Oleh: Hardiwan Prayogo*
Apa yang terjadi ketika IVAA berdiri?
Indonesian Visual Art Archive (IVAA) berdiri pada tahun 1995 dengan nama Yayasan Seni Cemeti (YSC). Kala itu, Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma mengajak Yustina W. Neni, Agung Kurniawan, Raihul Fadjri, Anggi Minarni, dan Koni Herawati untuk mewujudkan gagasan mendirikan satu lembaga yang fokus menangani dokumentasi dan arsip seni rupa. Para inisiator ini diantaranya kini berkedudukan sebagai board member IVAA. Tahun 2007, YSC berubah nama menjadi IVAA. Terlihat perbedaan karena sebagai lembaga kearsipan, tahun 2007 baru benar-benar meletakkan nama arsip sebagai identitas lembaganya. Sejarah singkat mengenai kelembagaan dapat dilihat pada halaman profil website IVAA. Atau jika para pembaca ingin mengetahui sejarah yang lebih komprehensif, bisa membaca buku Folders 10 Tahun Dokumentasi Yayasan Seni Cemeti. Sebagai pembuka, saya ingin memberikan gambaran umum mengenai situasi konteks sosial yang terjadi pada medio 90an.
Jika persoalan dipersempit ke dalam wilayah seni-budaya, (khususnya seni rupa/ seni visual), pasca berdirinya Galeri Cemeti’, tahun 1988 (sekarang bernama Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat), geliat kesenian memang tumbuh dinamis, terutama inisiatif pameran (tunggal/ kelompok) yang digelar di ruang-ruang non institusi pemerintah dan pendidikan, termasuk lahirnya kolektif seniman berbasis kedaerahan, atau bidang keseniannya. Gerak yang semakin dinamis niscaya dibarengi dengan banyaknya dokumentasi kegiatan atau peristiwanya, atau yang kemudian hari disebut sebagai event ephemera. Pada masa itu, tentu belum ditemukan teknologi digital sebagai media publikasi, katalog, catatan harian atau bahkan ruang pamer. Artinya dokumentasi masih berbentuk analog, benda fisik yang dapat disentuh dan dihirup aromanya. Sekaligus membutuhkan ruang simpan yang memadai.
Ketika para pelaku seni sibuk berkegiatan dan berkarya, mulai ada kegelisahan akan dibawa kemana tumpukan dokumentasi dari banyaknya peristiwa seni yang terjadi, termasuk kekhawatiran bagaimana jika beberapa tahun kemudian dokumen-dokumen ini dibutuhkan lagi. Singkat cerita, lahirlah Yayasan Seni Cemeti (YSC). Pada awalnya memang bertujuan hanya untuk mengelola dokumentasi dan arsip dari Galeri Cemeti. Namun, dalam situasi dan perkembangan wacana yang semakin dinamis terutama pasca reformasi, YSC memulai perburuan dokumentasi dalam jangkauan yang lebih luas. Meski memang masih terkonsentrasi di sekitar Yogyakarta. Tidak menjadi masalah, karena IVAA memang berambisi menjadi pusat dokumentasi dan arsip terlengkap di Indonesia. Ambisiusitas seperti itu sepatutnya menjadi tugas lembaga resmi milik negara, bukan lembaga arsip partikelir berbasis komunitas seperti IVAA.
Bagaimana IVAA bekerja?
Selama 25 tahun berdiri, dengan fokus pada arsip dan seni visual, kerja IVAA tidak terputus hanya pada perkara seni. Tentu ini, didasari atas keyakinan bahwa kesenian selalu terikat pada isu konteks sosial yang mengitarinya, IVAA paling sering memulai kerja pengarsipan dari dokumentasi peristiwa seni, baik itu pameran, diskusi, performance art dan lain sebagainya. Dokumentasi yang dimaksud mulai dari materi audio visual meliputi foto dan video pelaksanaan acara, termasuk materi berbasis teks seperti katalog, poster, hingga liputan media. Secara singkat sebaran ragam materi arsip digital IVAA yaitu foto (jpg, tiff, png), video (mp4, MTS, mpeg), audio (mp3, wav), dan teks (pdf, doc, rtf). Seluruhnya disimpan pada hardisk eksternal terlebih dahulu, untuk kemudian dicatat sebagai arsip yang diterima. Penerimaan (atau akuisisi) sumber arsip IVAA bisa berasal dari dokumentasi IVAA, sumbangan/ donasi seniman/ keluarga seniman/ peneliti atau siapapun, dan digitalisasi file dari format analog. IVAA juga sampai saat ini masih merawat arsip analog (positif/ negatif film, vhs, mini-dv, cassette, kliping dari tahun 1950-an), yang dikumpulkan dari tahun 1995-2006. IVAA baru benar-benar beralih ke format digital pada tahun 2007, sekaligus mulai membuat portal arsip online.
Arsip digital “mentah” ini kemudian diolah sesuai dengan karakteristik materinya masing-masing, sampai akhirnya dipublikasikan melalui kanal arsip online IVAA, yaitu http://archive.ivaa-online.org/. Pada website ini terlihat bagaimana IVAA membagi arsipnya dalam 4 kategori utama yaitu:
- Pelaku seni
- Karya seni
- Peristiwa seni (event)
- Koleksi dokumen
Selain online archive, publik juga bisa melihat koleksi dokumentasi video IVAA pada kanal youtube Arsip Indonesian Visual Art Archive.
Seluruh arsip yang berada di website berarti sudah melalui proses persetujuan dari pemilik untuk dipublikasikan. Dengan kata lain bisa diakses siapapun dan dimanapun secara bebas. Hanya saja untuk mendapat file dengan resolusi tinggi, atau beberapa arsip dengan ketentuan khusus, bisa menghubungi arsiparis ivaa melalui email archive@ivaa-online.org. Demi keamanan data, arsip digital yang telah selesai diolah dan diunggah di http://archive.ivaa-online.org/ disimpan dalam server pribadi milik IVAA. Meski ini juga menuntut konsekuensi teknis yang cukup rumit.
Kerja pengumpulan dan pengelolaan arsip ini selalu dibarengi dengan program diseminasi dan produksi pengetahuan. Salah satu yang rutin setiap 2 bulan adalah penerbitan e-newsletter IVAA. Tahun 2017, IVAA menggelar Festival Arsip “Kuasa Ingatan”, sebuah upaya untuk mendemistifikasi arsip dalam sajian yang lebih populer. Catatan pasca-festival ini bisa dibaca melalui buku Menakar Kuasa Ingatan: Catatan Kritis Festival Arsip IVAA 2017. Singkatnya, selain pengumpulan, kerja produksi pengetahun dalam bentuk riset, workshop, hingga diskusi juga turut serta digelar oleh IVAA agar pembacaan atas semesta arsip seni visual terus bergulir. Salah satu hasil riset yang bisa diunduh gratis adalah Membaca Arsip, Membongkar Serpihan Friksi, Ideologi, Kontestasi (Pemenang Hibah KARYA! 2013: Workshop Penulisan Sejarah Kritis Seni Rupa Kontemporer). Selain itu, juga terdapat lebih dari 15.000 koleksi buku yang dapat diakses langsung di perpustakaan IVAA. Buka setiap hari Senin-Jumat jam 9 pagi hingga 5 sore. Koleksi buku ini terdiri dari majalah, kliping, komik, buku referensi, dan katalog pameran. Koleksi katalog ini menjadi salah satu signature dari perpustakaan IVAA.
Seperempat abad kerja pengarsipan seni visual
Keempat kategori utama arsip IVAA yang sudah disebutkan sebelumnya, sejatinya memiliki logika yang saling terkait satu sama lain. Poin ini bisa merujuk pada satu ungkapan dari buku karangan Mona Lohanda, yang berjudul Membaca Sumber Menulis Sejarah. Mona menyatakan bahwa arsip adalah sumber paling primer dari penulisan sejarah, karena arsip diciptakan bersamaan dengan terjadinya suatu peristiwa. Sehingga arsip memiliki nilai informasi (informational value) dan nilai bukti (evidence value). Setiap material arsip setidaknya menyimpan satu informasi, dimana dia akan menjadi bukti ketika dijalin dengan informasi pada arsip lainnya.
Sedari yang awalnya hanya berinisiatif mengumpulkan tanpa tahu akan jadi apa kedepannya, hanya berbekal keyakinan “Mungkin nanti ada gunanya, atau barangkali ada peneliti atau seniman yang butuh”. Semacam selalu ada bayangan akan masa depan, dan apa yang dilakukan pada hari ini akan menjadi masa lalu kelak dikemudian hari. Seperti yang pernah diungkapkan Agung Kurniawan dalam pengantar buku Folders 10 Tahun Dokumentasi Yayasan Seni Cemeti, bahwa arsip adalah obat mujarab bagi ingatan jangka pendek kita.
Bersama dengan itu pula kerja pengarsipan IVAA terus berevolusi bersama dengan waktu. Seperti frasa yang kerap kita dengar, yaitu quarter life crisis yang kerap mendera manusia ketika dewasa menjelang tiba, pertanyaan-pertanyaan reflektif atas kerja pengarsipan itu kian kerap dialamatkan pada lembaga arsip yang tahun 2020 ini memasuki usia 25 tahun.
Apakah kerja pengarsipan yang selama ini IVAA lakukan memang sesuai dengan kultur produksi pengetahuan yang beredar di masyarakat kita? Problem apa yang bisa saja muncul ketika meyakini arsip sebagai sumber informasi dan bukti? Apa konsekuensi jangka panjang dan ideologis dari pemberian hirarki kualitas suatu sumber?
Kekhawatiran bahwa lembaga arsip bisa saja ikut berkontribusi dalam glorifikasi narasi utama akan tetap membayangi. Keluhan atas arsip yang tidak mendapat banyak perhatian, juga sudah menjadi cerita turun-temurun antar generasi. Angan-angan bahwa pengetahuan dan penulisan, atau setidaknya dokumentasi sejarah seni Indonesia bisa lebih baik seandainya kesadaran pengarsipan muncul lebih awal juga bukan premis baru. Belum lagi ketika semakin terang bahwa pengarsipan selalu politis karena sifatnya yang terbatas hanya mampu menyimpan ingatan-ingatan tertentu. Berbagai pertanyaan tak terjawab ini masih menjadi suluh untuk terus melihat arsip sebagai bagian dari siklus kehidupan, bukan ujung dari sebuah perjalanan.
*Penulis adalah arsiparis IVAA. Bekerja di IVAA sejak tahun 2018.