Oleh: Widiatmoko Adi Putranto dan Regina Dwi Shalsa Mayzana
Footage alias rekaman video bisa jadi memiliki nilai kebuktian yang lebih lengkap dan real untuk meyakinkan banyak orang jika dibandingkan arsip audiovisual lainnya. Foto atau gambar tidak bergerak cenderung statis dan tidak mampu membuat kita mendengar apa yang ada di foto tersebut. Sebaliknya, rekaman suara hanya dapat menghadirkan bunyi tanpa visualisasi. Di serial televisi populer seperti Homeland atau Money Heist, footage yang diambil dari berbagai penyadapan menjadi objek krusial dalam plot cerita sehingga serial tersebut mampu bertahan hingga beberapa season. Terminologi footage agaknya memang lebih identik dengan rekaman yang diambil melalui kamera tersembunyi untuk keperluan pengawasan, penyadapan, atau pengintaian. Maka, meskipun mungkin mampu menghadirkan bukti yang kuat, footage bisa jadi problematis bila diambil dengan cara yang dianggap bertentangan dengan hukum.
Dalam perkembangan industri peternakan modern, terdapat sejumlah dugaan bahwa hewan ternak telah diperlakukan dengan tidak semestinya. Sejumlah aktivis dan organisasi pecinta hewan berhasil mendapatkan arsip serupa rekaman yang menunjukkan bahwa hewan ternak seringkali dipukul/disiksa sebelum akhirnya dijagal hidup-hidup. Beberapa media bahkan menyebutkan bahwa hak dan kesejahteraan hewan telah menjadi isu global (Stull & Broadway 2012, p. 85). Dalam hal ini, arsip audiovisual berbentuk rekaman CCTV atau kamera tersembunyi telah menjadi modal utama untuk melakukan pengamatan terus-menerus secara efektif sebagai usaha meningkatkan kesadaran akan kesejahteraan hewan ternak (Federation of Veterinarians in Europe 2017, p. 3). Australia misalnya, pernah menangguhkan kebijakan live export mereka ke Indonesia setelah sebuah rekaman dan foto-foto cara sapi mereka diperlakukan di sejumlah rumah jagal Indonesia, terekspos di media (Associated Press 2011, ABC News 2011). Di tahun itu pula, rekaman penjagalan sapi yang sama dari Animals Australia membantu Bidda Jones (2011) dari RSPCA, organisasi perlindungan hewan Australia, untuk menuliskan riset tentang perlunya perubahan cara penanganan sapi di rumah jagal Indonesia.
‘Apabila dibilang mirip, Lucent memang terinspirasi Earthlings’, ujar sutradara Chris Delforce usai pemutaran film dokumenter bertajuk ‘Lucent’ pada suatu malam 5 tahun lalu di panggung Capri Theatre, gedung bioskop ikonik berlanggam Art Deco di Goodwood, salah satu bagian pinggir kota Adelaide, South Australia. Bedanya dengan Earthlings–film dokumenter terkenal yang menunjukkan sejumlah kekejaman pada berbagai binatang– Lucent lebih berfokus pada satu binatang: babi. Kesamaannya, isi film tersebut juga berupa dokumentasi sejumlah footage yang besar kemungkinan tak berizin dari sejumlah peternakan dan rumah jagal. Metodenya standar: aktivis mengendap-endap, menyusup, lalu melakukan pengintaian yang biasanya terjadi di malam hari ketika kebanyakan karyawan sudah menghilang. Aktivis kadang tinggal dan merekam semalaman, namun ada kalanya kamera pengintai ditaruh untuk diambil selang beberapa waktu kemudian.
Sumber: Ilustrasi oleh Ignatius Ade (@ignadee)
Rekaman-rekaman tersembunyi bukan hanya menunjukkan kekerasan sebelum hewan ternak dijagal, tetapi juga ketika hewan berada dalam transportasi. Osborne dan van der Zee (2020) menyebutkan, ada sekitar hampir 2 miliar hewan ternak setiap tahun yang dimuat ke truk atau kapal untuk dikirim ke banyak negara dalam perjalanan hingga memakan waktu berminggu-minggu. Padahal, European Union Scientific Committee on Animal Health and Animal Welfare (2001, dikutip pada Mach et al. 2008) menyatakan bahwa transportasi hewan lebih dari 8 jam dapat menyebabkan penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, hingga perubahan dalam beberapa parameter stres fisiologis. Fenomena ini menunjukkan bahwa melalui rekaman tersembunyi pada transportasilah masyarakat luas dapat menentukan kualitas daging industri peternakan modern yang sebenarnya.
Ada dua pertanyaan besar yang kemudian muncul dan saling bertentangan. Pertama, bagaimana duduk legalitas rekaman semacam ini? Tentunya terasa ganjil ketika seseorang datang bertamu sambil bertanya dengan sopan, ‘selamat malam, mohon izin saya akan merekam apa yang Anda lakukan di rumah Anda dan mungkin membuat nama Anda akan tercemar.’ Rekaman-rekaman berisi perlakuan yang dianggap kejam terhadap hewan ternak kebanyakan diambil tanpa izin dan persetujuan. Dalam konteks ruang, seseorang yang melakukan hal ini bisa saja dianggap melakukan penyadapan dan trespassing. Dua hal tersebut sempat membuat Delforce berurusan dengan hukum (Gregoire 2017). Namun, bagaimana dengan perlindungan atas kebebasan berpendapat individu dan transparansi yang kerap kali bersinggungan dengan relativitas informasi sensitif? Siapa yang seharusnya menyediakan akses terhadap informasi semacam ini untuk kepentingan konsumen atau hewan ternak itu sendiri? Katakanlah, untuk edukasi masyarakat serta pengungkapan tindakan yang dianggap tidak etis. Seperti dikutip oleh Medianet (2019), Delforce berpendapat bahwa dari sudut pandang konsumen, mereka memiliki hak untuk mengetahui asal dan proses produk hewani yang mereka beli. Di Inggris misalnya, rumah jagal justru diwajibkan untuk memasang CCTV (UK Statutory Instrument No. 556 2018). Per 2019, Skotlandia (Agriculture and Rural Delivery Directorate of the Scottish Government (ARD) 2019) juga tengah menggodok draft undang-undang yang mirip. Di sisi lain, penulis Jonathan Safran Foer (2010) pernah bercerita bahwa ia tak pernah mendapat jawaban ketika meminta izin secara resmi untuk masuk ke sejumlah peternakan industrial di Amerika Serikat demi mengetahui darimana daging yang ia makan berasal.
Arsip audiovisual dalam bentuk rekaman yang termuat dalam film dokumenter, ataupun film dokumenter itu sendiri, memiliki peran untuk menyediakan akses sekaligus menggugah masyarakat akan kondisi hewan ternak pada praktik industri peternakan modern yang banyak dituding kurang memperhatikan hak dan kesejahteraan mereka. Diseminasi rekaman-rekaman ini dapat menjadi catatan sejarah yang penting dan bisa jadi memengaruhi banyak keputusan dalam pengambilan kebijakan yang lebih luas. Namun, isu legalitas rekaman yang mencakup dari sensitivitas informasi, transparansi, kebebasan berpendapat, hingga trespassing menjadi masalah yang perlu dikaji lebih lanjut secara spesifik untuk menemukan penyelesaian atas perdebatan ini.
*Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian ‘Some Animals are More Equal than Others: Are Archives Neutral?’.
Referensi:
Agriculture and Rural Delivery Directorate of the Scottish Government 2019, Introduction of Compulsory Closed Circuit TV Recording of Slaughter at Abattoirs in Scotland: Summary Report, ARD, Edinburgh.
Associated Press 2011, ‘Australia suspends cattle export to Indonesian abattoirs’, The Guardian, diakses pada 5 Juni 2020, <https://www.theguardian.com/world/2011/may/31/australia-suspends-cattle-export-indonesia>.
Aussie Farms 2019, ‘Activist behind controversial ‘farm map’ challenges Federal Agricultural Minister to public debate’, Medianet, diakses pada 6 Juni 2020, <https://www.medianet.com.au/releases/171739/>.
Federation of Veterinarians in Europe 2017, Use of Closed Circuit Television (CCTV) in the supervision and verification of animal welfare standards in approved premises, FVE, diakses pada 19 Juni 2020, <https://www.fve.org/cms/wp-content/uploads/042_cctv___combined_final_ga_adopted.pdf>.
Foer, JF 2010, Eating Animals, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gregoire, P 2017, ‘Exposing Agricultural Brutality: An Interview with Chris Delforce’, Sydney Criminal Lawyers, 22 November, diakses pada 7 Juni 2020, <https://www.sydneycriminallawyers.com.au/blog/exposing-agricultural-brutality-an-interview-with-chris-delforce/>.
Jones, B 2011, ‘The Slaughter of Australian Cattle in Indonesia: An Observational Study’, Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals, diakses pada 10 Juni 2020, <https://kb.rspca.org.au/wp-content/uploads/2019/03/The-slaughter-of-Australian-cattle-in-Indonesia-RSPCA-Research-Report-2011.pdf>.
Mach, N, Bach, A, Velarde, A & Devant, M 2008, ‘Association between animal, transportation, slaughterhouse practices, and meat pH in beef’, Meat Science, Volume 78, no. 3, pp.232-238.
Ockenden, W & Lamb, K 2011, ‘More cruelty in Indonesian abattoirs revealed’, ABC News, 7 Juni, diakses pada 9 Juni 2020, <https://www.abc.net.au/news/2011-06-07/more-cruelty-in-indonesian-abattoirs-revealed/2750240>.
Osborne, H & van der Zee, B 2020, ‘Live export: animals at risk in giant global industry’, The Guardian. 20 Januari, diakses pada 10 Juni 2020, <https://www.theguardian.com/environment/2020/jan/20/live-export-animals-at-risk-as-giant-global-industry-goes-unchecked>.
Stull, DD & Broadway, MJ 2012, Slaughterhouse blues: The meat and poultry industry in North America, Google Books, diakses pada 7 Juni 2020, <https://books.google.co.id/books?id=zCDGz2P-ghQC&pg=PA85&lpg=PA85&dq=cage+quality+in+slaughterhouses&source=bl&ots=AC0criNgea&sig=ACfU3U21qwTBBitgpbdY2C6OgZ6GM3DmZA&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwj09-WXzfzpAhWk8HMBHcoDAaMQ6AEwFnoECAcQAQ#v=onepage&q&f=false>.
UK Statutory Instrument No. 556: The Mandatory Use of Closed Circuit Television in Slaughterhouses (England) Regulations 2018.