Pos oleh :

tim editor

Melipat Jarak dan Waktu dengan Arsip Seni Visual

Oleh: Hardiwan Prayogo*

Apa yang terjadi ketika IVAA berdiri?

Indonesian Visual Art Archive (IVAA) berdiri pada tahun 1995 dengan nama Yayasan Seni Cemeti (YSC). Kala itu, Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma mengajak Yustina W. Neni, Agung Kurniawan, Raihul Fadjri, Anggi Minarni, dan Koni Herawati untuk mewujudkan gagasan mendirikan satu lembaga yang fokus menangani dokumentasi dan arsip seni rupa. Para inisiator ini diantaranya kini berkedudukan sebagai board member IVAA. Tahun 2007, YSC berubah nama menjadi IVAA. Terlihat perbedaan karena sebagai lembaga kearsipan, tahun 2007 baru benar-benar meletakkan nama arsip sebagai identitas lembaganya. Sejarah singkat mengenai kelembagaan dapat dilihat pada halaman profil website IVAA. Atau jika para pembaca ingin mengetahui sejarah yang lebih komprehensif, bisa membaca buku Folders 10 Tahun Dokumentasi Yayasan Seni Cemeti. Sebagai pembuka, saya ingin memberikan gambaran umum mengenai situasi konteks sosial yang terjadi pada medio 90an. read more

Radio Sebagai Sistem Peringatan Dini dari Singapore Bureau*

Oleh: Lillyana Mulya

Radio, dalam sejarah Indonesia memang memiliki posisi yang begitu signifikan dalam mengalirkan informasi atau sebagai alat komunikasi pada masa perjuangan, namun kajian tentangnya masih sedikit dilakukan (Widya F.N.: 2016). Di kalangan bumiputera, perjumpaan dengan radio dimulai sejak masa Hindia Belanda. Tercatat kalangan bangsawan Mangkunegaran adalah bumiputera pertama yang mendirikan stasiun radio sendiri yang disebut dengan Solosche Radio Vereniging (SRV) pada tahun 1934. Selanjutnya, dalam perannya sebagai media komunikasi, radio menyiarkan pidato-pidato, lagu dan acara budaya yang mengobarkan semangat ke-Indonesiaan selama pendudukan Jepang. Pendirian Radio Republik Indonesia sebagai radio pertama milik Indonesia juga tak lepas dari peran pegawai bumiputera di stasiun radio Hoso Kanri Kyoku (stasiun radio pusat yang saat itu dikuasai Jepang). read more

Bagaimana Spotify Membuka Langkah Proses Katalogisasi Arsip Rekaman Suara

Oleh: Widiatmoko Adi Putranto dan Regina Dwi Shalsa Mayzana

Katalogisasi arsip merupakan salah satu bagian penting dan tak terelakkan dari proses preservasi, tak terkecuali bagi arsip berjenis rekaman suara berupa album musik berbentuk CD (Compact Disc). Mengabaikan katalogisasi dapat memicu kemungkinan yang berujung pada inefisiensi upaya pelestarian. Sebaliknya, katalog yang akurat, konsisten, dan jelas (Read & Czajkowski 2003) penting untuk dihadirkan demi terciptanya keberlangsungan akses di masa depan. Namun, kegiatan tersebut ternyata menghadirkan cukup banyak tantangan, terutama bagi para kataloger pemula. Manifestasi album musik yang unik serta data yang seringkali dijabarkan secara implisit membuat kebutuhan informasi dalam pembuatan metadata katalog bisa jadi tidak berhasil diidentifikasi. read more

IRAMA NUSANTARA: Kerja Pengarsipan Musik Populer Indonesia

Oleh: Ignatius Aditya Adhiyatmaka

Musik populer yang merupakan bagian dari budaya populer pada umumnya tidak dianggap sebagai cultural heritage atau warisan budaya. Hal tersebut disebabkan oleh istilah “budaya” yang sering kali hanya merujuk pada budaya adiluhung atau high culture. Budaya populer yang bersifat komersil, diproduksi secara massal, dan dianggap tidak otentik menjadikannya ditempatkan bersebrangan dengan budaya adiluhung (Shuker, 2001). Namun demikian, jarak yang memisahkan budaya adiluhung dengan budaya populer perlahan semakin menghilang dalam konteks modernitas yang terjadi di beberapa dekade terakhir (Storey, 1993). Selain itu, konsep mengenai warisan budaya juga menjadi sangat terkontestasi dan bercabang (Atkinson, 2008). Batas antara budaya populer dengan budaya adiluhung yang cenderung menipis serta terjadinya kontestasi konsep warisan budaya kemudian memunculkan beberapa pemahaman baru mengenai peran musik populer dalam budaya yang dijalani dan hidup di tengah masyarakat. read more

Arsip Audiovisual KUNCI Study Forum and Collective

Oleh: Fiky Daulay

Berawal dengan nama KUNCI Cultural Studies Center, KUNCI adalah kelompok belajar yang dibentuk oleh Nuraini Juliastuti dan Antariksa pada tahun 1999 sebagai upaya untuk membentuk ruang alternatif pasca kejatuhan Orde Baru. Pada praktiknya, KUNCI berperan sebagai pusat kajian budaya nirlaba melalui kerja-kerja penelitian dan publikasi dalam semangat lintas disiplin dan lokalitas seputar seni, budaya dan pendidikan alternatif. KUNCI membayangkan diri sebagai ruang produksi pengetahuan yang berpijak pada kesadaran praksis politik budaya di tengah politik praktis yang berkembang setelah kejatuhan rezim. read more

Generasi Milenial dan Eksistensi Tari Angguk Kulon Progo

Oleh: Andri Handayani

Kulon Progo adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kaya akan seni tradisi. Beberapa seni tradisi khas Kulon Progo seperti seni tari Jathilan, Incling, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Angguk, Oglek, Krumpyung, Zabur (seni teater), Langen Toyo, Tayup topeng maupun strek (seni silat keagamaan) masih digemari (nasional.tempo.co). Tari Angguk yang merupakan salah satu seni tradisi ‘icon’ Kulon Progo tersebut bahkan sudah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda Indonesia dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016. Oleh karena itu, sangatlah menarik jika kita dapat mengetahui lebih banyak tentang Tari Angguk. read more

Pemanfaatan eLisa dalam Proses Pembelajaran Mata Kuliah Bidang Kearsipan

Learning Management System (LMS) merupakan istilah global untuk sistem komputer yang dikembangkan secara khusus dalam mengelola pembelajaran online, distribusi materi dan memungkinkan kolaborasi antara mahasiswa dengan dosen sebagai pembelajar sepanjang hayat (longlife learner). Meskipun perkembangan teknologi berkembang cukup pesat yang identik dengan era disrupsi, UGM sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia, transfer pengetahuan untuk menciptakan peserta didik yang berkompeten dan berkarakter kuat berdasarkan pancasila bersifat mutlak. Pengembangan sistem pembelajaran berbasis elektronik pun harus mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki keahlian, ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang memungkinkan mereka siap terjun di dunia kerja. Terkait dengan bidang Kearsipan, kemampuaan yang wajib dimiliki oleh peserta didik yaitu merujuk pada kemampuan dalam mengelola dan melestarikan arsip dan diharapkan dapat memainkan peran yang siginifikan dalam melakukan pengelolaan informasi dan dokumen di tengah pertumbuhan informasi dan teknologi informasi yang sangat semakin pesat. read more

Memaknai Kearsipan dalam Konteks Keluarga

Oleh: Tsabit Alayk Ridholah

Ketika kita mendengar kata arsip, maka pikiran kita langsung terbesit pada tumpukan kertas didalam lemari tua yang jarang dilihat. Ketika kita mendengar kata arsip, maka secara otomatis kita akan mengarah pada kertas usang sebagai bukti administrasi. Padahal, arsip sebagai rekaman informasi tidak layak dan tidak seharusnya diperilakukan seperti itu. Pada zaman sekarang, dimana internet sudah tidak menjadi kepentingan tersier lagi, google dan sosial media adalah konsumsi sehari-hari masyarakat. Memang benar adanya bahwa terkadang kita melupakan arsip milik pribadi, baik itu lupa menyimpan atau bahkan hilang. Namun pada intinya, arsip sangat dibutuhkan. Bahkan jika di level negara, jika arsip vital yang hilang, maka urusannya adalah legalitas suatu daerah, hingga bisa saja diklaim milik negara lain seperti kasus Sipadan-Ligitan. Mantan Presiden Panama, Richardo J. Alfaro mengatakan bahwa “pemerintah tanpa arsip ibarat tentara tanpa senjata, dokter tanpa obat, petani tanpa benih, tukang tanpa alat. Arsip memberikan kesaksian terhadap keberhasilan, kegagalan, pertumbuhan dan kejayaan bangsa”. Inilah bukti dari pentingnya arsip menurut mantan Presiden yang “arsip” rahasia negaranya terbongkar. read more

Memanfaatkan Media Sosial Instagram untuk Memperkenalkan Kearsipan di Indonesia

Oleh: Tsabit Alayk Ridholah

Siapa yang tak kenal instagram? Sosial media yang satu ini memang sedang booming karena beberapa fitur terbarunya yang terus berkembang. Pengguna Instagram inipun tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Menurut hasil survei WeAreSocial.net dan Hootsuite, Instagram merupakan platform media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak ke tujuh di dunia. Selain sebagai jejaring sosial untuk berbagi foto, Instagram digunakan untuk memasarkan produk bisnis. Total pengguna Instagram di Indonesia sudah melebihi 57 Juta dan di dunia mencapai angka 800 juta pada Januari 2018 serta akan terus meronjak naik2. Penulis melihat aplikasi Instagram yang ada di PlayStore (pengguna android) sudah didownload oleh 1 Billion orang tau lebih dari 1 Milyar. Wow! Sebuah angka yang fantastis. read more

Mengulik Right to be Forgotten di Indonesia

Bagi kita sebagai warga negara, informasi digital sangatlah penting. Hal ini di antaranya untuk mencari sumber referensi, mencari data, dan lain sebagainya. Didalam informasi yang kita cari tersebut terkadang mengandung sesuatu kasus yang sudah lampau dan juga sudah selesai (habis masa perkaranya). Orang dalam kasus tersebut seharusnya bisa dihapuskan nama dan beritanya, karena kasus tersebut telah selesai (Right to be Forgotten). Right to be forgotten merupakan hak untuk dilupakan dari publik terkait kasus yang pernah dialami seseorang dimasa lampau. Jika kita lihat di negara lain, pada 2010, seorang warga negara Spanyol mengajukan gugatan terhadap media massa dan Google ke Pengadilan Spanyol. Ia menggugat karena merasa bahwa privasinya terganggu atas informasi kasus yang masih ditemukan di Google, padahal kasus itu sudah dinyatakan selesai (resolved) beberapa tahun yang lampau, sehingga informasi yang ada di Google tersebut sudah tidak relevan. Ia lantas mengajukan permohonan supaya pengadilan meminta media massa dan Google menghapus konten informasi yang telah merugikannya itu. Pengadilan Spanyol kemudian meminta pendapat dari Pengadilan Uni Eropa, apakah Peraturan tentang Perlindungan Data Uni Eropa 1995 berlaku untuk mesin pencari seperti Google; apakah aturan itu berlaku untuk Google Spanyol mengingat bahwa server Google berada di Amerika Serikat; dan apakah penggugat mempunyai hak untuk meminta agar data dirinya dihapuskan dari Google (right to be forgotten). Setelah berproses selama empat tahun, Pengadilan Uni Eropa dalam putusannya pada Mei 2014 menyatakan bahwa meskipun server Google ada di AS, ia terikat pada Peraturan tentang Perlindungan Data Pribadi, karena Google mempunyai cabang di Spanyol; Google harus mematuhi aturan tersebut; dan penggugat mempunyai hak untuk dilupakan (dalam kondisi tertentu) dengan meminta Google menghapus informasi tentang dirinya. Namun Pengadilan Uni Eropa menegaskan, ketentuan untuk menghapus informasi tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak relevan (irrelevant), tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive).
Google sebenarnya menyimpan kekhawatiran akan terjadi penyalahguanaan hak dan juga arsip elektronik. Terlebih jika aturan ini diberlakukan di negara-negara yang belum maju dan cenderung korup. Kekhawatiran itu diutarakan langsung oleh pendiri Google, Larry Page. Sebagai contoh, pianis Dejan Lazic pernah mencoba menggunakan Hak untuk dilupakan ini demi bisa menghapus ulasan negatif tentang penampilannya dari The Washington Post. Lazic mengklaim bahwa kritik itu memfitnah, kejam, ofensif, dan tidak relevan untuk seni. Google tentu menolak menghapus jenis tautan yang seperti itu. Sejak tuntutan Cosjeta dikabulkan, permintaan penghapusan tautan yang diterima Google meningkat. Berdasarkan data keterbukaan dari situs resmi Google, jumlah tautan yang sudah dievaluasi untuk dihapus tercatat sebanyak 1,63 juta. Ia berasal dari 523.394 permintaan. Tautan dari Facebook menjadi yang terbanyak diminta untuk dihapus, yakni mencapai 13.852 tautan.
Bagaimana jika di Indonesia? Google Search Engine atau mesin pencari Google saat ini berfungsi sebagai mesin pencari semua jenis informasi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hasil perubahan telah resmi berlaku kemarin (28 November 2016). Di dalam perubahannya, salah satunya diatur tentang “right to be forgotten” di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk dihapuskan informasi tentang dirinya di media internet. Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Teguh Arifiyadi menjelaskan bahwa penerapan right to be forgotten di Indonesia akan berbeda dengan negara lain. Penghapusan konten di Uni Eropa atau Rusia atau negara lainnya yang menerapkan hanya dilakukan sebatas dalam mesin pencari (search engine), di Indonesia nantinya tidak akan seperti itu. implementasi right to be forgotten di Indonesia nantinya tidak hanya pada mesin pencari (search engine). Penghapusan konten yang dianggap tidak relevan berdasarkan penetapan pengadilan langsung dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik yang memegang kendali langsung atas suatu konten tertentu. Hal tersebut tegas disebut dalam Pasal 26 ayat (3) revisi UU ITE: “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”. Frasa „berada di bawah kendalinya‟ menjadi penegasan dimana implementasi di Indonesia tidak hanya pada mesin pencari. Selain itu, perbedaan penerapan right to be forgotten yang lain adalah soal luasnya cakupan informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan penghapusan oleh seseorang. Dalam revisi UU ITE, konten yang dapat dimohonkan penghapusan tak hanya mengenai konten yang berkaitan dengan data pribadi, namun lebih luas dari hal itu. Apapun informasi atau dokumen elektronik sepanjang dinilai tidak relevan, maka yang bersangkutan dapat meminta penghapusan dengan menunggu penetapan pengadilan. Selain itu, hak untuk dilupakan ini masih banyak menjadi perbincangan di Indonesia karena dianggap “berbenturan” dengan hak atas informasi. Yang harus dipelajari dari Hak Asasi Manusia (HAM) ini adalah hak-hak yang dibatasi oleh “asasi” manusia. Jadi tidak semua keinginan dari masyarakat harus terpenuhi. Tetapi yang jelas ada batasan atau koridor-koridor yang harus kita patuhi terlebih dahulu sebelum kita mendapatkan hak yang kita inginkan. Begitu pula dengan right to be forgottem ini, harus ada prosedur serta tata cara tertentu agar keinginan untuk dilupakannya dapat dikabulkan. Satu hal yang terpenting, Indonesia sebagai negara hukum sudah berusaha untuk membuat ataupun menciptakan suatu aturan main agar masyarakatnya merasa aman dan terlindungi. Hanya saja hukum ini belum begitu sempurna karena ada beberapa poin pembahasan yang harus ditelaah lebih dalam lagi baik dari segi hukum, teknologi informasi, maupun kearsipan. Hak untuk dilupakan ini adalah sebuah konsep yang sudah didiskusikan dan dipraktikkan di Eropa dan Argentina sejak 2006. Ia memberikan hak kepada setiap individu untuk meminta mesin pencari menghapus tautan berkaitan dengan data pribadi mereka. Menurut banyak kabar, penerapan hak untuk dilupakan di Indonesia ini hanya sebatas pencarian akses yang akan dipersulit diwilayah domain atau negara yang bersangkutan. Tetapi masih bisa diakses oleh negara diluar domain dan kontennya masih tersedia. kewenangan pemutusan akses oleh Kominfo secara teknis hanya Geo Blocking, artinya suatu konten hanya terblokir sebatas wilayah Indonesia. Apabila diakses dari luar Indonesia, maka konten tersebut masih tetap bisa diakses. Boleh jadi, secara efektivitas tidak terlalu berdampak namun setidaknya bisa meredam upaya akses dari siapapun agar hak pribadi masih tetap terlindungi. read more