebagai titik pusat untuk homogenisasi budaya menentukan apa yang harus dan tidak boleh disiarkan. Sebelum menggunakan satelit, menara pemancar digunakan untuk menerima dan meneruskan jangkauan sinyal siaran. Semakin jauh, maka dibutuhkan lebih banyak pemancar. Dengan satelit, pusat siaran dapat memancarkan sinyal ke satelit dan satelit akan memancarkan langsung ke menara-menara di daerah.

Jika dibandingkan dengan media koran, media pandang dengar memiliki karakter yang hanya dapat dipertontonkan selama satu kali. Karakter ini berbeda dengan media cetak yang dapat dibaca berulang kali tanpa alat bantu. Oleh sebab itu, experience yang didapatkan dari menonton televisi mayoritas hanya tersimpan di ingatan (memori). Kajian ini merupakan kajian televisi pra-internet, sehingga tayangan televisi belum serta merta terintegrasi dengan Youtube sebagai platform broadcast audiovisual berbasis internet. Televisi pada masa itu juga belum dilengkapi dengan fitur rekaman acara.

Pada kasus pencarian tayangan Siung Macan Kombang, penelusuran dimulai dari pencarian arsip audiovisual di kantor TVRI. Namun, arsip audiovisual di stasiun broadcast seringkali tidak disimpan dengan layak, sehingga kerusakan dan kehilangan menjadi realitas yang kerap terjadi. Alternatif lain pencarian informasi tentang Siung Macan Kombang kemudian didapatkan dari review di koran Jawa Pos. Saat itu, produksi Siung Macan Kombang bekerjasama dengan koran Jawa Pos untuk menarik penonton dengan menyediakan ruang keterlibatan pada sayembara koran. Review koran meliputi deskripsi karakter tokoh utama maupun jalan cerita secara garis besar, misalnya dalam kasus pencurian siung macan di atas, jurnalis memberikan review siapa saja yang berpotensi mencuri siung itu. Banyaknya kartupos yang dikirim peserta sayembara untuk menjawab pertanyaan dapat digunakan untuk memperkirakan jangkauan penonton ketoprak itu.

Gambar 1. Kupon sayembara Siung Macan Kombang yang dimuat di Jawa Pos.

(Sumber: Bogaerts, Els. “The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives” in Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2. Jakarta: Faculty of Humanities, Universitas Indonesia.)

Karakter media rekam yang dimiliki stasiun televisi adalah kombinasi audio (suara) dan visual (gambar) berbasis durasi (time-based). Karakter ini membedakan audiovisual dengan media rekam lain yang sifatnya diam seperti foto dan tulisan (tekstual). Efek yang ditimbulkan dari media ini pun berbeda, yaitu menstimulasi sensor pendengaran dan penglihatan secara bersamaan. Menurut Jenni Heikilä dari fakultas kedokteran Universitas Helsinki, penyajian suara disertai gambar yang selaras/sinkron dapat mempercepat proses informasi oleh otak dan disimpan dalam memori. Oleh karenanya, informasi lebih mudah dipahami. Namun, terdapat perbedaan respon memori terhadap informasi audiovisual antara anak-anak, remaja dan orang tua. Disebutkan bahwa, respon ingatan terhadap informasi audiovisual mulai berkembang sejak usia 8 tahun ke atas hingga dewasa. Respon ini akan berkurang pada orang tua sebab penuaan menurunkan fungsi sensor.

Pembagian usia dengan kemampuan mengingat di atas dapat digunakan sebagai metode untuk memperkirakan penonton aktif suatu tayangan televisi. Dicontohkan misalnya Siung Macan Kombang di atas ditayangkan tahun 1992, maka penonton yang berpotensi masih mengingat adalah penonton yang saat itu berusia remaja hingga dewasa. Jika usia saat itu diperkirakan 10-45 tahun, maka kini (tahun 2020) mereka berusia 38-73 tahun. Perlu juga dicermati bahwa pada saat itu, tidak semua remaja menyukai tayangan ketoprak, sebab masih tersedia tayangan lain seperti serial Oshin dan Little House yang juga diputar di stasiun yang sama. Sehingga kemungkinan penggemar ketoprak terbatas pada orang dewasa yang menggemari budaya tradisional, khususnya Jawa.

Dapat disimpulkan bahwa, televisi memiliki cakupan penontonnya yang begitu spesifik. Arus informasi yang dibawanya juga mempengaruhi karakter penontonnya. Satu hal yang mempengaruhi menempelnya (embedded) suatu informasi ke dalam memori, yaitu pengulangan. Jika informasi disampaikan secara repetitif, maka informasi akan dapat melekat lebih lama dan lebih utuh. Begitu pula sebaliknya, seperti film yang hanya ditayangkan satu kali maka ingatan hanya bersifat fragmentaris. Padahal media informasi dapat menjadi materi untuk mengkaji perkembangan suatu masyarakat. Oleh karenanya, arsip audiovisual memiliki nilai sosiokultural, yang menjadikannya layak disimpan secara permanen. Menurut Els Bogaerts,

However, news bulletins, game shows and commercials are not the only programme genres to represent and reflect on developments in society, as I have argued in my study of the production of the local by and on Indonesian television (Bogaerts, 2017: 4). Television genres like drama, talk shows and infotainment are at least as relevant. My point is therefore that these need to be researched, documented, and preserved as well; soon, before the materials are lost forever.

Tantangan utama dalam preservasi media audiovisual adalah kompleksitas pemeliharaan informasi yang terkunci dalam durasi waktu. Pada umumnya rekaman tayangan televisi pada tahun 1970 hingga 1990an direkam dalam kaset, sehingga keutuhan rekaman berada dalam gulungan pita magnetik. Jika pita tersebut terpotong, maka informasi menjadi tidak utuh lagi. Alternatif lain yang dapat ditawarkan adalah alih media ke dalam media lain seperti media digital. Namun, proses penyelamatan informasi ini tidak serta merta diartikan atau menjadi alasan peniadaan media asli. Sebab bagaimanapun juga, rekaman asli memiliki aspek originalitas yang tidak terbantahkan.

*Sebagian besar material dalam artikel ini telah diterbitkan dalam artikel The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives yang ditulis oleh Els Bogaerts dan dimuat pada Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2 (2019): 179-208.

Referensi:

Ade Armando. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia. Yogyakarta: Bentang.

Bogaerts, Els. 2019. “The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives” in Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2. Jakarta: Faculty of Humanities, Universitas Indonesia. Link: http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/view/745

Jenni Heikilä. 2018. Benefits of audiovisual memory encoding across the life span, Dissertation. Finland: Faculty of Medicine, University of Helsinki.


Lillyana Mulya adalah pengajar di Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM. Saat ini menempuh pendidikan Doktor, di University of Amsterdam,  Archival Studies, Amsterdam School for Heritage, Memory, and Material Culture.

Film Dokumenter Sebagai Sumber Pengetahuan: Pengelolaan Arsip Audio Visual di Forum Film Dokumenter Yogyakarta

Oleh: Herraditya Mahendra


Forum Film Dokumenter (FFD) merupakan sebuah lembaga yang memiliki fokus pada perkembangan film dokumenter secara umum. Lembaga ini merupakan organisasi nirlaba yang berfokus pada pengembangan film dokumenter sebagai medium ekspresi dan ekosistem pengetahuan melalui program ekshibisi, edukasi, distribusi, dan pengarsipan film. Sejak mengawali kegiatannya dari tahun 2002 sampai sekarang, FFD telah berperan aktif dalam membuka kolaborasi antarpelaku dalam ekosistem perfilman Indonesia melalui medium dokumenter.

FFD memiliki beberapa program kerja yang dijalankan untuk mendukung tercapainya visi dan misi yang sudah direncanakan. Program kerja FFD disesuaikan dengan kebutuhan forum dan kebutuhan masyarakat terhadap film dokumenter. Program kerja yang dijalankan oleh FFD adalah sebagai berikut:

  • Festival

Festival merupakan salah satu program rutin dari forum sejak tahun 2002, yang diselenggarakan setiap bulan Desember dan masih berlangsung rutin tiap tahunnya.

  • Penelitian & Kajian

Berkolaborasi dengan para akademisi, kritikus film, dan lembaga dokumenter yang bertujuan mengasah dialektika dari berbagai perkembangan wacana dan gagasan, serta menciptakan dinamika ruang yang lebih luas bagi para penggiat, pelaku, dan pembuat film dokumenter di Indonesia.

  • Pemutaran

Membangun kesadaran akan kebutuhan tontonan alternatif, yang senantiasa dapat mengasah dialektika berbagai wacana dan gagasan, serta membuka ruang dinamis bagi film dokumenter dengan estetika tutur yang kreatif.

  • Lokakarya

Program ini bertujuan untuk mengaktivasi pegiat dokumenter agar mendapat akses pengetahuan dokumenter baik secara akademis maupun praktek. Lokakarya yang diselenggarakan FFD memiliki berbagai macam bentuk seperti schooldoc, masterclass, dan lokakarya produksi.

  • Pengarsipan

Pengumpulan dan pendataan koleksi film yang dimiliki FFD sejak tahun 2002. Sampai saat ini FFD telah mengoleksi kurang lebih 2500 film dokumenter. Program pengarsipan ini bertujuan untuk menjadikan film dokumenter sebagai sumber referensi untuk publik. Arsip yang dimiliki FFD bisa diakses oleh publik untuk kepentingan penelitian, referensi, pemutaran publik, maupun menjadi materi ajar di lembaga pendidikan.

Praktik Pengelolaan Arsip

Dari program-program yang sudah dijalankan FFD dari tahun 2002, baik itu program festival maupun forum, FFD memiliki berbagai macam bentuk dokumen, dokumentasi, dan koleksi film. Oleh karena itu pada tahun 2007, FFD memulai mengelompokkan beberapa dokumen dan koleksi filmnya agar lebih tertata. FFD mulai menyortir tiap dokumen dan mengelompokkannya pada per tahun. Setelah dikelompokkan per tahun, dokumen itu akan disortir dan dikelompokkan sesuai dengan jenis dokumennya. Jenis-jenis dokumen yang dikelompokkan adalah dokumen surat, catatan program, katalog, notulensi, dan laporan. Tiap dokumen-dokumen fisik akan disimpan dalam map-map yang sudah dinamai tiap pengelompokkannya. Sedangkan dokumen-dokumen yang berbentuk softcopy akan dikelompokkan tiap folder dan dinamai tiap pengelompokannya. Data-data fisik yang belum ada softcopy-nya akan didigitalisasi dan akan disimpan pada harddisk sesuai dengan pengelompokannya. Data tersebut akan disimpan pada harddisk administrasi yang sudah disiapkan. Hal yang belum dilakukan dari proses pengarsipan dokumen ini adalah membuat metadata tiap dokumen yang ada. FFD baru melakukan proses penyortiran dan pengelompokkan dari tiap dokumen yang ada.

FFD juga memiliki koleksi data dokumentasi yang terkumpul sejak 2002. Data dokumentasi terdiri dari foto, rekaman audio, dan video. Perlakuan data dokumentasi juga hampir sama dengan dengan dokumen. Data dokumentasi disortir dan dikelompokkan sesuai dengan tahunnya. Setelah itu akan dikelompokkan sesuai jenisnya. Namun yang berbeda pada data dokumentasi adalah penyortiran footage video atau foto dari dokumentasi ini tidak dihapus atau dibuang, melainkan akan disimpan dengan klasifikasi per tahun dan per program, sehingga di kemudian hari footage ini masih bisa dipakai lagi untuk keperluan membuat suatu karya lain. Kemudian data ini akan disimpan pada harddisk dokumentasi yang sudah disiapkan. Pada harddisk dokumentasi ini akan dikelompokkan per tahun dan jenisnya di tiap folder.

Koleksi film yang dimiliki FFD kurang lebih berjumlah 2500 film. Film-film tersebut didapatkan dari penyelenggaraan festival sejak tahun 2002. Film-film yang dikoleksi FFD memiliki bentuk yang beragam mulai dari VHS, VCD, Mini-DV, DVD, dan softcopy. Materi film FFD sebagian besar sudah didigitalisasi dalam format digital yang berbentuk softcopy. Proses pengarsipan koleksi film FFD di awali dengan menerima film-film dari gelaran festival dan program forum. Film-film dari gelaran festival masuk melalui proses call for entry. Proses ini menjadi pool pembuat film untuk memasukkan filmnya ke ajang Festival Film Dokumenter tiap tahunnya. Pada call for entry, pembuat film akan mengisi data filmnya mulai dari judul film, nama sutradara, rumah produksi, sinopsis film, hingga snapshots film yang ia produksi. Data-data yang dimuat dalam call for entry inilah yang dijadikan dasar FFD untuk membuat metadata film-film yang akan diarsipkan. Setelah metadata dikumpulkan, FFD mulai memilah dan mengumpulkan file film yag diterima oleh festival. Film-film tersebut akan dikelompokkan berdasarkan 4 klasifikasi, yakni Finalis Kompetisi (FK), Non-Finalis (NF), Program (PR), dan Koleksi (K). Klasifikasi ini juga yang akan dijadikan landasan dalam membuat call number dari tiap film yang diarsipkan. Film-film tersebut akan dikelompokkan sesuai klasifikasinya, lantas film-film itu akan ditonton kembali untuk melengkapi metadata. Setelah dirasa metadata sudah lengkap, film akan dibuatkan call number sesuai ketentuan sebagai berikut, Untuk call number, penamaan diawali dengan tiga huruf awal film, dilanjutkan dengan tahun produksi film, kemudian dilanjutkan dengan referensi, FK, NF, PR, K, lalu diakhiri dengan dua huruf inisial sutradara film tersebut. Call number dituliskan dengan tanda kurung siku pada awal ([) dan akhir (]). Misalnya, film program Turning 18 oleh Ho Chao-ti dengan tahun produksi 2018 mendapat call number [IVE-2018-PR-HC]. Setelah membuat call number, film akan disimpan dalam harddisk film dengan menggunakan folder dengan call number yang sudah dibuat. Film akan dikelompokkan sesuai abjad judul. Pengelompokkan sesuai abjad judul dipilih karena sebagian besar pengakses lebih banyak menanyakan judul sebagai acuan pencarian, sehingga FFD merasa jika pengelompokannya berdasarkan abjad judul akan lebih mempermudah pencarian. Film yang sudah disimpan di harddisk akan dibuat salinannya dalam bentuk DVD dan akan ditata sesuai dengan call number-nya.

Arsip yang sudah ditata FFD bisa diakses oleh publik, namun akses yang diberikan pada publik masih terbatas. Ada beberapa ketentuan terkait akses publik yang diberikan FFD terkait arsip yang dimiliki oleh FFD. Hal yang paling penting adalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), FFD memiliki HAKI dari arsip dokumen dan dokumentasi karena dua hal tersebut adalah arsip yang dibuat FFD sendiri dari tiap penyelenggaraan programnya, namun dari film-film yang dikoleksi FFD, HAKI dimiliki penuh oleh pembuat filmnya. FFD hanya punya hak untuk meyimpan dan mempergunakannya untuk kepentingan edukasi. Oleh karena itu jika publik ingin mempergunakan arsip film yang dimiliki FFD, publik harus menontonnya di ruangan yang disediakan khusus oleh FFD. Publik yang ingin mengadakan pemutaran dan riset terkait film arsip FFD akan diberikan kontak pembuat filmnya dan diwajibkan untuk meminta ijin  kepada pembuat film terlebih dahulu, jika pembuat film sudah memberikan ijin, FFD baru bisa memberikan akses pada publik yang ingin mengakses.

 

 

Mendukung Eksplorasi Medium Dokumenter.

Forum Film Dokumenter berkomitmen terus mendukung perkembangan kreativitas dan eksplorasi medium, pembelajaran kreatif, distribusi, serta promosi film dokumenter bagi masyarakat luas. FFD percaya bahwa film dokumenter merupakan sarana strategis untuk menumbuhkan empati, menginspirasi masyarakat, serta membentuk perspektif terhadap dunia secara luas. Oleh karena itu, FFD ingin memperkuat eksplorasi terhadap dokumenter dengan membuka akses arsip yang dimiliki FFD seluas-luasnya, terutama arsip filmnya. FFD sedang membangun sebuah platform web yang memuat database film-film yang diarsipkan FFD. Database ini akan memberikan info selengkap-lengkapnya terkait arsip film yang dimiliki FFD, mulai dari nama sutradara, rumah produksi, sinopsis, hingga penghargaan-penghargaan yang pernah diraih oleh film tersebut. Database ini juga akan memuat tulisan-tulisan terkait film-film yang diarsipkan oleh FFD, sehingga teks yang berada dalam film tersebut masih bisa diproduksi ulang dalam bentuk lain dan juga akan memperluas jangkauan nilai-nilai dalam film tersebut. Database ini juga diharapkan bisa menjadi sumber rujukan untuk melakukan riset atau pengajaran terkait topik tertentu yang ada dalam film dokumenter yang diarsipkan FFD. Kerja-kerja yang dilakukan FFD tentunya bisa membangun ekosistem dokumenter yang sehat, karena film tidak akan berhenti di satu masa tertentu namun film juga bisa akan terus menerus diakses untuk kepentingan edukasi secara secara tepat guna.

Melipat Jarak dan Waktu dengan Arsip Seni Visual

Oleh: Hardiwan Prayogo*


Apa yang terjadi ketika IVAA berdiri?

Indonesian Visual Art Archive (IVAA) berdiri pada tahun 1995 dengan nama Yayasan Seni Cemeti (YSC). Kala itu, Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma mengajak Yustina W. Neni, Agung Kurniawan, Raihul Fadjri, Anggi Minarni, dan Koni Herawati untuk mewujudkan gagasan mendirikan satu lembaga yang fokus menangani dokumentasi dan arsip seni rupa. Para inisiator ini diantaranya kini berkedudukan sebagai board member IVAA. Tahun 2007, YSC berubah nama menjadi IVAA. Terlihat perbedaan karena sebagai lembaga kearsipan, tahun 2007 baru benar-benar meletakkan nama arsip sebagai identitas lembaganya. Sejarah singkat mengenai kelembagaan dapat dilihat pada halaman profil website IVAA. Atau jika para pembaca ingin mengetahui sejarah yang lebih komprehensif, bisa membaca buku Folders 10 Tahun Dokumentasi Yayasan Seni Cemeti. Sebagai pembuka, saya ingin memberikan gambaran umum mengenai situasi konteks sosial yang terjadi pada medio 90an.

Jika persoalan dipersempit ke dalam wilayah  seni-budaya, (khususnya seni rupa/ seni visual), pasca berdirinya Galeri Cemeti’, tahun 1988 (sekarang bernama Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat), geliat kesenian memang tumbuh dinamis, terutama inisiatif pameran (tunggal/ kelompok) yang digelar di ruang-ruang non institusi pemerintah dan pendidikan, termasuk lahirnya kolektif seniman berbasis kedaerahan, atau bidang keseniannya. Gerak yang semakin dinamis niscaya dibarengi dengan banyaknya dokumentasi kegiatan atau peristiwanya, atau yang kemudian hari disebut sebagai event ephemera. Pada masa itu, tentu belum ditemukan teknologi digital sebagai media publikasi, katalog, catatan harian atau bahkan ruang pamer. Artinya dokumentasi masih berbentuk analog, benda fisik yang dapat disentuh dan dihirup aromanya. Sekaligus membutuhkan ruang simpan yang memadai.

Ketika para pelaku seni sibuk berkegiatan dan berkarya, mulai ada kegelisahan akan dibawa kemana tumpukan dokumentasi dari banyaknya peristiwa seni yang terjadi, termasuk kekhawatiran bagaimana jika beberapa tahun kemudian dokumen-dokumen ini dibutuhkan lagi. Singkat cerita, lahirlah Yayasan Seni Cemeti (YSC). Pada awalnya memang bertujuan hanya untuk mengelola dokumentasi dan arsip dari Galeri Cemeti. Namun, dalam situasi dan perkembangan wacana yang semakin dinamis terutama pasca reformasi, YSC memulai perburuan dokumentasi dalam jangkauan yang lebih luas. Meski memang masih terkonsentrasi di sekitar Yogyakarta. Tidak menjadi masalah, karena IVAA memang berambisi menjadi pusat dokumentasi dan arsip terlengkap di Indonesia. Ambisiusitas seperti itu sepatutnya menjadi tugas lembaga resmi milik negara, bukan lembaga arsip partikelir berbasis komunitas seperti IVAA.

Bagaimana IVAA bekerja?

Selama 25 tahun berdiri, dengan fokus pada arsip dan seni visual, kerja IVAA tidak terputus hanya pada perkara seni. Tentu ini, didasari atas keyakinan bahwa kesenian selalu terikat pada isu konteks sosial yang mengitarinya, IVAA paling sering memulai kerja pengarsipan dari dokumentasi peristiwa seni, baik itu pameran, diskusi, performance art dan lain sebagainya. Dokumentasi yang dimaksud mulai dari materi audio visual meliputi foto dan video pelaksanaan acara, termasuk materi berbasis teks seperti katalog, poster, hingga liputan media. Secara singkat sebaran ragam materi arsip digital IVAA yaitu foto (jpg, tiff, png), video (mp4, MTS, mpeg), audio (mp3, wav), dan teks (pdf, doc, rtf). Seluruhnya disimpan pada hardisk eksternal terlebih dahulu, untuk kemudian dicatat sebagai arsip yang diterima. Penerimaan (atau akuisisi) sumber arsip IVAA bisa berasal dari dokumentasi IVAA, sumbangan/ donasi seniman/ keluarga seniman/ peneliti atau siapapun, dan digitalisasi file dari format analog. IVAA juga sampai saat ini masih merawat arsip analog (positif/ negatif film, vhs, mini-dv, cassette, kliping dari tahun 1950-an), yang dikumpulkan dari tahun 1995-2006. IVAA baru benar-benar beralih ke format digital pada tahun 2007, sekaligus mulai membuat portal arsip online.

Arsip digital “mentah” ini kemudian diolah sesuai dengan karakteristik materinya masing-masing, sampai akhirnya dipublikasikan melalui kanal arsip online IVAA, yaitu http://archive.ivaa-online.org/. Pada website ini terlihat bagaimana IVAA membagi arsipnya dalam 4 kategori utama yaitu:

  1. Pelaku seni
  2. Karya seni
  3. Peristiwa seni (event)
  4. Koleksi dokumen

Selain online archive, publik juga bisa melihat koleksi dokumentasi video IVAA pada kanal youtube Arsip Indonesian Visual Art Archive.

Seluruh arsip yang berada di website berarti sudah melalui proses persetujuan dari pemilik untuk dipublikasikan. Dengan kata lain bisa diakses siapapun dan dimanapun secara bebas. Hanya saja untuk mendapat file dengan resolusi tinggi, atau beberapa arsip dengan ketentuan khusus, bisa menghubungi arsiparis ivaa melalui email archive@ivaa-online.org. Demi keamanan data, arsip digital yang telah selesai diolah dan diunggah di http://archive.ivaa-online.org/ disimpan dalam server pribadi milik IVAA. Meski ini juga menuntut konsekuensi teknis yang cukup rumit.

Kerja pengumpulan dan pengelolaan arsip ini selalu dibarengi dengan program diseminasi dan produksi pengetahuan. Salah satu yang rutin setiap 2 bulan adalah penerbitan e-newsletter IVAA. Tahun 2017, IVAA menggelar Festival Arsip “Kuasa Ingatan”, sebuah upaya untuk mendemistifikasi arsip dalam sajian yang lebih populer. Catatan pasca-festival ini bisa dibaca melalui buku Menakar Kuasa Ingatan: Catatan Kritis Festival Arsip IVAA 2017. Singkatnya, selain pengumpulan, kerja produksi pengetahun dalam bentuk riset, workshop, hingga diskusi juga turut serta digelar oleh IVAA agar pembacaan atas semesta arsip seni visual terus bergulir. Salah satu hasil riset yang bisa diunduh gratis adalah Membaca Arsip, Membongkar Serpihan Friksi, Ideologi, Kontestasi (Pemenang Hibah KARYA! 2013: Workshop Penulisan Sejarah Kritis Seni Rupa Kontemporer). Selain itu, juga terdapat lebih dari 15.000 koleksi buku yang dapat diakses langsung di perpustakaan IVAA. Buka setiap hari Senin-Jumat jam 9 pagi hingga 5 sore. Koleksi buku ini terdiri dari majalah, kliping, komik, buku referensi, dan katalog pameran. Koleksi katalog ini menjadi salah satu signature dari perpustakaan IVAA.

Seperempat abad kerja pengarsipan seni visual

Keempat kategori utama arsip IVAA yang sudah disebutkan sebelumnya, sejatinya memiliki logika yang saling terkait satu sama lain. Poin ini bisa merujuk pada satu ungkapan dari buku karangan Mona Lohanda, yang berjudul Membaca Sumber Menulis Sejarah. Mona menyatakan bahwa arsip adalah sumber paling primer dari penulisan sejarah, karena arsip diciptakan bersamaan dengan terjadinya suatu peristiwa. Sehingga arsip memiliki nilai informasi (informational value) dan nilai bukti (evidence value). Setiap material arsip setidaknya menyimpan satu informasi, dimana dia akan menjadi bukti ketika dijalin dengan informasi pada arsip lainnya.

Sedari yang awalnya hanya berinisiatif mengumpulkan tanpa tahu akan jadi apa kedepannya, hanya berbekal keyakinan “Mungkin nanti ada gunanya, atau barangkali ada peneliti atau seniman yang butuh”. Semacam selalu ada bayangan akan masa depan, dan apa yang dilakukan pada hari ini akan menjadi masa lalu kelak dikemudian hari. Seperti yang pernah diungkapkan Agung Kurniawan dalam pengantar buku Folders 10 Tahun Dokumentasi Yayasan Seni Cemeti, bahwa arsip adalah obat mujarab bagi ingatan jangka pendek kita.

Bersama dengan itu pula kerja pengarsipan IVAA terus berevolusi bersama dengan waktu. Seperti frasa yang kerap kita dengar, yaitu quarter life crisis yang kerap mendera manusia ketika dewasa menjelang tiba, pertanyaan-pertanyaan reflektif atas kerja pengarsipan itu kian kerap dialamatkan pada lembaga arsip yang tahun 2020 ini memasuki usia 25 tahun.

Apakah kerja pengarsipan yang selama ini IVAA lakukan memang sesuai dengan kultur produksi pengetahuan yang beredar di masyarakat kita? Problem apa yang bisa saja muncul ketika meyakini arsip sebagai sumber informasi dan bukti? Apa konsekuensi jangka panjang dan ideologis dari pemberian hirarki kualitas suatu sumber?

Kekhawatiran bahwa lembaga arsip bisa saja ikut berkontribusi dalam glorifikasi narasi utama akan tetap membayangi. Keluhan atas arsip yang tidak mendapat banyak perhatian, juga sudah menjadi cerita turun-temurun antar generasi. Angan-angan bahwa pengetahuan dan penulisan, atau setidaknya dokumentasi sejarah seni Indonesia bisa lebih baik seandainya kesadaran pengarsipan muncul lebih awal juga bukan premis baru. Belum lagi ketika semakin terang bahwa pengarsipan selalu politis karena sifatnya yang terbatas hanya mampu menyimpan ingatan-ingatan tertentu. Berbagai pertanyaan tak terjawab ini masih menjadi suluh untuk terus melihat arsip sebagai bagian dari siklus kehidupan, bukan ujung dari sebuah perjalanan.

*Penulis adalah arsiparis IVAA. Bekerja di IVAA sejak tahun 2018.

Radio Sebagai Sistem Peringatan Dini dari Singapore Bureau*

Oleh: Lillyana Mulya


Radio, dalam sejarah Indonesia memang memiliki posisi yang begitu signifikan dalam mengalirkan informasi atau sebagai alat komunikasi pada masa perjuangan, namun kajian tentangnya masih sedikit dilakukan (Widya F.N.: 2016). Di kalangan bumiputera, perjumpaan dengan radio dimulai sejak masa Hindia Belanda. Tercatat kalangan bangsawan Mangkunegaran adalah bumiputera pertama yang mendirikan stasiun radio sendiri yang disebut dengan Solosche Radio Vereniging (SRV) pada tahun 1934. Selanjutnya, dalam perannya sebagai media komunikasi, radio menyiarkan pidato-pidato, lagu dan acara budaya yang mengobarkan semangat ke-Indonesiaan selama pendudukan Jepang. Pendirian Radio Republik Indonesia sebagai radio pertama milik Indonesia juga tak lepas dari peran pegawai bumiputera di stasiun radio Hoso Kanri Kyoku (stasiun radio pusat yang saat itu dikuasai Jepang).

Dalam kajian populernya yang berjudul Engineers of Happy Land, Mrázek (2006) mengilustrasikan euphoria ketika radio pertama kali beroperasi di Hindia Belanda, baik bagi warga Eropa maupun bumiputera. Dalam bab berjudul “Mari Menjadi Mekanik Radio”, radio disebut memiliki daya jangkau lebih dari telegram, sehingga dapat mempertemukan Timur dan Barat (Waar Oost en West elkaar ontmoeten) melalui transmisi suara. Keberhasilan pertemuan melalui transmisi suara paling fenomenal terbukti dalam praktek tarian sekelompok bangsawan Jawa saat menari di depan Ratu Wilhelmina di Den Haag dengan iringan gamelan yang dimainkan secara live di Keraton Surakarta pada tahun 1936. Dalam bahasa Mrázek, radio telah “…memotong bentang alam Hindia Belanda tanpa membangun bentang alam baru….”. Sebuah simbol perkembangan komunikasi yang meruntuhkan jarak.

Sebelum kepemilikan radio oleh bumiputera, stasiun radio telah didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di beberapa titik. Pemancar utama di Pulau Jawa yaitu stasiun radio Malabar yang terletak di Bandung. Stasiun menjadi pusat informasi, tidak hanya untuk Hindia Belanda, namun menghubungkan Hindia Belanda, Asia Tenggara dan Eropa dengan menggunakan spektrum gelombang panjang (long wave/LW).

Gambar 1. Stasiun radio Malabar tahun 1927.

(sumber: https://www.willemsmithistorie.nl/index.php/historische-nieuwsflits/300-eerste-radiostation-malabar-1923-2013)

Pertanyaannya, apakah radio saat itu sama seperti radio yang kita tau sekarang? Radio adalah sebutan untuk semua komunikasi yang menggunakan gelombang radio (gelombang Hertzian). Gelombang ini diatur dalam pembagian frekuensi yang digunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda, misal untuk dinas komunikasi ruang angkasa, navigasi maritim, penerbangan, pelabuhan, bandara, dinas siaran dan lain sebagainya. Radio komersil yang dapat didengarkan masyarakat umum masuk pada dinas siaran. Sementara komunikasi dinas lain masuk dalam tipe komunikasi privat, sebab tidak begitu saja dapat diperdengarkan kepada khalayak.

Dibandingkan dengan media penyiaran lain seperti koran dan televisi (yang ditemukan belakangan), komunikasi via radio masih menjadi komunikasi paling cepat. Kecepatan transmisi ini menjadikannya media utama untuk menyebarkan informasi penting, seperti peringatan bahaya. Komunikasi (yang justru terbatas pada) audio ini juga cukup efektif sebab dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain, satu yang paling utama adalah mengemudi. Sehingga alat ini menjadi media komunikasi utama dalam sarana transportasi darat, laut, udara dan luar angkasa.

Efektivitas radio untuk mentranmisikan informasi tidak terbatas digunakan dalam lingkup transportasi, namun juga dimanfaatkan oleh pusat informasi kesehatan untuk program peringatan dini (early warning system). Dalam sejarah, kasus sukses tentang sistem peringatan dini yang ditransmisikan via radio terjadi di Asia ketika Singapore Bureau beroperasi. Didirikan sebagai wakil dari League of Nations Health Organization (kini WHO) untuk daerah timur, Singapore Bureau menjadi ‘epidemiological intelligence service’ yang pertama. Pendirian ini merupakan dampak dari merebaknya epidemi pasca Perang Dunia I seperti flu Spanyol. Melalui dua stasiun utama, yaitu Saigon (Ho Chi Minh City-Vietnam) dan Malabar (Bandung-Hindia Belanda), Singapore Bureau pada awal waktu menyebarkan informasi kesehatan dan penyakit-penyakit tropis ke seluruh dunia.

Laporan yang disebarkan (baik melalui buletin mingguan via telegraf maupun radio) meliputi informasi penyakit kolera, cacar air, flek, meningitis, lepra, malaria, tipes dan penyakit lainnya. Informasi tambahan yang berkaitan dengan penyakit tersebut antara lain ketentuan karantina, perkara administrasi dan pelayanan kesehatan, data pelayaran, kesehatan peserta Haji, dan penyakit kelamin para pelayar hingga infeksi karena wabah tikus. Hingga tahun 1930an, Singapore Bureau telah terhubung kepada 180 pelabuhan sehingga dapat mentransmisikan buletin secara harian melalui 9 stasiun radio di Asia.

Melalui transmisi radio wireless, otoritas pelabuhan yang menerima informasi itu dapat memberlakukan karantina bagi kapal yang membawa penyakit infeksius. Dengan karantina ini, outbreaks dapat dihindari sehingga mencegah kematian karena penyebaran penyakit. Ketika kapal yang terinfeksi diidentifikasi, otoritas pelabuhan juga dapat mengetahui kapal mana yang tidak terinfeksi sehingga karantina tidak perlu dilakukan pada kapal-kapal tersebut. Singapore Bureau juga mengembangkan koneksi jaringan dengan radio kapal di laut hingga bandar udara, sehingga dapat mengirimkan informasi tentang kesehatan dan penyakit pada penumpang pesawat udara.

Relasi kekinian

Radio telah menjadi awal dari transformasi dalam komunikasi berbasis audio. Jika penemuan gramophone telah menjadi media rekam audio satu arah, maka radio menjadi awal komunikasi dua arah tanpa kabel.

Kini, radio memang kalah pamor dari televisi dan internet sebagai penyedia jasa audiovisual. Namun, jaringan radio masih menemukan sustainabilitasnya di kalangan pengemudi kendaraan, sebab radio memfungsikan telinga lebih utama daripada visual. Pada akhirnya, radio adalah kemenangan informasi bagi mereka yang tetap bergerak. Karakter informasi pada masing-masing media (baik radio, televisi maupun media cetak) dapat menjadi kajian lebih lanjut untuk mengkaitkan signifikasi informasi bagi masyarakat/organisasi dan urgensi penyimpanannya melalui konsep kearsipan. Pembagian frekuensi juga dapat menjadi materi kajian tentang kebijakan akses terhadap informasi yang disebarkan melalui radio, dan interupsi yang mungkin terjadi saat tranmisi dilakukan. Kajian pendek terhadap media lain, baca: Televisi: media berbasis waktu dan para penontonnya.

*Sebagian besar material dalam artikel ini telah diterbitkan dalam artikel The Singapore Bureau: lesson from Asia’s first early warning system for epidemic diseases yang ditulis oleh Stefan Hell dan dimuat pada website New Mandala tanggal 6 Mei 2020.

Referensi:

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No.13 Tahun 2018 tentang Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia.

Hell, Stefan. 2020. “The Singapore Bureau: lesson from Asia’s first early warning system for epidemic diseases” in New Mandala. Canberra: Australian National University: Coral Bell School of Asia Pasific Affairs. Link: https://www.newmandala.org/singapore-bureau/

Wenri Wanhar. “Gelombang Sejarah Radio dalam Historia”. Diakses tanggal 11 Mei 2020. Link: https://historia.id/politik/articles/gelombang-sejarah-radio-PG5oD

Widya Fitria Ningsih. “the Forgotten Medium: Hoso Kanri Kyoku and the Beginning of National Broadcasting in Indonesia” dalam Lembaran Sejarah Vol.12 No.1 (April 2016). Yogyakarta: Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada.

Nur Hidayah Perwitasari. “Sejarah Hari Radio Nasional & Lahirnya RRi tanggal 11 September” dalam Tirto 11 September 2019. Diakses tanggal 11 Mei 2020. Link: https://tirto.id/sejarah-hari-radio-nasional-lahirnya-rri-tanggal-11-september-ehSH

Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


Lillyana Mulya adalah pengajar di Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM. Saat ini menempuh pendidikan Doktor, di University of Amsterdam,  Archival Studies, Amsterdam School for Heritage, Memory, and Material Culture.

Bagaimana Spotify Membuka Langkah Proses Katalogisasi Arsip Rekaman Suara

Oleh: Widiatmoko Adi Putranto dan Regina Dwi Shalsa Mayzana


Katalogisasi arsip merupakan salah satu bagian penting dan tak terelakkan dari proses preservasi, tak terkecuali bagi arsip berjenis rekaman suara berupa album musik berbentuk CD (Compact Disc). Mengabaikan katalogisasi dapat memicu kemungkinan yang berujung pada inefisiensi upaya pelestarian. Sebaliknya, katalog yang akurat, konsisten, dan jelas (Read & Czajkowski 2003) penting untuk dihadirkan demi terciptanya keberlangsungan akses di masa depan. Namun, kegiatan tersebut ternyata menghadirkan cukup banyak tantangan, terutama bagi para kataloger pemula. Manifestasi album musik yang unik serta data yang seringkali dijabarkan secara implisit membuat kebutuhan informasi dalam pembuatan metadata katalog bisa jadi tidak berhasil diidentifikasi.

Siapa sangka layanan streaming musik yang dikabarkan menjadi musuh terbesar eksistensi album musik berbentuk fisik, justru dapat membantu kataloger pemula untuk melakukan identifikasi, deskripsi, maupun evaluasi atas informasi pada koleksi. Baru-baru ini, kegiatan praktikum dalam mata kuliah Prodi Kearsipan UGM, yaitu Pengolahan Bahan Pustaka, mencoba menelisik potensi Spotify sebagai salah satu layanan streaming musik paling populer saat ini dalam membantu proses katalogisasi koleksi arsip musik berbentuk CD. Informasi yang dibutuhkan dari suatu CD untuk dapat ditranskripsikan dalam metadata katalog, kerap kali tidak lengkap atau tidak mudah dibaca karena keterbatasan ruang, keinginan band, maupun kepentingan desain. Misalnya saja dalam pembuatan katalog album Calendar Days (2013) karya Dick Diver, mahasiswa—yang dikategorikan sebagai kataloger pemula—sangat mudah terjebak oleh sumber yang tidak kredibel atau data yang berbeda-beda serta tidak konsisten. Informasi yang tercantum di cover CD juga amat terbatas. Masalahnya, selain karena informasi eksplisit serta pengetahuan kataloger atas data band dan album tertentu umumnya cukup minim (seperti halnya konservator–kataloger biasanya mesti fokus pada satu bidang kerja), band Dick Diver juga sengaja mencantumkan informasi yang dipelesetkan pada sumber alternatif berupa akun media sosial Facebook mereka.

Gambar 1. Keterangan Anggota Band Dick Diver pada akun resmi Facebook (Dick Diver n.d.a)

Akun Instagram mereka juga tak cukup membantu memberikan lebih banyak informasi. Selain itu, Dick Diver juga bukan band yang seringkali diulas maupun dikenal banyak lapisan segmentasi pendengar. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan pencarian sumber alternatif selain melalui akun media sosial mereka. Sebagai platform streaming musik yang dikenal luas dan banyak digunakan, bukan tidak mungkin Spotify akan menjadi rujukan bagi para kataloger dalam melakukan evaluasi data yang mereka butuhkan. Fitur about artist serta music credit pada Spotify mampu menyediakan sebagian data-data yang dibutuhkan dalam katalogisasi, misalnya informasi mengenai penulis lagu, produser, hingga label rekaman pembuatan album musik itu bernaung (Spotify 2018). Meskipun begitu, beberapa kolom di dalam fitur music credit Spotify seringkali masih belum terisi. Sehingga, platform ini sudah mampu membuka jalan bagi kataloger untuk melakukan uji silang data-data yang mereka kumpulkan dari berbagai sumber lainnya. Mengapa merujuk pada Spotify?, tentu karena kredibilitas dan spesifikasinya pada platform musik yang saat ini semakin populer.

Gambar 2. Music Credit pada Album Calendar Days oleh Dick Diver dan Music Credit pada Album Melbourne, Florida oleh Dick Diver

Pada era banjir informasi seperti sekarang, mengambil dan menganalisis data dari layanan streaming serta platform lain sebenarnya telah menjadi kegiatan penting yang sangat memengaruhi pengambilan keputusan sehari-hari (Maasø & Hagen 2020). Walaupun belum sepenuhnya mencantumkan data secara komprehensif untuk semua band, Spotify terbukti memiliki potensi besar dalam membantu kataloger mengambil keputusan ketika melengkapi metadata pada proses katalogisasi arsip album musik berbentuk CD. Bukan tidak mungkin apabila kolom dalam fitur-fiturnya telah terisi data dengan lengkap, platform tersebut akan menjadi rujukan utama untuk melakukan identifikasi maupun evaluasi data-data yang diperlukan dalam proses katalogisasi. Hal ini penting untuk terus dikaji mengingat tidak semua informasi yang dibutuhkan selalu tersedia secara eksplisit pada album CD itu sendiri. Nantinya, potensi ini juga akan membantu proses katalogisasi yang tak mudah terhadap arsip-arsip rekaman suara berupa album band berbentuk CD, terutama bagi kataloger pemula dan band-band yang belum dikenal luas. Yang penting didiskusikan selanjutnya adalah apa yang dibilang Oleksandr Pastukhov (2018) dari Universitas Malta bahwa sebagai fakta, metadata tidak masuk dalam perlindungan hak cipta. Di sisi lain, kreasi, deskripsi dan cara penyusunannya bisa.

Referensi:

Dick Diver 2013, Calendar Days, CD, Chapter Music, Melbourne.

— 2015, Melbourne, Florida, CD, Chapter Music, Melbourne.

— n.d.a, About: Dick Diver Band, Facebook, diakses pada 26 Juni 2020, <https://www.facebook.com/dickdiverband/about/?ref=page_internal&_rdc=1&_rdr>.

— n.d.b, Music credit: Calendar Days, Spotify, diakses pada 10 Juni 2020, <https://open.spotify.com/album/2ZEleVTPShrbq6IUXSecYv?si=DrdpTseWT0SUY0Li6dF9y>.

— n.d.c, Music credit: Melbourne, Florida, Spotify, diakses pada 12 Juni 2020, <https://open.spotify.com/album/4xcqP7mqA3zF0camxgwQBo?si=I81wmEiYRyiVe1Fr_ndHLA>.

Maasø, A, & Hagen, AN 2020. ‘Metrics and decision-making in music streaming’, Popular Communication, vol. 18, no. 1, pp. 18-31.

Pastukhov, O 2018. ‘Legal issues surrounding digital archiving’ dalam M Dobreva (ed.), Digital Archives: Management, use and access, Facet Publishing, London, pp. 73-95.

Read, J & Czajkowski, A 2003, Cataloguing without tears: Managing knowledge in the information society, Chandos Publishing, Oxford.

Spotify 2018, ‘Spotify Now Displays Songwriter Credits’, Spotify for Artists, 02 Februari, diakses pada 9 Juni 2020, <https://artists.spotify.com/blog/spotify-now-displays-songwriter-credits>.

IRAMA NUSANTARA: Kerja Pengarsipan Musik Populer Indonesia

Oleh: Ignatius Aditya Adhiyatmaka


Musik populer yang merupakan bagian dari budaya populer pada umumnya tidak dianggap sebagai cultural heritage atau warisan budaya. Hal tersebut disebabkan oleh istilah “budaya” yang sering kali hanya merujuk pada budaya adiluhung atau high culture. Budaya populer yang bersifat komersil, diproduksi secara massal, dan dianggap tidak otentik menjadikannya ditempatkan bersebrangan dengan budaya adiluhung (Shuker, 2001). Namun demikian, jarak yang memisahkan budaya adiluhung dengan budaya populer perlahan semakin menghilang dalam konteks modernitas yang terjadi di beberapa dekade terakhir (Storey, 1993). Selain itu, konsep mengenai warisan budaya juga menjadi sangat terkontestasi dan bercabang (Atkinson, 2008). Batas antara budaya populer dengan budaya adiluhung yang cenderung menipis serta terjadinya kontestasi konsep warisan budaya kemudian memunculkan beberapa pemahaman baru mengenai peran musik populer dalam budaya yang dijalani dan hidup di tengah masyarakat.

Beberapa individu, tidak terkecuali yang berada di Indonesia, mulai melihat musik populer dapat berperan penting dalam membentuk memori kultural hingga identitas. Dengan berdasar pada kesamaan pemahaman tersebut, muncul beberapa inisiatif membentuk komunitas untuk mengarsipkan segala sesuatu yang berhubungan dengan musik populer Indonesia. Sejalan dengan Assmann (2008), inisiatif kerja pengarsipan musik populer dapat dilihat sebagai sebuah proses pembentukan memori dari berbagai benda atau material yang dimaknai sebagai sarana untuk mengingat. Salah satu dari beberapa insiatif kerja pengarsipan musik populer Indonesia adalah Irama Nusantara. Resmi dibentuk pada tahun 2011, Irama Nusantara menjadi inisiatif kerja pengarsipan yang selalu didasarkan pada usaha membentuk arsip musik populer Indonesia yang mudah diakses oleh publik. Usaha tersebut diwujudkan oleh Irama Nusantara dengan mengunggah semua arsip rekaman yang sebelumnya telah didigitaisasi ke situs mereka yang dapat diakses di www.iramanusantara.org.

Para penggagas Irama Nusantara sebenarnya telah mulai mengarsipkan musik populer Indonesia secara digital pada tahun 1998. Saat masih berkuliah di Bandung, David Tarigan, Toma Avianda, dan Christoforus Priyonugroho berinisiatif membuat situs daring untuk mengunggah dan berbagi hasil digitasi koleksi rekaman musik populer Indonesia pribadi mereka dengan nama Indonesia Jumawa. Setelah berjalan sekitar kurang lebih 2 tahun, situs Indonesia Jumawa akhirnya terbengkalai karena kesibukan para penggagasnya. Kepedulian David Tarigan pada kesejarahan musik populer Indonesia membuatnya kembali berinisiatif membuat radio daring bernama Kentang Radio di tahun 2009 yang khusus menyiarkan musik populer Indonesia dari masa lampau. Semua rekaman musik yang disiarkan oleh Kentang Radio adalah bagian dari koleksi pribadi milik David Tarigan dan juga arsip digital yang telah dibentuk Indonesia Jumawa sebelumnya. Antusiasme publik dalam merespon siaran-siaran Kentang Radio akhirnya membuat David Tarigan tergerak mengajak para penggagas Indonesia Jumawa dengan sekaligus mengajak Alvin Yunata, Mayumi Haryoto, Norman Illyas, dan Dian Wulandari untuk kembali mengarsipkan musik populer Indonesia dengan membentuk Irama Nusantara.

Dalam rangka mewujudkan tujuan mereka untuk membentuk arsip digital musik populer Indonesia yang lebih lengkap, Irama Nusantara mulai mendigitasi rekaman-rekaman yang berasal dari koleksi pribadi para kolektor rekaman dan juga arsip rekaman yang dimiliki oleh institusi formal seperti Radio Republik Indonesia. Selain itu, Irama Nusantara juga sering kali “meminjam” rekaman-rekaman yang beredar di para pedagang rekaman musik bekas untuk didigitasi terlebih dahulu sebelum kemudian dikembalikan untuk diperjualbelikan kembali. Irama Nusantara memilih untuk lebih fokus mengarsipkan rekaman-rekaman musik populer Indonesia dalam format piringan hitam berbahan vinil dan shellac karena lebih riskan rusak hingga menjadi relatif lebih sulit untuk diakses oleh publik jika dibandingkan dengan format-format lain seperti kaset dan cakram padat.

Gambar 1. Proses digitasi rekaman di rumah kolektor rekaman musik populer Indonesia.

Proses pengarsipan rekaman yang dilakukan oleh Irama Nusantara dimulai dari proses digitasi yang ditujukan untuk mengubah audio analog menjadi digital untuk dapat disimpan di hard disk. Data audio digital hasil digitasi kemudian direstorasi dengan menggunakan perangkat lunak dengan tujuan menghilangkan suara-suara yang tidak diinginkan akibat adanya kecacatan fisik dari rekaman vinil maupun shellac. Setelah selesai direstorasi, data audio kemudian digandakan sekaligus dikonversi menjadi format audio berkualitas rendah (MP3 dengan bitrate 56 Kbps) yang setara dengan kualitas suara radio AM untuk diunggah ke situs daring, sedangkan data audio berkualitas tinggi diarsipkan di server luring internal milik Irama Nusantara dengan akses terbatas. Strategi untuk merendahkan kualitas audio yang diunggah ke situs daring Irama Nusantara dimaksudkan agar mencegah munculnya permasalahan Hak atas Kekayaan Intelektual dan juga mencegah adanya peluang kegiatan produksi dan/atau publikasi ulang. Tidak hanya audio, sampul dan stiker label pada rekaman juga dipindai dan direstorasi untuk dijadikan sebagai data visual yang diarsipkan dan juga diunggah ke situs daring sebagai informasi pendukung data audio.

Gambar.2 Proses digitasi piringan hitam (kiri) dan Proses restorasi data audio (kanan)

Sampai saat ini, Irama Nusantara telah berhasil mendigitasi, mengarsipkan, mengunggah, dan membuka akses data audio serta visual dari sedikitnya 3000 rekaman musik populer Indonesia yang dirilis antara tahun 1920-an hingga 1980-an. Selain mengunggah data rekaman, Irama Nusantara juga sedang dalam proses mendigitasi majalah musik populer Indonesia yang terbit di masa lampau seperti Aktuil dan juga beberapa memorabilia lain seperti poster acara musik serta foto-foto musisi populer Indonesia.

Gambar 3. Proses restorasi data visual (kiri) dan Proses memindai sampul rekaman (kanan)

Sebagai sebuah arsip berbasis komunitas yang didirikan oleh para enthusiasts atau penggemar musik populer Indonesia, Irama Nusantara dapat diidentifikasi serupa dengan institusi-institusi pengarsipan musik populer independen yang dinamai oleh Sarah Baker (2015: 2) sebagai “DIY institutions”. Lebih lanjut, ketika meneliti beberapa DIY Institutions di berbagai negara, Baker menyimpulkan bahwa persepsi mengenai musik populer yang secara umum belum begitu dihargai di ranah publik hingga berpengaruh pada proses pendanaan dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah, menjadi faktor utama yang sering kali menghambat keberlangsungan DIY Institutions. Hambatan tersebut juga sering kali ditemui oleh Irama Nusantara dan hingga kini tetap menjadi ancaman utama bagi keberlangsungan komunitas dan arsip yang telah mereka bentuk.

Referensi:

Assman, J.,2008. Communicative and Cultural Memory. Dalam Erll, A. dan Nünning, A. (eds.). Cultural Memory Studies: An International and Interdisciplinary Handbook. De Gruyter, Berlin.

Atkinson, D., 2008. The heritage of mundane places. In: Graham, B., Howard, P. (Eds.), The      Research Companion to Heritage and Identity. Ashgate, Aldershot, UK.

Baker, S., 2015. Do-It-Yourself Institutions of Popular Music Heritage: the Preservation of Music’s Material Past in Community Archives, Museums and Halls of Fame. Archives and Records, DOI: 10.1080/23257962.2015.1106933

Shuker, R., 2001. Understanding Popular Music, 2nd edition. Routledge, London.

Storey, J., 1993. An Introduction to Cultural Theory and Popular Culture, 2nd edition. Prentice Hall, London.

Arsip Audiovisual KUNCI Study Forum and Collective

Oleh: Fiky Daulay


Berawal dengan nama KUNCI Cultural Studies Center, KUNCI adalah kelompok belajar yang dibentuk oleh Nuraini Juliastuti dan Antariksa pada tahun 1999 sebagai upaya untuk membentuk ruang alternatif pasca kejatuhan Orde Baru. Pada praktiknya, KUNCI berperan sebagai pusat kajian budaya nirlaba melalui kerja-kerja penelitian dan publikasi dalam semangat lintas disiplin dan lokalitas seputar seni, budaya dan pendidikan alternatif. KUNCI membayangkan diri sebagai ruang produksi pengetahuan yang berpijak pada kesadaran praksis politik budaya di tengah politik praktis yang berkembang setelah kejatuhan rezim.

Sejak 2019, KUNCI Cultural Studies Center berganti nama menjadi KUNCI Study Forum and Collective, menitikberatkan pada kolektivisasi belajar, termasuk di antaranya: pengelolaan ruang, diskusi, perpustakaan, penelitian, penerbitan, percetakan, dan pengorganisasian sekolah. KUNCI melintasi dan menghubungkan batas-batas institusi, disiplin, serta lokalitas. Keanggotaannya berbasis persahabatan dan informalitas, serta berprinsip swa-organisasi dan kolaboratif.

‘Menggembosi’ Arsip

Sebagai anak magang di Kunci pada pertengahan tahun 2015, sulit rasanya untuk menjelaskan rasa heran akan pengaturan arsip kunci yang tampak kacau-balau, karut-marut atau centang-perenang. Mulai dari pendataan lokasi buku, lembar catatan, dokumen-dokumen penting, nota, hingga benda-benda kecil sekalipun. Sederetan pertanyaan muncul bersamaan di benak saya; bagaimana logika pengaturan arsip di sini berlangsung sebenarnya? Hubungan apa yang sedang dibentuk dari ketidakteraturan ini? Mengapa situs yang memuat arsip praktik penelitian sangat banyak dan dibuat terpisah dengan situs utama? Mengapa strategi mengingat kembali (recalling) arsip tertentu bergerak dari masing-masing anggota yang bisa saja bertanggung jawab pada proyek tertentu lalu dikembalikan pada ingatan secara kolektif?

Hingga kini kekacauan itu belum berubah atau barangkali tidak akan berubah banyak. Sekilas, apa yang tampak ke permukaan adalah penggembosan arsip organisasi dari dalam ke dalam pecahan-pecahan yang lebih kecil. Pecahan-pecahan kebutuhan arsip yang tidak berhubungan tetapi pada titik lainnya berjumpa melalui rembesan arsip pada praktik di masa lalu yang kemudian muncul pada bentuk praktik lainnya atau praktik yang akan datang. Lalu bagaimana praktik pengarsipan Kunci menggembosi dirinya sendiri dan pemaknaan apa yang ingin dibangun?

Dalam definisi ketat, arsip tentu saja mengacu pada seluruh bentuk rekaman historis yang terkait dengan catatan peristiwa atau terlebih, bukti autentik material yang tidak dipublikasikan dalam sebuah organisasi atau instansi. Namun, sebagai pustaka berbasis riset, KUNCI mendekati fragmen atau pengelompokan sumber informasi historis sebagai timbal balik antara abstraksi pengetahuan berwujud kerangka berpikir-pendekatan dengan penciptaan refleksi bersama berwujud materi publikasi.

Dengan kata lain, ia diandaikan sebagai landasan antara hubungan teori dan praktik yang tidak memisahkan kesejarahan arsip dan penggunaan arsip. Dalam contoh praktis, catatan bibliografi pustaka berperan sebagai pendukung penelitian juga dianggap sebagai arsip. Dengan demikian, dalam penciptaan publikasi (baru), arsip dibayangkan sebagai sesuatu yang terbuka, bergerak dengan waktu sekaligus mendorong pertanyaan bagaimana rekaman historis berhubungan dengan ketertarikan dan inisiatif masing-masing anggota? Ia kemudian menggeser pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan arsip dan apa yang tidak. Lebih pada upaya masing-masing anggota untuk membuka hubungan ‘arsip’ sebagai perangkat pengetahuan dengan ketertarikannya dan bagaimana memaknai publisitas atau penyebaran praktik penelitian secara luas.

KUNCI menyimpan berbagai macam bentuk arsip audio visual, termasuk:

  • Koleksi salinan publikasi, jurnal, buku, zine, majalah, katalog bertemakan seni, pendidikan dan budaya yang mendukung praktik penelitian kami atau tanpa membedakannya, salinan keseluruhan dan fragmen-fragmen koleksi tersebut menjadi infrastruktur penelitian.
  • Koleksi foto atau materi visual lainnya yang terkait dengan proyek penelitian dan materi publikasi (penyimpanan daring, hard disk, media sosial termasuk Instagram, Facebook, dll)
  • Koleksi materi audio meliputi rekaman diskusi publik, wawancara, soundscape, rekaman acara publik lainnya termasuk potongan material audio lainnya yang akan diolah ke dalam penyiaran radio sekaligus hasil penelitian. Selain itu kami berperan untuk merawat sebagian koleksi kaset fisik yang dimiliki oleh Hersri Setiawan (penulis, aktivis, sejarawan), memuat rekaman sejarah lisan dengan tokoh-tokoh dari berbagai periode sejarah Indonesia. Pada praktiknya, koleksi kaset otentik ini tersimpan di dalam lemari kedap udara. Pembukaan akses digital dilakukan semi-terbuka bagi para peneliti/akademisi yang telah memohonkan akses untuk menggali sejarah Indonesia dengan hanya mengaksesnya di tempat.

Koleksi kaset Hersri Setiawan

Pengelolaan arsip utamanya berperan sebagai infrastruktur penelitian sekaligus hasil penelitian yang dapat disebut sebagai perangkat ‘rumah/kantor’. Bentuk kerja yang mendorong inisiatif masing-masing individu dalam kerja-kerja kolektif mendorong pengelolaan arsip audio visual berbasis inisiatif masing-masing anggota. Beberapa dari kami akan mendaftar, mengelompokkan, dan melabeli arsip tersebut utamanya sebagai hasil penelitian yang dapat diakses sewaktu-waktu baik secara fisik atau digital secara intuitif, terbuka dan swa-reproduksi sesuai ketertarikan masing-masing anggota yang tidak selalu memproyeksikan masa depan.

Sebagai refleksi dari cara kerja kami yang cenderung untuk tidak membagi secara ketat pembagian kerja, alhasil kami tidak memiliki pembagian khusus antara ruang kerja, ruang pustaka, termasuk ruang penyimpanan arsip. Pada praktiknya, seluruh bentuk arsip fisik utamanya tersimpan di antara ruang kerja dan pustaka di dalam kabinet yang memuat folder, dan materi cetakan lainnya. Selain itu kami juga mengandalkan kotak-kotak penyimpan dan perangkat hard disk.

Penyimpanan arsip audio visual digital juga berada di wahana daring utama yang terbuka dan dapat diakses publik luas: https://archive.org/details/@kunci_cultural_studies_center. Wahana ini bekerja sebagai lumbung yang meneruskan tautan ke situs-situs yang kami kelola, diantaranya: Kunci.or.id, radio.kunci.or.id, dan situs lainnya yang memuat hasil proyek penelitian. Namun demikian, tidak ada hirarki yang bertingkat di antara lumbung dengan jejaring situs terkait lainnya.

 Tidak ada alur khusus dalam pengaturan arsip. Pendekatan label tagging atau kata kunci yang juga hadir di wahana archive.org dan website lainnya, juga berlaku pada pelabelan intuitif arsip-arsip fisik baik dokumen, publikasi, atau materi cetak lainnya hingga menuju kotak penyimpanan dan rak-rak kabinet. Sebagai organisasi yang tidak dapat digolongkan ke dalam institusi publik penuh, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat ataupun seperti Pustaka publik (Kota,Daerah, atau bahkan Universitas), kami mengelola jangkauan publik dalam kerangka semi-terbuka. Semi-terbuka mengacu kepada pembukaan akses formal sebesar-besarnya atas seluruh kegiatan publik melalui berbagai pintu seperti pustaka, website dan Klub Numpang Baca.

Namun di sisi lain, akses tersebut dibatasi oleh bentuk publik yang cenderung informal, berbasis jejaring dan pertemanan. Semi-terbuka kemudian mengandaikan akses yang terbuka bagi siapapun, tetapi pra-kondisi sosial atas akses arsip terbentuk melalui hubungan individual masing-masing di dalam keanggotaan Kunci dengan individu atau kelompok lain yang memiliki ketertarikan atau dalam semangat yang sama.

Selain akses daring dalam berbagai situs dan sosial media yang cenderung berwujud visual, pengelolaan akses audio secara publik juga diaktivasi melalui situs radio.kunci.or.id dan rilisan fisik Nguping Records. Radio adalah laman daring namun tak terpisahkan dengan usaha publikasi arsip Kunci di kanal lainnya. Konten radio memuat diskusi publik yang diorganisir oleh Kunci di kantor atau tempat lain seperti lokasi residensi. Konten ini berdampingan dengan bentuk lain seperti wawancara, soundscape, sastra lisan, audio guide terangkum dalam proyek Heterotropics.

Koleksi podcast Heterotropics #2: Resound, revision, recollection:Sensing through colonial archives, diinisiasi melalui 1.5 bulan residensi penelitian di Tropenmuseum (Amsterdam, Belanda), museum kolonial yang mengoleksi berbagai macam obyek, arsip dan dokumen dalam pameran ‘350 Tahun sejarah kolonial Indonesia’. Alih-alih menelaah arsip kolonial tersebut dalam kerangka visualnya, kami kemudian membongkar praktik pengarsipan di dalamnya. Podcast yang mentransmisikan medium suara dan bunyi menjadi perluasan ruang serangkaian wawancara dengan orang-orang biasa yang melakukan praktik pengarsipan, perekaman soundscape kota, symposium, termasuk penciptaan audio guide fiksional yang seperti produksi audio lainnya bersandar pada dekonstruksi museum sebagai institusi pendidikan yang memproduksi pengetahuan. Di sini pula, laku menggembosi arsip sekali lagi muncul dalam upaya yang lebih subtil untuk mengkolektivisasi relasi arsip sekaligus logika produksinya melalui kekuatan reflektif bunyi yang memperluas sekaligus mempersempit ruang publik. Menggembosi arsip kemudian dapat bermakna sebagai praktik arsip yang tidak terlepas dari pembentukan hubungan individu-publik yang tercipta dari upaya pendataan, pembagian, pengklasifikasian di dalam jejaring kesejarahannya.

Radio memungkinkan publik untuk berbagi ruang penciptaan partisipasi bersama melalui transmisi internet baik dalam bentuk koleksi podcast atau live streaming. Laman ini menjadi kanal arsip audio yang dapat diakses sewaktu-waktu dalam kategorisasi kegiatan kunci sekaligus kesegeraan diseminasi diskusi publik. Radio berbasis internet kemudian mengekspresikan media arsip sekaligus arsip itu sendiri sebagai ruang yang terbuka melampaui sekat lokasi dan konsep waktu yang terus berjalan.

Nguping Records merupakan sebuah upaya lanjutan pengolahan arsip berwujud rilisan fisik kaset. Pada tahun 2017, kami mengundang Uma Gumma, seorang seniman yang juga menjadi siswa temporer pada usaha kolektivisasi belajar Sekolah Salah Didik (SSD) untuk mengolah kembali arsip audio yang tersimpan dalam brankas Kunci melalui pendekatan artistik.[1] Uma kemudian memproduksi 3 rilisan audio dalam bentuk kaset, diantaranya; ‘Kasak-Kusuk Angkatan Tua’ memuat wawancara dengan Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan di Yogyakarta pada tahun 1999 pasca reformasi; ‘It’s My Job To Keep Punk Rock Elite’, memuat dua diskusi mengenai subkultur punk dalam Forum Gemar Membaca Kunci Cultural Studies Center pada 2014; ‘Suara Selepas Kerja’, memuat pembacaan karya sastra favorit oleh Susana Nisa, dan Arista Devi sebagai perpanjangan dari kelompok baca bersama buruh migran dalam proyek ‘Klub Baca Selepas Kerja’. Rilisan fisik kemudian menawarkan kompresi bentuk arsip dalam bentuk yang lebih berwujud bendawi dan dapat dikoleksi kembali.

[1] Kunci menginisiasi proyek jangka panjang Sekolah Salah Didik sejak 2016. Secara singkat, proyek SSD bertujuan untuk membongkar beragam lapisan hirarki dan otoritas produksi pengetahuan dalam institusi pendidikan formal. Proyek ini dijalankan lewat serangkaian eksperimen menjalankan proses  belajar melalui metode pedagogi alternatif (pembelajaran ala Jacotot dari Jacques Ranciere, Turba, nyantrik dan Taman Siswa).