Berbicara mengenai arsip, dalam pemahaman Indonesia, masih berpaku pada kertas-kertas kerja yang ada di lingkungan perkantoran. Paradigma tersebut dapat dikatakan masih mendominasi alam pikiran masyarakat kita. Berbeda halnya jika berdiskusi arsip dengan kolega di lain benua, maka arsip tidak hanya berkorelasi dengan perkantoran, namun hingga pada tataran keluarga. Salah satu yang menarik dan masih sedikit dikaji oleh bangsa kita adalah soal arsip keluarga. Padahal dalam perundang-undangan, arsip keluarga telah disinggung secara implisit dalam kata perseorangan.
Kajian terbaru mengenai arsip keluarga dilakukan oleh Azmi dalam Pengelolaan Arsip Keluarga: Suatu Kajian Kearsipan yang diterbitkan oleh Jurnal Kearsipan Arsip Nasional RI pada tahun 2015. Menurut Azmi, permasalahan yang terjadi berkaitan dengan arsip keluarga di Indonesia adalah masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya arsip keluarga dan bagaimana standar pengelolaan yang tepat. Arsip keluarga dikatakan berkorelasi erat dengan ketahanan sosial keluarga. Maknanya, berbagai permasalahan keluarga, seperti pendidikan, kedinasan, pajak, pemilu, warisan, harta kepemilikan, dan lain-lain tidak dapat diselesaikan secara win-win solution karena terkendala dalam hal pengarsipan, baik karena hilangnya arsip maupun arsip yang asal simpan sehingga terselip dan tidak mudah ditemukan kembali saat dibutuhkan cepat. Dalam memecahkan persoalan pengelolaan arsip keluarga, Azmi menggunakan pendekatan life cycle theory. Solusi yang diberikan dalam kajian Azmi tersebut pun pada dasarnya dapat dipraktikkan mengingat peralatan dan prosedur yang mudah untuk diikuti. Namun demikian, dalam kaitannya dengan arsip bernilai kesejarahan yang disimpan oleh keluarga, pada umumnya tidak dapat serta merta diserahkan kepada lembaga kearsipan. Apalagi jika didalamnya terdapat silsilah keluarga besar tentu arsip tersebut memiliki nilai kesejarahan tinggi dan tidak mudah untuk dipindahtangankan. Kajian mengenai urgensi arsip silsilah keluarga ini pun dapat dikatakan belum dilakukan di Indonesia. Penulis berasumsi salah satu faktornya adalah sulitnya mengakses arsip yang merekam silsilah keluarga, baik karena sifatnya tertutup atau adanya sebagian informasi yang sudah tidak lagi utuh.
Silsilah keluarga, dalam Bahasa Arab, disebut nasab. Definisi luasnya adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. Bangsa Arab memang terkenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga. Mereka memiliki apresiasi yang tinggi kepada orang-orang yang mengetahui dan mampu menghafal silsilah keluarganya dengan baik dan tepat. Dalam konteks Islam, urgensi nasab disebutkan dalam tiga surah, yaitu:
“Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (Hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya.” (QS. Al Mu’minun: 101)
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan musyaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari hubungan pernikahan) dan Tuhanmu adalah Mahakuasa.” (QS. Al Furqon: 54)
“Dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara Dia (Allah) dan jin. Dan sungguh, jin telah mengetahui bahwa mereka pasti akan diseret (ke neraka).” (QS Ash-Shaffat: 158).
Nasab atau hubungan kekerabatan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam sudut pandang fiqih, nasab berkorelasi erat dengan beberapa hal dari ketahanan sosial sebagaimana disebutkan Azmi, khususnya berkaitan dengan masalah perkawinan dan hukum waris. Urgensi arsip dalam kaitannya dengan nasab dan masalah perkawinan dapat disimak dalam Al Qur’an surah An-Nisaa’:
- Ayat 21 yang artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuhi)”. Sebagaimana diketahui, arsip merupakan bukti atau rekaman kegiatan yang telah dilakukan. Dalam konteks ayat tersebut, arsip memberikan pedoman dan arahan untuk mengetahui siapa sajakah wanita yang telah dinikahi oleh ayah, melalui arsip catatan pernikahan yang disimpan di KUA dan/atau dinas kependudukan dan catatan sipil, maupun dalam bentuk arsip buku nikah hingga arsip kartu keluarga.
- Ayat 22 yang artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi):
- ibu-ibumu,
- anak-anakmu yang perempuan,
- saudara-saudaramu yang perempuan,
- saudara-saudara ayahmu yang perempuan,
- saudara-saudara ibumu yang perempuan,
- anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
- anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
- ibu-ibumu yang menyusui kamu,
- saudara-saudara perempuanmu sesusuan,
- ibu-ibu istrimu (mertua),
- anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu,
- dan istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Untuk dapat mengetahui ikatan kekeluargaan tersebut, tentu dibutuhkan arsip keluarga yang terkelola dengan baik sesuai standar kearsipan. Sebagaimana pada ayat 21, arsip keluarga seperti catatan pernikahan, catatan kependudukan, buku pernikahan, arsip silsilah keluarga, hingga Kartu Keluarga menjadi prasyarat mutlak untuk memastikan jalur nasab.
Selain masalah perkawinan, persoalan hak waris pun kerap menjadi pemantik konflik dalam membangun ketahanan sosial suatu keluarga. Untuk dapat memahami korelasi arsip dengan nasab dalam kaitannya dengan hak waris, masih dicermati dalam surah An-Nisaa’:
- Ayat 7-8: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”. Dalam hal inipun, arsip Kartu Keluarga, arsip catatan sipil, maupun arsip silsilah keluarga untuk mengetahui dengan pasti kerabat pemberi warisan, mutlak diperlukan.
- Ayat 11-12: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dan bagianmuu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.
Keberadaan arsip keluarga yang mempertegas nasab atau hubungan kekerabatan atau silsilah keluarga dinilai mampu mempersempit ruang konflik perdata. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila dimulai saat ini dan dari diri kita sendiri, untuk menata kembali arsip-arsip keluarga sembari membuat semacam silsilah keluarga. Ketegasan nasab pun mempermudah kita untuk saling bersilaturahmi dan menelusuri identitas jati diri akar leluhur kita hingga kita mampu mengambil hikmah yang tercecer di antara anggota keluarga. Tersebab, harta paling berharga bagi seorang muslim adalah hikmah.
Wallahu’alam bishawab.
Referensi:
Al Qur’an
Azmi. 2015. Pengelolaan Arsip Keluarga: Suatu Kajian Kearsipan. Vol.10. Jurnal Kearsipan Arsip Nasional RI
http://id.wikipedia.org