Oleh: Lastria Nurtanzila dan Faizatush Sholikhah
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah membuat kemajuan signifikan dalam mempromosikan transparansi dan akuntabilitas melalui komitmennya terhadap akses informasi publik. Komitmen ini sejalan dengan salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang bertujuan untuk mempromosikan kedamaian, keadilan, dan institusi yang kuat. Aspek penting dari tujuan ini adalah ketersediaan informasi untuk pengambilan keputusan terintegrasi dan partisipasi. Memahami pengelolaan informasi publik sangat penting dalam konteks ini, karena hal ini membentuk hubungan antara pemerintah dan warganya.
Pengelolaan informasi publik di Indonesia diatur oleh dua regulasi kunci: UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Masing-masing undang-undang ini memiliki peran yang berbeda dalam pengelolaan informasi publik, dan interaksi mereka sangat penting untuk memahami dinamika akses informasi di negara ini. Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang dua sudut pandang regulasi ini dan implikasinya terhadap akses informasi publik di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah analisis naratif dengan pendekatan kualitatif. Dengan menganalisis konten dari dua regulasi tersebut, studi ini berusaha memberikan gambaran detail tentang dinamika akses informasi publik di Indonesia. Temuan penelitian ini akan memetakan pemahaman tentang akses informasi dari sudut pandang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Kearsipan.
Salah satu tantangan signifikan yang diidentifikasi dalam studi ini adalah kesenjangan dalam memahami informasi publik berdasarkan undang-undang tersebut, yang sering kali menyebabkan sengketa mengenai akses informasi publik. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menekankan hak warga negara untuk mengakses informasi yang dimiliki oleh otoritas publik, sehingga mendorong transparansi dan akuntabilitas. Namun, Undang-Undang Kearsipan lebih fokus pada pengelolaan dan pelestarian catatan publik, yang kadang-kadang dapat bertentangan dengan prinsip keterbukaan.
Interaksi antara kedua undang-undang ini dapat menciptakan kompleksitas dalam pelaksanaan akses informasi publik. Misalnya, sementara Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mendorong pelepasan informasi, Undang-Undang Kearsipan dapat memberlakukan pembatasan pada jenis informasi tertentu untuk melindungi data sensitif. Dualitas ini dapat menyebabkan kebingungan di antara warga dan pejabat publik, yang mengakibatkan sengketa mengenai informasi apa yang seharusnya dapat diakses.
Lebih jauh lagi, studi ini menyoroti pentingnya pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi pejabat publik dalam memahami dan menerapkan undang-undang ini secara efektif. Tanpa pengetahuan dan keterampilan yang memadai, pejabat dapat secara tidak sengaja membatasi akses informasi, yang merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas yang ingin dicapai oleh undang-undang ini.
Sebagai kesimpulan, dinamika akses informasi publik di Indonesia dibentuk oleh interaksi antara Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Kearsipan. Meskipun kedua undang-undang ini memiliki kelebihan masing-masing, kesenjangan dalam pemahaman dan pelaksanaan dapat menyebabkan sengketa dan menghambat tujuan keseluruhan untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas. Sangat penting bagi para pemangku kepentingan, termasuk pejabat pemerintah, masyarakat sipil, dan warga negara, untuk terlibat dalam dialog dan kolaborasi guna menjembatani kesenjangan ini dan meningkatkan akses informasi publik di Indonesia.
Lastria Nurtanzila dan Faizatush Sholikhah merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.