oleh : Rina Rakhmawati
Awal 2020 tampak menjadi era baru sekaligus menantang, tidak hanya bagi dunia, tetapi juga Indonesia. Kemunculan wabah covid-19 seolah menjadi penanda akan adanya perubahan besar di segala aspek kehidupan. Perubahan signifikan pun dirasakan di bidang informasi dan dokumentasi, khususnya kearsipan. Indonesia yang dinilai masih lamban dalam menanggapi percepatan teknologi untuk kearsipan, bersamaan dengan pandemi covid-19, seolah dipaksa bergerak cepat beradaptasi. Ledakan data dan informasi yang sudah dimulakan dengan fenomena big data semakin meruak dengan terciptanya beragam dokumen elektronik, termasuk dokumen yang merekam segala perubahan di masyarakat selama masa pandemi covid-19. Fenomena ledakan rekaman informasi kemudian dikemas ulang oleh CoronaMemory.id.
Dalam ulasan singkatnya pada platform media sosial Instagram, CoronaMemory.id merupakan proyek berbasis non-profit. CoronaMemory.id dibentuk dengan tujuan “mengumpulkan memori dan dokumentasi terkait peristiwa pandemi Coronavirus Covid-19 dan dampaknya bagi kehidupan manusia di Indonesia saat ini, sebagai bagian dari jejak sejarah”. Dokumentasi yang telah terkumpul melalui surat elektronik, kemudian diseleksi atau dikurasi. Menurut penuturan Salsabilla Sakinah, selaku pembentuk CoronaMemory.id, proses seleksi atau kurasi didasarkan pada tema kegiatan, misalnya: healthcare, social, working-life, school-life, dan life style. Paradigma yang menjadi dasar pembentukan proyek tersebut adalah konsep museum. Dalam uraian singkatnya, Salsabilla menegaskan bahwa “salah satu tugas dan fungsi pokok museum, yaitu mengumpulkan, merawat, mengembangkan, dan menyajikan bukti-bukti materiil jejak peradaban manusia serta alam dan lingkungannya”. Paradigma yang pada dasarnya juga bersisian dengan lembaga kearsipan yang juga berfungsi mengelola rekam jejak kehidupan. Apabila kita kaji dengan paradigma ilmu dokumentasi tradisional, dokumen arsip dibedakan secara tegas dengan dokumen museum. Blasius (2017) dalam uraiannya menyampaikan bahwa sebelumnya terdapat paradigma dokumen arsip lebih ditekankan pada dokumen privat, sedangkan museum berfokus pada dokumen korporiil. Dalam hal wujud fisik dokumen pun dibedakan secara tegas bahwa dokumen arsip bersifat dua dimensi (meski kemudian terdapat arsip bentuk khusus), sedangkan museum mengelola benda berwujud tiga dimensi. Dalam konteks era digital, penegasan beda tersebut menjadi semakin kabur. Apalagi jika dokumen yang dihasilkan adalah dokumen elektronik sebagaimana yang dikumpulkan dan dikurasi oleh CoronaMemory.id. Jika berpijak pada fenomena tersebut, maka upaya penyatuan arsip, museum, dan juga perpustakaan dalam satu payung filosofi ilmu, dapat menjadi isu yang selayaknya dikaji lebih intensif, khususnya di Indonesia.
Dalam pandangan penulis, terdapat tiga filosofi keilmuan yang dinilai layak menjadi payung bagi penyatuan arsip, museum, dan perpustakaan. Pertama adalah ilmu informasi, yang juga telah menjadi rumpun utama resmi versi Kementerian Riset dan Dikti (saat ini Dikti bergabung dalam Kementerian Kebudayaan) kajian kearsipan dan perpustakaan. Kedua, sekaligus kajian yang dapat dikatakan langka di Indonesia, yaitu neo-dokumentasi. Kajian neo-dokumentasi pada dasarnya telah lama digagas oleh Warden Boyd Rayward, Michael Keeble Buckland, dan Niels Windfield Lund. Ketiga penggagas tersebut memunculkan konsep baru mengenai dokumen melalui Document Academy Meeting (DOCAM). Tokoh yang memperkenalkan kajian neo-dokumen di Indonesia adalah Blasius Sudarsono melalui karyanya “Menuju Era Baru Dokumentasi”. Blasius, bersama dengan beberapa akademisi dan praktisi juga membentuk komunitas yang secara intensif mengkaji neo-dokumen tersebut, yaitu Kappa Sigma Kappa Indonesia (KSKI). Payung ketiga tidak lain adalah data science. Fenomena big data serta Society 5.0 dapat dikatakan menjadi pemicu efektif bagi masyarakat luas untuk lebih familiar dengan istilah data. Apalagi pemerintah kita pun sempat menggelontorkan konsep kebijakan Satu Data. Franks (2008) bahkan mengkategorikan arsip sebagai wujud dari structured data.
Selain aspek filosofi keilmuan, penyatuan arsip, museum, dan perpustakaan juga dapat dilakukan melalui konvergensi kelembagaan. Menurut Rayward (dalam Blasius, 145, 2017), konvergensi kelembagaan perlu diupayakan sebab peralihan bentuk dokumen itu sendiri yang menjadi digital. Selain itu, masyarakat selaku pengguna pun menghendaki adanya kepraktisan dalam mengakses dokumen tanpa mau tahu bersumber dari pustaka, arsip, atau museum. Meskipun secara teknis pengelolaan masih terdapat perbedaan, namun hendaknya konvergensi kelembagaan arsip, perpustakaan, dan museum menjadi layak dipertimbangkan. Pada dasarnya, konvergensi kelembagaan di Indonesia dapat mengambil wujud kolaborasi lintas lembaga serumpun. Suryagung (2019), dalam publikasinya, menjelaskan bahwa sebetulnya kolaborasi antar perpustakaan dan arsip, terutama, telah dilakukan melalui struktur kelembagaan di tingkat daerah. Namun demikian, perlu diupayakan kolaborasi lebih tersistematis sehingga diharapkan masyarakat merasakan manfaat kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan dalam satu lokasi.
Penyatuan arsip, museum, dan perpustakaan tidak kemudian ditafsirkan sebagai upaya mengkerdilkan masing-masing bidang. Upaya tersebut bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu wujud new normal dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat atas pengetahuan yang komprehensif, otentik, dan reliabel. Meski demikian, sebagaimana juga disimpulkan oleh Suryagung (2019), diperlukan kesiapan “layanan, infrastruktur teknologi, staf, dan keahlian” agar tercapai efektivitas dan efisiensi layanan yang diberikan.
Referensi:
Sudarsono, Blasius. 2016. Menuju Era Baru Dokumentasi. Jakarta: LIPI Press.
Agung, S. Konsep LAM Dalam Dunia Kearsipan di Indonesia. Diplomatika: Jurnal Kearsipan Terapan, 2(2), 87-94.
Sakinah, Salsabilla. 2020. Museum Melawan Pandemi. Unpublished Document.