Pos oleh :

tim editor

Gedung Pantjadharma dalam Bingkai Warisan Budaya dan Pendidikan

Oleh: Faizatush Sholikhah


Maka demikian pula Saudara-saudara, kita pada saat sekarang ini, berada di dalam gedung yang oleh Menteri Muda Pekerjaan Umum dan Tenaga dinamakan Wisma Puruhita, Wisma Murid yang oleh Presiden Universitas Gadjah Mada dinamakan Wisma Pantjadharma, Gedung Lima Dharma, kewajiban dalam arti yang biasa dipakai di Indonesia. Kecuali saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat dan sebenarnya milik rakyat dan untuk rakyat”. (Presiden Soekarno, 1959)

Gambar 1. Gedung Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (Khazanah Arsip UGM)

Pada awal kemerdekaan, beberapa gedung diresmikan di Universitas Gadjah Mada. Pembangunan Gedung-gedung di lingkungan Universitas Gadjah Mada dilakukan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan administratif dan terlaksananya proses pembelajaran. Pada saat Gedung Pusat UGM diresmikan pada tanggal 19 Desember 1959 oleh Ir Sukarno, pada tanggal yang sama diresmikan pula gedung Panca Dharma. Hal ini dibuktikan dengan plakat artefak di dalam salah satu gedung Panca Dharma (Unit V) yang bertuliskan Gedung Pantja Dharma UGM diresmikan oleh Ir Sukarno (Ida Tungga, 2011). Dalam Laporan Rektor tahun 1959 disebutkan “Gedung-gedung yang sudah didirikan ialah: 1. Gedung Pusat Tatausaha dengan lantai sebesar 18450 m2; 2. Gedung Pantjadharma dengan lantainya sebesar 27.000 m2; ….” (Laporan Rektor Tahun 1959).

Gedung Panca Dharma (Pantja Dharma) memiliki peranan penting dalam perkembangan dan perubahan yang terjadi di Universitas Gadjah Mada. Gedung-gedung di UGM pernah dibahas dalam sejumlah tulisan dari beberapa peneliti. Djoko Suryo, Bambang Purwanto, dan Soegijanto Padmo pernah menyinggung tentang gedung UGM dalam buku Dari Revolusi ke Reformasi: 50 tahun Universitas Gadjah Mada (Djoko Suryo dkk, 1999). Namun belum ada pembahasan secara khusus tentang Gedung Pantja Dharma. Pada 17 Pebruari 1946, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada didirikan. Beberapa gedung kemudian dibangun dan digunakan sebagai ruang kuliah meskipun terpisah-pisah lokasinya. Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Perguruan Tinggi Kedokteran, Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan, Sekolah Tinggi Farmasi, dan Perguruan Tinggi Pertanian berada di Klaten dari tahun 1946. Bahkan ada beberapa Fakultas yang gedungnya berada di Jetis maupun Sala (Effendhie, 2011), termasuk kampus di Jl. Kaliurang yang sekarang dipakai sebagai kantor BNI 46, dan kampus Pagilaran yang digunakan untuk Fakulteit Sastera Pedagogik dan Filsafat. Gedung Panca Dharma pada awal pendiriannya disebut sebagai gedung Schiec-terrein atau Lapangan Tembak Sekip. Berbagai perubahan fungsi dari gedung Panca Dharma dari saat didirikan hingga sekarang menjadi permasalahan penting dan menarik untuk didiskusikan. Gedung Pantja Dharma dapat berdiri tidak terlepas dari peranan Panitia Gedung-Gedung UGM yang pertama kali dipimpin oleh Prof. Ir. Wreksodhiningrat.

Pantja Dharma Sebagai Gedung Konferensi Colombo Plan

Gedung Panca Dharma, atas izin dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dulu pernah dipakai untuk perencanaan Colombo Plan (Pra Colombo Plan), konferensi untuk merealisasikan kegiatan Colombo Plan. Setelah konferensi selesai, gedung itu kembali diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang kemudian dimanfaatkan oleh UGM. Tidak banyak pembahasan tentang kondisi Gedung Panca Dharma saat dilaksanakan konferensi ini yang tentunya pada saat itu, termasuk mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar gedung Panca Dharma.

Panca Dharma sebagai Asrama Mahasiswa

Gedung-gedung (Pantja Dharma) yang ada di Sekip itu sebenarnya tidak dirancang untuk ruang kuliah ataupun perpustakaan. Unit I, II, III dan IV dibangun untuk asrama mahasiswa, sedangkan Unit V digunakan untuk kantor asrama, ruang pertemuan atau rapat dan ruang makan. Dalam Gedung Unit V terdapat ruangan yang luas sekali, yang direncanakan untuk tempat pertemuan. Rencana pendirian asrama mahasiswa disinggung oleh Presiden Universitas Prof. Dr. M. Sardjito dalam Laporan Tahunan Universitit Gadjah Mada bagi Tahun Pengadjaran 1951/1952, bahwa UGM mengalami kesulitan dalam menyediakan fasilitas perumahan bagi mahasiswa, yang saat itu jumlahnya mencapai 3.439 orang. Untuk itu, pada tanggal 13 April 1952 dibentuk Yayasan Guna Dharma. Dimotori oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yayasan ini membantu UGM dalam membangun asrama mahasiswa. Dana  yang dipersiapkan senilai Rp. 10.000.000 pun segera dikucurkan atas bantuan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga dan Kementrian Keuangan. Proses pembangunannya selanjutnya dibahas oleh Presiden Universitas Prof. Dr. M. Sardjito dalam Laporan Tahunan Universitit Gadjah Mada bagi Tahun Pengadjaran 1952/1953. Dijelaskan bahwa kerja sama yang terjalin antara UGM, Jawatan Gedung-Gedung dengan Yayasan Guna Dharma, bukan hanya membangun asrama mahasiswa untuk sekitar 1.000 orang, melainkan juga gedung tata usaha bertingkat dua, asrama mahasiswa di Baciro, asrama putri, rumah-rumah guru dan gedung-gedung darurat.

Mantan Kepala Biro Bangunan UGM, Ir. Sugeng Joyowirono, juga mengingat dengan baik bahwa Gedung Sekip Unit V belum pernah dipakai untuk kantor asrama mahasiswa. Tetapi gedung itu juga tidak didesain untuk perpustakaan. Karena itu, ruangannya lalu disekat sekat, disesuaikan dengan kebutuhan. Bentuk tersebut masih tetap sama hingga sekarang. Didesak oleh kebutuhan akan ruang kuliah dan perpustakaan menyebabkan sejumlah gedung di UGM, termasuk Gedung Sekip Unit V berubah fungsi dari rencana awal peruntukannya. Hal ini Ini seperti dikatakan Presiden Universitas Prof. Dr. M. Sardjito dalam Laporan Tahunan UGM Bagi Tahun Pengajaran 1957/1958, ketika menjelaskan rencana pemindahan Perpustakaan Pusat UGM ke gedung baru di Sekip, yang memiliki dua lantai, dengan salah satu lantainya berukuran 17 x 50 meter.

Panca Dharma Sebagai Perpustakaan

Gambar 2. Gedung Perpustakaan Unit II UGM, Unit Sarjana (Khazanah Arsip UGM)

Gedung Unit I pada awalnya digunakan untuk mahasiswa tingkat sarjana muda, sedangkan gedung Unit II digunakan bagi mahasiswa tingkat sarjana. Namun setelah dihapuskannya tingkat sarjana muda di perguruan tinggi, peraturan tersebut tidak berlaku lagi. Berdasarkan Surat Keputusan Rektor UGM Nomor 200/P/SK/HT/2008 Tanggal 9 Mei 2008, Perpustakaan Pascasarjana UGM yang semula menempati gedung seluas 1782 m2 di sebelah timur Perpustakaan UGM Unit I Bulaksumur, disatukan pengelolaannya di bawah Perpustakaan Universitas. Kemudian gedung ini dijadikan Perpustakaan Unit III Bulaksumur atau dikenal dengan Academic Resource Center (ARC).

Disebutkan bahwa sejak tahun 1959, gedung tersebut menjadi gedung Perpustakaan Pusat UGM, menggantikan gedung perpustakaan lama yang terletak di Jl. Setjodiningratan (Hotel Limaran). Tanggal 31 Juli 1975, ketika Perpustakaan UGM mendapat satu tambahan gedung yang terletak di selatan Gedung Pusat, maka predikatnya tak lagi sebagai Perpustakaan Pusat. Demikian pula layanan yang disediakan tinggal layanan peminjaman buku teks. Koleksi referensi dan kantor pengelola dialihkan ke gedung baru, yang kemudian disebut sebagai Perpustakaan Pusat UGM.

Pemanfaatan Gedung Panca Dharma untuk Pembelajaran di SV UGM

Sekolah Vokasi UGM dibentuk dengan Peraturan Rektor UGM No. 51 8/P/SK/HT /2008 tertanggal 6 Oktober 2008. Tindak lanjut dari peraturan tersebut adalah terbitnya SK Rektor No 365/P/SK/HT / 2009 tentang pengangkatan Caretaker Sekolah Vokasi pada tanggal 1 September 2009 dan pada tanggal 16 September 2009 terbitlah SK Rektor UGM No. 397/P/SK/HT /2009 tentang pembidangan tugas Caretaker Ketua dan Caretaker Wakil Ketua Sekolah Vokasi dan terakhir keluarlah SK Rektor UGM No. 32/P/ SK/HT/2011 tertanggal 10 Februari 2011 tentang perubahan nama Caretaker Ketua dan Wakil menjadi Plt. Direktur dan Wakil Direktur atas nama Prof. Dr. Ir. Fatchan Nurrochmad M.Agr. sebagai Plt. Direktur dan Dr. Agr. Ir. Sri Peni Wastutiningsih sebagai Plt.Wakil Direktur.

Sekolah Vokasi pada awal tahun 2009 mempunyai 22 program studi (prodi) Diploma III dan menjadi 23 prodi (mulai tahun ajaran 2011 ) dengan dibukanya kembali Program Studi Diploma IV Bidan Pendidik. Pada tahun 2012 dibuka program studi baru yaitu Program Studi Diploma III Metrologi dan lnstrumentasi. Kemudian pada tahun 2013 dibuka 3 program studi DIV baru. Dengan demikian hingga tahun 2013 terdapat dua puluh tujuh prodi di Sekolah Vokasi. Berbagai perubahan telah berlangsung hingga tahun 2020 jumlah program Studi yang memanfaatkan bangunan Panca Dharma bertambah dengan dibukanya Program Diploma IV di Sekolah Vokasi UGM.

Referensi:

Djoko Suryo, Bambang Purwanto dan Soegijanto Padmo, Dari Revolusi ke Reformasi: 50 tahun Universitas Gadjah Mada, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada, 1999).

Machmoed Effendhie, “Yang tercecer dari Sejarah UGM: Sejarah Singkat Fakultas Ilmu Pendidikan (Pedagogik) Universitas Gadjah Mada, 1955-1964”, Khazanah Buletin Kearsipan vol 4 No 2 Juli 2011, hlm. 29-39

Ida Tungga, “Misteri Gedung Pantja Dharma”, Kabar UGM online edisi 84/v/21 Juli 2009, diakses tanggal 12 November 2011.

Laporan Rektor UGM koleksi Arsip UGM


Faizatush Sholikhah merupakan pengajar dan Ketua Program Studi Sarjana Terapan Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.

Personal Sound Recording: Pengolahan Voice Over Digital Platform

Oleh : Ikhtiar Anugrah Hidayat dan Haikal Al-Kahfi


Perkembangan teknologi informasi menyebabkan arsip mengalami perkembangan dalam media simpan. Media arsip tidak hanya kertas, karena selain bukti tertulis arsip juga dapat berasal dari foto, rekaman suara maupun gambar bergerak. Dimana ketiga jenis arsip tersebut merupakan arsip dalam media baru. Salah satu arsip audiovisual ialah sebuah rekaman lagu yang direkam dan diolah oleh pemain musik atau sound engineer secara perseorangan. Seluruh proses rekaman akan dikonsep dengan tujuan untuk memberikan penjelasan terkait langkah apa saja yang dilalui. Langkah tersebut mulai dari konsep lagu, penggunaan alat musik, efek, dan sebagainya.

Menurut Helen P Harrison (Helen P. Harrison,1997: 3) dalam buku Audiovisual Archive: A Practical Reader, arsip audiovisual dibedakan menjadi 3 jenis utama yang mengkhususkan dalam media tunggal: gambar bergerak, foto, dan rekaman suara. Arsip audiovisual merupakan arsip dalam media baru yang berbeda dengan arsip konvensional yang mengunakan kertas. Media simpan arsip audiovisual antara lain yaitu, CD/DVD, flashdisk, maupun harddisk. Arsip audiovisual juga dapat dalam keadaan tunggal atau satu item, seperti satu lembar foto, satu buah film atau video, satu buah kaset rekaman suara, satu lembar peta atau satu lembar gambar konstruksi gedung (Imam Gunarto dan Dwi Mudalsih, 2011: 1-4).

Proses rekaman lagu dari personal recording atau tracking sebagai tahapan dalam penghasilan audio diambil melalui mikropon atau pick up. Dimana sinyal yang telah direkam yang akan dijadikan lagu perlu proses mixing. Hasil dari proses ini diedit dan masuk dalam pre-mastering untuk menuju ke mastering sebagai proses secara keseluruhan mulai dari peletakan track, penentuan marker hingga penataan fade in and out musik. Berkaitan dengan proses tersebut, belum banyak perseorangan yang memperhatikan terkait manajemen pengarsipan bagi rekaman audio khususnya pengarsipan bagi songwriter atau singer itu sendiri. Padahal proses penciptaan suatu lagu memiliki nilai tersendiri, terlebih arsip rekaman suara merupakan arsip yang rentan mengalami kerusakan. Maka dari itu perlu adanya pengolahan yang baik. Pengolahan arsip dilakukan agar mudah melakukan penemuan kembali arsip, mudah melakukan penyusutan arsip, dan terhindar dari kerugian yang diakibatkan oleh kehilangan atau kerusakan arsip (Hardi Suhardi dan Yayan Daryan: 1998, 134). Upaya menyelamatkan arsip rekaman suara dari fisiknya maupun informasinya memerlukan pengolahan yang sesuai dengan ilmu kearsipan.

Definisi dari arsip sound recording yaitu arsip yang informasinya terekam dalam sinyal suara dengan menggunakan sistem suara tertentu. Arsip rekaman suara ialah arsip yang informasinya berupa suara terekam pada media dengan bahan dasar selulosa, berupa pita menggunakan rancangan dengan peralatan khusus (Sumrahayadi: 2014, 13-18). Pengelolaan arsip mulai dari digitalisasi hingga penataan terdiri dari beberapa tahap. Pengelolaan arsip rekaman suara yang baik atau sesuai dengan standar yang berlaku dapat diketahui dengan mengelola secara langsung. Dalam studi ini melihat alasan penting dan bagaimana proses mulai dari penciptaan hingga pengelolaan voice over khususnya dalam menyebarluaskan lagu yang dilakukan melalui digital platform. Voice over ini menjadi visualisasi bagaimana seseorang menciptakan lagu, melakuan perekaman secara digital sederhana hingga unggah lagu secara perseorangan. Objek dalam penelitian ini diambil melalui pengalaman empiris salah satu penulis yang telah melakukan proses tersebut dengan mengunggah ke soundcloud. Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana proses voice over dan pengarsipan secara sederhana yang dapat dilakukan oleh siapapun.

Proses Personal Sound Recording

Proses penulisan lagu yang didasari teknik tertentu dapat dikatakan tidak menjadi faktor penentu bagaimana cara seorang songwriter menulis lagu dengan baik, karena pada dasarnya musik adalah seni yang tidak mengenal frasa benar dan salah. Semua orang punya persepsi masing-masing mengenai musik. Maka dari itu sudah wajar ketika “setiap orang memiliki taste atau seleranya masing-masing” terutama apabila merujuk terhadap musik. Ada yang berpendapat lagu yang enak didengar adalah lagu dengan instrumen sederhana saja seperti halnya dengan hanya menghadirkan melodi gitar. Kemudian, ada juga yang mengatakan hal serupa serta hal lain yang berbeda. Begitulah  bagaimana manusia seharusnya mampu menanggapi sebuah musik, yakni sekadar berpendapat bukan menilai benar atau salah.

Beropini terhadap musik membangun hubungan yang sangat kuat dengan menulis lagu. Ada yang nyaman menulis lirik telebih dahulu dan ada juga yang nyaman menciptkan melodi pada langkah awal. Secara personal, dari total tujuh lagu semuanya ditulis dengan menulis melodi terlebih dahulu. Namun sebelum, memulai itu semua seorang songwriter menuliskan apa yang ada di pikirannya pada buku catatanya. Apapun itu ditulis dengan catatan ada hubungannya dengan lagu yang akan diciptakan. Setelah itu hal yang bisa dikatakan sebagai sebuah seni akan dirangkum oleh penulis pada sebuah lagu. Hal ini menjelaskan bagaimaan sebuah lirik yang ditulis bisa memeluk erat melodi juga yang diciptakan. Sekali lagi musik ialah hanya sebuah persepsi saja yang sejatinya dapat dilihat dari kacamata yang berbeda-beda. Dikarenakan sebenarnya, proses ini bukanlah proses yang stagnan digunakan oleh semua penulis lagu yang ada di seluruh dunia terutama di Indonesia. Berikut adalah ilustrasi yang pernah ditulis pada beberapa paragraf yang menjadi sebuah lagu sampai pada lembar akhir. Berikut salah satu contoh penciptaan lagu berjudul “Love Hacks”:

Voice Over Melalui Digital Platform (Soundcloud)

Menurut Purnama (dalam Andi Muhammad Fauzi et al, 2017: 335-361) Industri musik, digitalisasi, dan kemajuan internet memaksa individu untuk melakukan penyesuaian dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi suatu musik. Digital platform seperti soundcloud menjadi salah satu kanal dalam proses publikasi arsip audiovisual. Perkembangan teknologi ini terlebih digitalisasi membawa perubahan dalam model rilis musik dari yang tadinya berupa perangkat keras menjadi file di internet. Streaming musik, mengunduh, berbagi file dan aplikasi media sosial telah menjadi cara untuk menikmati musik (Steffan Wynn Thomas, 2014: 31). Hal ini pula yang akhirnya menjadi pilihan bagi beberapa pemusik tidak terkecuali bagai salah satu penulis untuk melakukan distribusi atau penyebarluasan musik secara independen, mengingat keterjangkauan yang luas dan kemudahan akses bagi pengguna.

Distribusi karya tidak hanya dipahami sebagai usaha dalam memperdengarkan suatu lagu. Proses ini juga tidak hanya sebagai wadah promosi saja. Selain tu penyebarluasan karya ini juga tidak hanya diunggah ke soundcloud saja namun juga dapat dibagikan ke beberapa platform seperti instagram dan spotify. Di era digital ketika karya musik berupa semua media online, distribusi musik dilakukan melalui saluran yang ada tanpa memandang bentuk fisik. Soundcloud dapat diintegrasikan ke media sosial lain, sehingga lebih terjamin integrasinya dan dapat dimanfaatkan bagi semua pengguna media sosial.

Penggunaan platform soundcloud memiliki orientasi psikologis dan sosial pada pengguna yang akhirnya mendorong untuk menggunakan media tersebut. Dorongan ini pula yang memberikan motif bagi salah satu penulis dalam memanfaatkan platform tersebut. Orientasi lain seperti jenis musik yang dibawa dengan karakter easy listening menjadi trend dan pilihan tersendiri. Selain itu secara psikologis penulis membebaskan proses unduh dengan tujuan untuk memberikan kemudahan akses secara offline. Hal ini sejalan dengan free culture yang menekankan pada pembebasan kreativitas dalam melakukan penyebarluasan (Lessig, 2004: 47). Dengan demikian pemanfaatan digital platform melalui soundcloud ini menjadi tujuan sosial yang dipilih oleh penulis.

Sebagai bagian dari perkembangan teknologi kemudahan yang ditawarkan soundcloud menyesuaikan dengan karakter pengguna media sosial sekarang. Dimana pengguna lebih memilih media yang mudah dan tidak memerlukan keterampilan khusus. Penulis memandang bahwa kemudahaan unduh pada fitur yang ditawarkan sebagai bentuk apresiasi pada penciptaan musik yang dibuat. Keberadaan musik yang ditulis oleh salah satu penulis tidak lepas dari konsep voice over khususnya dalam distribusi yang merujuk pada “do it yourself”. Dengan demikian distribusi atau pengarsipan yang dapat diakses semua pengguna dapat dijadikan sebagai wadah apresiasi dalam proses ini.

Pengolahan Arsip Audiovisual

Pengolahan merupakan kegiatan yang dilakukan guna mempermudah penataan arsip sebelum dilakukan proses penyebarluasan bagi pengolah atau pencipta musik itu sendiri. Pengolahan berupa kegiatan secara intelektual dengan menghasilkan sarana penemuan kembali berupa daftar arsip dan inventaris. Pengolahan pada arsip audiovisual menurut Sumrahyadi (2014) terdiri dari

Pengolah dilakukan dengan langkah berikut:

  1. Pembuatan indeks dengan cara meringkas isi dari rekaman yang akan memudahkan bagi pengguna tentang isi secara keseluruhan;
  2. Pembuatan label pada setiap rekaman, harapannya agar dapat digunakan sebagai nomor identitas dan tidak tertukar;
  3. Mengadakan identifikasi terhadap bentuk fisik, label, mutu hingga kondisi;
  4. Pembuatan daftar yang disusun menurut waktu penerimaan atau penciptaan;
  5. Pembuatan transkripsi merupakan pembuatan daftar dari seluruh isi kalimat tanpa mengubah isi;
  6. Pembuatan sarana temu kembali atau daftar arsip.

Arsip personal sound recording dalam tulisan ini diolah secara digital dengan demikian arsip bentuk khusus ini semua informasinya terekam dalam bentuk sinyal suara menggunakan rancangan dengan peralatan khusus. Proses pembuatan personal sound recording tersebut perlu memperhatikan:

Mempersiapkan Alat dan Bahan

  1. Informasi identifikasi, merupakan informasi yang berisi konteks arsip itu sendiri untuk mempermudah dalam proses penataan arsip personal sound recording;
  2. Index merupakan informasi yang berisi isi dari personal sound recording dan identitas yang terdapat didalam rekaman;
  3. Skema klasifikasi arsip merupakan kumpulan daftar kode klasifikasi informasi mengenai arsip personal sound recording;
  4. Guide yang berfungsi sebagai pembatas maupun petunjuk deretan rekaman;
  5. Label merupakan tanda yang dibuat dari hasil rekaman yang terdiri dari kode arsip personal sound recording yang telah ditentukan sebelumnya;

Identifikasi Arsip

Identifikasi adalah proses pendataan arsip, meliputi dua bagian, yaitu: Pendataan Informasi Arsip (Intellectual Handling) Pendataan Fisik Arsip (Technical Handling). Pendataan informasi arsip diketahui dengan cara mendengarkan isi rekaman dari arsip personal sound recording tersebut. Sedangkan Pendataan Fisik Arsip (Technical Handling). Pendataan fisik arsip ini diketahui dengan cara melihat fisik arsip. Berikut ini merupakan contoh kartu identifikasi yang nantinya dibuat melalui gambar pada satu folder, mengingat semua arsip yang dihasilkan berupa digital:

Media : Digital Platform
Main :
Sub main :
No Definitif :
Intellectual Handling
Subjek/Topik : iiiiii
Produser/sumber : Haikal Al-Kahfi (Messytrvck)
Narator : Haikal Al-Kahfi
Recording : Haikal Al-Kahfi, Wim Naga, Icha
Tempat : ARF Studio
Tanggal : 4 Desember 2019
Pembatasan Akses : Terbuka
Copyright : Messytrvck
Technical Handling
Kondisi : Bagus
Ukuran : 300 mb
Volume : 1
Vendor : –
Suara/Tanpa suara : Terdapat Suara
  • Pembuatan Indeks Personal Sound Recording Content

Indeks personal sound recording content adalah sebuah informasi yang mencakup apa saja isi yang ada dalam arsip personal sound recording. Indeks personal sound recording content sangat membantu dalam penemuan kembali sound recording, karena indeks ini akan dijadikan cover dari sound recording dalam satu file yang nantinya dibuat dalam format gambar. Cara membuat indeks personal sound recording content yaitu dengan cara mendengarkan arsip personal sound recording terlebih dahulu, kemudian mengisi data persatu keterangan yang ada didalam indeks personal sound recording content. Berikut salah satu contoh dari indeks personal sound recording content dari salah satu karya yang dibuat:

INDEKS PERSONAL SOUND RECORDING CONTENT 

  1. Produser      : Haikal Al-Kahfi (Messytrvck)
  2. Recorder      : Haikal Al-Kahfi (Messytrvck), Wim Naga, Icha
  3. Judul/tema : iiiiii
  4. Tempat         : ARF Studio, Yogyakarta
  5. Tanggal        : 4 Desember 2019
  6. Durasi          : 30  Menit
  7. Copyright    : Messytrvck
  8. Volume        : 4 Menit 9 Detik
  9. Transkripsi : *disajikan pada tabel dibawah

 

Menit Topik
00:00-00:17 Seseorang yang menungkapkan rasa rindu kepada orang lain karena terpisah oleh jarak dan waktu. Orang tersebut bisa berupa pasangan, orang tua, dan teman dekat
00:18-00:50 Penulis mengingat kembali saat awal membangun hubungan yang baik dengan orang-ornag yang dianggap sebagai keluarga dan teman dekat. Kemudian pada bagian “I’ll be there” yang menggambarkan penulis berjanji akan menemui mereka kapan pun
00:51-01:10 Bagian bridge yang mengangkat janji penulis kepada siapapun orang yang disayanginya soal pertemuan yang diharapkan
01:11-01:44 Pada bagian ini merupakan chorus/reff yang mengungkapkan kerinduan penulis terhadap orang-orang yang disayanginya. Jika dilihat berdasarkan perspektif makna kata per kata, sebenarnya reff ini sama dengan bagian intro
01.45-02.01 Interlude pada lagu ini yang mendeskripsikan suasana hati penulis melalui melodi gabungan minor dan mayor, meskipun tidak berupa lirik yang dinyanyikan
02.01-02.37 Ungkapan rasa yang disampaikan melalui rap mungkin tidak mengesankan perasaan rindu tetapi di setiap bait lirik ada gambaran keinginanan untuk mengindahkan pertemuan yang terpisah sejak lama, walaupun ada beberapa bait yang menjelaskan bagaimana penulis ingin meraih visi tertingginya menjadi artis yang mampu memberi pengaruh yang positif kepada siapapun yang mendengarkan lagunya
02.37-04.09 Bagian ini akan kembali pada bridge dan chorus serta outro yang memiliki lirik bait sama dengan chorus secara makna kata per kata

 

  • Pembuatan Skema Klasifikasi

Skema klasifikasi ini disusun berdasarkan masalah dari suatu arsip personal sound recording yang mencerminkan kegiatan dari suatu instansi atau organisasi terlebih bagi perseorangan tertentu. Setiap perseorangan atau organisasi akan memiliki skema klasifikasi berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena setiap orang atau organisasi memiliki struktur dan fungsi berbeda-beda yang sesuai dengan kebutuhan.  Berikut adalah contoh skema klasifikasi arsip personal sound recoding dari beberapa karya yang dimiliki:

Media Klasifikasi Kode
SR Sound Recording
Leaving This City MD/SR.LTC/1
No Lie MD/SR.NL/1
Love On Us MD/SR.LOU/1
Teenage Dream (Annabelle) MD/SR.TD/1
Love Hacks MD/SR.LH/1
iiiiii MD/SR.I6/1
  • Covering dan Labeling

Covering adalah proses pembuatan indeks pada arsip personal sound recording. Pada arsip sound recording proses covering menggunakan indeks personal sound recording content yang kemudian dipasang pada cover rekaman dalam format gambar dan disimpan dalam satu folder. Guna covering ini adalah mempermudah dalam peninjauan kembali isi informasi yang di cari atau yang dibutuhkan pengguna. Sedangkan labeling adalah proses pemberian atau penulisan identitas pada setiap arsip personal sound recording yang kemudian tertuliskan di dalam guide dalam format gambar. Label ini berisikan nomor arsip yang sesuai dengan nomor definitif.

  • Manuver Arsip Personal Sound Recording

Langkah selanjutnya yaitu manuver arsip sound recording atau pengelompokan berkas. Perlu diperhatikan dari langkah ini adalah kode klasifikasi dari arsip personal sound recording. Setelah melihat kode klasifikasi maka langsung diurutkan pada urutan yang sesuai dengan skema klasifikasi personal sound recording. Klasifikasi atau pengelompokan ini diatur berdasarkan masalah atau topik dari arsip personal sound recording. Kemudian setelah terkelompokkan maka kartu identifikasi diurutkan juga berdasarkan skema yang disimpan dalam format gambar.

  • Pembuatan Guide

Guide sering digunakan didalam pengolahan arsip tekstual maupun audio visual. Apabila dalam pengolah audio visual yang semua filenya berupa digital, guide ini berguna sebagai penanda antara rekaman satu dengan yang lain melalui folder (digital). Kemudian pada guide diberi identitas sesuai dengan kode klasifikasi.

  • Daftar Arsip Personal Sound Recording

Langkah yang terakhir yaitu dengan membuat daftar arsip dari personal sound recording yang disimpan. Pembuatan daftar arsip ini bertujuan supaya mempermudah dalam proses penemuan kembali arsip, selain itu arsip juga lebih jelas mana saja yang disimpan atau diolah, berikut format daftar arsip personal sound recording:

 

Narator Recording Copyright Tanggal Durasi Tempat Transkripsi Lokasi Simpan

Adapun penjelasan dari keterangan-keterangan daftar arsip personal sound recording diatas sebagai contoh berikut:

Kode SR
Judul Berisi tentang topik pembahasan sound recording
Narator Haikal Al-Kahfi
Recoding Haikal Al-Kahfi/Kahfi/Messytrvck
Copyright Messytrvck
Tanggal 4 Desember 2019
Durasi 2 Jam (160 Menit)
Tempat ARF Stuido, Yogyakarta
Transkrip Lagu yang mengangkat soal hubungan antar manusia, yakni tentang bagaimana mereka memiliki rasa rindu dan mengobati rasa rindu tersebut dengan mengindahkan sebuah pertemuan, serta menungkapkan bagaimana pentingnya sebuah pertemuan atas momen yang terjadi
Loksim Laptop atau personal computer produser dan sound engineer

Arsip audiovisual sebagai bentuk arsip media baru. Sebagai salah satu contoh dari arsip bentuk ini ialah personal sound recording yang dimiliki oleh pencipta lagu mulai dari penciptaan lagu hingga distribusi dalam bentuk digital dan online platform. Melihat dari keunikan pada arsip ini terdapat pada proses awal hingga voice over belum banyak diperhatikan. Perkembangan teknologi yang telah pesat mendorong pula untuk penikmat musik beralih pada digital distribusi, salah satunya melalui media sosial dengan platform soundcloud. Platform tersebut dimanfaatkan dalam proses distribusi musik dengan menawarkan keterbukaan akses. Motif yang dimiliki oleh salah satu penulis sebagai pencipta lagu sekaligus orang yang memiliki pengalaman dalam proses rekaman lagu secara independen ini berupa promosi. Selain itu distribusi ini dilakukan guna membagikan karya musik yang dimiliki dengan faktor sosial dan psikologis. Beragam upaya yang dilakukan tidak hanya mengunggah saja namun juga dalam segi integrasi media yang dimiliki. Berdasarkan kajian empiris yang telah dilakukan penulis, proses pengolahan arsip mulai dari awal penciptaan lagu hingga proses penyebarluasan musik menjadi penting. Mengingat setiap individu atau organisasi memiliki kesempatan untuk berkarya dan sudah semestinya memiliki pengelolaan arsip dalam bentuk audiovisual yang sesuai meski dengan cara yang sederhana. Dengan demikian tujuan dari pengarsipan ini tidak hanya sebatas mempertahankan secara konteks saja namun juga konten atau isi dari informasi arsip yang tercipta itu sendiri.

Referensi:

Fauzi, Andi Muhammad, Sudirman Karnay, Andi Subhan Amir. 2017. Soundcloud Sebagai Media Alternatif Distribusi Karya Musik Indie Kota Makassar. Jurnal Komunikasi KAREBA. Makassar: Universitas Hasanudin

Darya, Yayan dan Hardi Suhardi. 1998.Terminologi Kearsipan Indonesia. Jakarta: PT. Sigma Cipta Utama.

Harrison, Helen P. 1997.Audiovisual Archives: A Practical Reader. Paris: UNESCO.

Lessig, Lawrence. 2004. Budaya Bebas: Bagaimana Media Besar Memakai Teknologi dan Hukum untuk Membatasi Budaya dan Mengontrol Kreativitas. Terjemahan oleh Brigitta Isabella, Kartika Wijayati dan Lusiana Sari. Yogyakarta: Kunci.

Mudalsih, Dwi dan Imam Gunarto. 2011. Manajemen Record Audio Visual. Jakarta: Universitas Terbuka.

Sumrahyadi. 2014. Manual Kearsipan, In Manual Kearsipan Umum. Jakarta: Universitas Terbuka.

Youtube dan Praktik Pengarsipan Audiovisual

oleh: Nabiilah Khusnul A.


Dalam kondisi wabah pandemi covid-19 saat ini, seberapa sering netizen melihat kabar tentang artis yang akan melaksanakan konsernya secara virtual? Media apa saja yang mereka gunakan? Dalam masa pandemi, semua kalangan dituntut untuk lebih kreatif dan responsif dalam melaksanakan kegiatan mereka sehari-hari. Mengubah proses kreatif dari tatap muka menjadi daring pun menjadi solusi praktis. Salah satunya contohnya yaitu pelaksanaan konser secara virtual oleh sederetan artis. Media yang digunakan pun beragam, salah satunya melalui situs web berbagi video, Youtube. Situs ini menyediakan bermacam video yang dapat diunggah oleh siapapun. Tak heran jika pengunjung situs ini terus meningkat, bahkan di tahun 2020. Jumlah pengguna Youtube dapat dilihat dalam grafik yang dikutip dari wearesocial.com sebagai berikut.

Gambar 1. Grafik Sosial Media yang Paling Sering Digunakan di Dunia (Januari 2020)

Gambar 2. Presentase Penggunaan Aplikasi Mobile Berdasarkan Kategori (Januari 2020)

Pada bulan Januari, Youtube menduduki posisi kedua setelah Facebook sebanyak 2 milyar pengguna berdasarkan pengguna aktif, penonton advertise/iklan, atau pengunjung unik lainnya setiap bulan. Dari beberapa negara yang melapor, kategori dengan rate tertinggi yaitu penggunaan sosial media untuk chat app atau aplikasi messenger dengan jumlah presentase 89%.

Gambar 3. Grafik Sosial Media yang Paling Sering Digunakan di Dunia (April 2020)

Gambar 4. Presentase Penggunaan Aplikasi Mobile Berdasarkan Kategori (April 2020)

Kemudian dilihat pada bulan April 2020, Youtube masih menduduki peringkat yang sama yaitu nomor kedua setelah Facebook. Namun dikarenakan wabah pandemi covid-19 semakin meluas, sehingga di beberapa negara menyebabkan peningkatan dalam online dan aktivitas digital, rate penggunaan tertinggi yaitu dalam kegiatan menonton shows dan film dalam layanan streaming dengan presentase 57%.

Penggunaan situs Youtube yang menduduki peringkat kedua menunjukkan bahwa Youtube dapat menjadi salah satu media yang dapat dimanfaatkan dalam proses pengarsipan arsip audiovisual dengan syarat dan ketentuan yang diberikan oleh Youtube. Situs Youtube juga dapat menjadi media simpan dalam bentuk digital yang dapat diakses oleh pengguna berbagai latar belakang sehingga sosialisasi yang terkait dengan kerja pengarsipan menjadi lebih mudah. Video yang diunggah di Youtube saat ini, akan menjadi memori atas sebuah peristiwa dalam suatu wilayah dan waktu tertentu, aktivitas individu maupun institusi, kegiatan yang sedang tren pada masanya, dan kejadian yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Apa yang terjadi tentang liputan berita Korea bahwa ABK Indonesia yang bekerja di kapal Cina mengalami pelanggaran HAM berat? Apabila berita tersebut hanya ditayangkan pada TV Korea saja tentu akan menarik sedikit perhatian publik atau bahkan tidak akan ditindak lanjut oleh pemerintah Indonesia. Namun karena video tersebut diunggah melalui Youtube dan diulas oleh beberapa pengguna sehingga menjadi trending di Indonesia.  Video tersebut dapat menjadi sumber informasi yang mungkin tidak terkuak oleh media Indonesia dan dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk menindaklanjuti atau dalam kata lain membuktikan bahwa fungsi video tersebut sama dengan fungsi arsip yaitu sebagai sumber informasi.

Pada kasus lain, sama halnya jika sebuah video hanya berisi aktivitas seorang manusia dari jutaan manusia lainnya yang memiliki saluran Youtube. Walaupun terlihat tidak terlalu penting mengetahui kehidupan pribadi seseorang, namun kemungkinan besar hal tersebut dapat menjadi sebuah saksi besar dalam sejarah kehidupan manusia yang dapat dimanfaatkan pada masa kini hingga memprediksi seperti apa masa depan.

Dilansir dari m.cnnindonesia.com tentang artikel “Arsip Video Bersejarah Bakal Diunggah ke Youtube” bahwa dua perusahaan media yaitu Associated Press dan British Movietone akan mengunggah video peristiwa paling penting dan bersejarah dalam 120 tahun terakhir. Direktur Arsip Internasional Associated Press, Alwyn Lindsey juga menyebutkan bahwa saluran videonya akan diproyeksikan sebagai ensiklopedia visual dalam abad paling bergejolak di sejarah manusia. Lindsey juga menjelaskan bahwa masyarakat dapat menikmati beberapa saat tertua dan paling luar biasa dalam sejarah.

Artikel tersebut mengandung makna yang kuat bahwa Youtube telah menjadi sebuah platform media baru dalam pengarsipan audiovisual. Saat ini Youtube juga telah menerapkan sistem copyright sehingga pengguna dapat mengakses namun tidak dapat mengklaim atau menduplikat hak milik sebuah saluran. Copyright berlaku jika sebuah video terindikasi mengutip atau menduplikasi saluran lain tanpa izin dan mengunggahnya dalam saluran miliknya. Maka dari pihak Youtube akan mem-banned video hingga akun yang melakukan duplikasi. Semakin beragamnya fitur yang tersedia di Youtube semakin memudahkan penggunanya untuk semakin memperluas jangkauan penonton atas apa yang sebelumnya belum atau tidak memungkinkan dibagikan secara daring. Selain itu dapat semakin meminimalisir bahkan mencegah video yang diunggah bebas dari duplikasi. Sehingga situs Youtube memiliki peran cukup penting dalam pengarsipan audiovidual atau arsip berbentuk video.

Referensi:

Kemp, Simon. 2020. “Digital 2020: 3.8 Billion People Use Social Media”. https://wearesocial.com/blog/2020/01/digital-2020-3-8-billion-people-use-social-media. Diakses pada 20 Mei 2020

Kemp, Simon. 2020. “Digital Around The World in April 2020”. https://wearesocial.com/blog/2020/01/digital-around-the-world-in-april-2020. Diakses pada 20 Mei 2020

Panji, Aditya. 2015. “Arsip Video Bakal Diunggah ke Youtube”. https://m.cnnindonesia.com/teknologi/20150724134746-186-67975/arsip-video-bersejarah-bakal-diunggah-ke-youtube. Diakses pada 20 Mei 2020.

Rahadian, Bagas. 2020. “Sejumlah Arsip Konser Live Bakal Tayang 72 Jam Non Stop di Youtube Termasuk di Dalamnya Konser Lawas Slipknot dan Green Day”. https://hai.grid.id/read/072121477/sejumlah-arsip-konser-live-bakal-tayang-72-jam-non-stop-di-youtube-termasuk-di-dalamnya-konser-lawas-slipknot-dan-green-day. Diakses pada 20 Mei 2020

Pusat Bantuan Youtube, https://www.youtube.com/intl/id/about/copyright/#support-andtroubleshooting 


Nabiilah Khusnul Afifah adalah mahasiswa Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM angkatan 2018.

Footage: Arsip Audiovisual dan Kesadaran akan Kesejahteraan Hewan*

Oleh: Widiatmoko Adi Putranto dan Regina Dwi Shalsa Mayzana


Footage alias rekaman video bisa jadi memiliki nilai kebuktian yang lebih lengkap dan real untuk meyakinkan banyak orang jika dibandingkan arsip audiovisual lainnya. Foto atau gambar tidak bergerak cenderung statis dan tidak mampu membuat kita mendengar apa yang ada di foto tersebut. Sebaliknya, rekaman suara hanya dapat menghadirkan bunyi tanpa visualisasi. Di serial televisi populer seperti Homeland atau Money Heist, footage yang diambil dari berbagai penyadapan menjadi objek krusial dalam plot cerita sehingga serial tersebut mampu bertahan hingga beberapa season. Terminologi footage agaknya memang lebih identik dengan rekaman yang diambil melalui kamera tersembunyi untuk keperluan pengawasan, penyadapan, atau pengintaian. Maka, meskipun mungkin mampu menghadirkan bukti yang kuat, footage bisa jadi problematis bila diambil dengan cara yang dianggap bertentangan dengan hukum.

Dalam perkembangan industri peternakan modern, terdapat sejumlah dugaan bahwa hewan ternak telah diperlakukan dengan tidak semestinya. Sejumlah aktivis dan organisasi pecinta hewan berhasil mendapatkan arsip serupa rekaman yang menunjukkan bahwa hewan ternak seringkali dipukul/disiksa sebelum akhirnya dijagal hidup-hidup. Beberapa media bahkan menyebutkan bahwa hak dan kesejahteraan hewan telah menjadi isu global (Stull & Broadway 2012, p. 85). Dalam hal ini, arsip audiovisual berbentuk rekaman CCTV atau kamera tersembunyi telah menjadi modal utama untuk melakukan pengamatan terus-menerus secara efektif sebagai usaha meningkatkan kesadaran akan kesejahteraan hewan ternak (Federation of Veterinarians in Europe 2017, p. 3). Australia misalnya, pernah menangguhkan kebijakan live export mereka ke Indonesia setelah sebuah rekaman dan foto-foto cara sapi mereka diperlakukan di sejumlah rumah jagal Indonesia, terekspos di media (Associated Press 2011, ABC News 2011). Di tahun itu pula, rekaman penjagalan sapi yang sama dari Animals Australia membantu Bidda Jones (2011) dari RSPCA, organisasi perlindungan hewan Australia, untuk menuliskan riset tentang perlunya perubahan cara penanganan sapi di rumah jagal Indonesia.

‘Apabila dibilang mirip, Lucent memang terinspirasi Earthlings’, ujar sutradara Chris Delforce usai pemutaran film dokumenter bertajuk ‘Lucent’ pada suatu malam 5 tahun lalu di panggung Capri Theatre, gedung bioskop ikonik berlanggam Art Deco di Goodwood, salah satu bagian pinggir kota Adelaide, South Australia. Bedanya dengan Earthlings–film dokumenter terkenal yang menunjukkan sejumlah kekejaman pada berbagai binatang– Lucent lebih berfokus pada satu binatang: babi. Kesamaannya, isi film tersebut juga berupa dokumentasi sejumlah footage yang besar kemungkinan tak berizin dari sejumlah peternakan dan rumah jagal. Metodenya standar: aktivis mengendap-endap, menyusup, lalu melakukan pengintaian yang biasanya terjadi di malam hari ketika kebanyakan karyawan sudah menghilang. Aktivis kadang tinggal dan merekam semalaman, namun ada kalanya kamera pengintai ditaruh untuk diambil selang beberapa waktu kemudian.

Sumber: Ilustrasi oleh Ignatius Ade (@ignadee)

Rekaman-rekaman tersembunyi bukan hanya menunjukkan kekerasan sebelum hewan ternak dijagal, tetapi juga ketika hewan berada dalam transportasi. Osborne dan van der Zee (2020) menyebutkan, ada sekitar hampir 2 miliar hewan ternak setiap tahun yang dimuat ke truk atau kapal untuk dikirim ke banyak negara dalam perjalanan hingga memakan waktu berminggu-minggu. Padahal, European Union Scientific Committee on Animal Health and Animal Welfare (2001, dikutip pada Mach et al. 2008) menyatakan bahwa transportasi hewan lebih dari 8 jam dapat menyebabkan penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, hingga perubahan dalam beberapa parameter stres fisiologis. Fenomena ini menunjukkan bahwa melalui rekaman tersembunyi pada transportasilah masyarakat luas dapat menentukan kualitas daging industri peternakan modern yang sebenarnya.

Ada dua pertanyaan besar yang kemudian muncul dan saling bertentangan. Pertama, bagaimana duduk legalitas rekaman semacam ini? Tentunya terasa ganjil ketika seseorang datang bertamu sambil bertanya dengan sopan, ‘selamat malam, mohon izin saya akan merekam apa yang Anda lakukan di rumah Anda dan mungkin membuat nama Anda akan tercemar.’ Rekaman-rekaman berisi perlakuan yang dianggap kejam terhadap hewan ternak kebanyakan diambil tanpa izin dan persetujuan. Dalam konteks ruang, seseorang yang melakukan hal ini bisa saja dianggap melakukan penyadapan dan trespassing. Dua hal tersebut sempat membuat Delforce berurusan dengan hukum (Gregoire 2017). Namun, bagaimana dengan perlindungan atas kebebasan berpendapat individu dan transparansi yang kerap kali bersinggungan dengan relativitas informasi sensitif? Siapa yang seharusnya menyediakan akses terhadap informasi semacam ini untuk kepentingan konsumen atau hewan ternak itu sendiri? Katakanlah, untuk edukasi masyarakat serta pengungkapan tindakan yang dianggap tidak etis. Seperti dikutip oleh Medianet (2019), Delforce berpendapat bahwa dari sudut pandang konsumen, mereka memiliki hak untuk mengetahui asal dan proses produk hewani yang mereka beli. Di Inggris misalnya, rumah jagal justru diwajibkan untuk memasang CCTV (UK Statutory Instrument No. 556 2018). Per 2019, Skotlandia (Agriculture and Rural Delivery Directorate of the Scottish Government (ARD) 2019) juga tengah menggodok draft undang-undang yang mirip. Di sisi lain, penulis Jonathan Safran Foer (2010) pernah bercerita bahwa ia tak pernah mendapat jawaban ketika meminta izin secara resmi untuk masuk ke sejumlah peternakan industrial di Amerika Serikat demi mengetahui darimana daging yang ia makan berasal.

Arsip audiovisual dalam bentuk rekaman yang termuat dalam film dokumenter, ataupun film dokumenter itu sendiri, memiliki peran untuk menyediakan akses sekaligus menggugah masyarakat akan kondisi hewan ternak pada praktik industri peternakan modern yang banyak dituding kurang memperhatikan hak dan kesejahteraan mereka. Diseminasi rekaman-rekaman ini dapat menjadi catatan sejarah yang penting dan bisa jadi memengaruhi banyak keputusan dalam pengambilan kebijakan yang lebih luas. Namun, isu legalitas rekaman yang mencakup dari sensitivitas informasi, transparansi, kebebasan berpendapat, hingga trespassing menjadi masalah yang perlu dikaji lebih lanjut secara spesifik untuk menemukan penyelesaian atas perdebatan ini.

*Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian ‘Some Animals are More Equal than Others: Are Archives Neutral?’.

Referensi:

Agriculture and Rural Delivery Directorate of the Scottish Government 2019, Introduction of Compulsory Closed Circuit TV Recording of Slaughter at Abattoirs in Scotland: Summary Report, ARD, Edinburgh.

Associated Press 2011, ‘Australia suspends cattle export to Indonesian abattoirs’, The Guardian, diakses pada 5 Juni 2020, <https://www.theguardian.com/world/2011/may/31/australia-suspends-cattle-export-indonesia>.

Aussie Farms 2019, ‘Activist behind controversial ‘farm map’ challenges Federal Agricultural Minister to public debate’, Medianet, diakses pada 6 Juni 2020, <https://www.medianet.com.au/releases/171739/>.

Federation of Veterinarians in Europe 2017, Use of Closed Circuit Television (CCTV) in the supervision and verification of animal welfare standards in approved premises, FVE,   diakses pada 19 Juni 2020, <https://www.fve.org/cms/wp-content/uploads/042_cctv___combined_final_ga_adopted.pdf>.

Foer, JF 2010, Eating Animals, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gregoire, P 2017, ‘Exposing Agricultural Brutality: An Interview with Chris Delforce’, Sydney Criminal Lawyers, 22 November, diakses pada 7 Juni 2020, <https://www.sydneycriminallawyers.com.au/blog/exposing-agricultural-brutality-an-interview-with-chris-delforce/>.

Jones, B 2011, ‘The Slaughter of Australian Cattle in Indonesia: An Observational Study’, Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals, diakses pada 10 Juni 2020, <https://kb.rspca.org.au/wp-content/uploads/2019/03/The-slaughter-of-Australian-cattle-in-Indonesia-RSPCA-Research-Report-2011.pdf>.

Mach, N, Bach, A, Velarde, A & Devant, M 2008, ‘Association between animal, transportation, slaughterhouse practices, and meat pH in beef’, Meat Science, Volume 78, no. 3, pp.232-238.

Ockenden, W & Lamb, K 2011, ‘More cruelty in Indonesian abattoirs revealed’, ABC News, 7 Juni, diakses pada 9 Juni 2020, <https://www.abc.net.au/news/2011-06-07/more-cruelty-in-indonesian-abattoirs-revealed/2750240>.

Osborne, H & van der Zee, B 2020, ‘Live export: animals at risk in giant global industry’, The Guardian. 20 Januari, diakses pada 10 Juni 2020, <https://www.theguardian.com/environment/2020/jan/20/live-export-animals-at-risk-as-giant-global-industry-goes-unchecked>.

Stull, DD & Broadway, MJ 2012, Slaughterhouse blues: The meat and poultry industry in North America, Google Books, diakses pada 7 Juni 2020, <https://books.google.co.id/books?id=zCDGz2P-ghQC&pg=PA85&lpg=PA85&dq=cage+quality+in+slaughterhouses&source=bl&ots=AC0criNgea&sig=ACfU3U21qwTBBitgpbdY2C6OgZ6GM3DmZA&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwj09-WXzfzpAhWk8HMBHcoDAaMQ6AEwFnoECAcQAQ#v=onepage&q&f=false>.

UK Statutory Instrument No. 556: The Mandatory Use of Closed Circuit Television in Slaughterhouses (England) Regulations 2018.

Arsip Audiovisual dalam Arsip Audiovisual: Arsip Audiovisual dan Karya Kreatif

Oleh: Widiatmoko Adi Putranto


Dengan sejumlah video klip band-nya, Kla Project, yang ia unggah di kanal pribadi Youtube-nya dan diklaim sebagai ‘asli’, apakah fokus Katon Bagaskara adalah hanya pada nostalgia dan monetisasi ataukah ia sebenarnya juga figur yang mengamalkan konsep LOCKSS dan memahami prinsip digital cultural preservation? Arsip audiovisual, atau arsip pada umumnya, tak melulu harus memiliki kegunaan yang diartikan secara kaku: hukum, riset, atau administrasi. Arsip audiovisual, dan lainnya, bisa digunakan ulang atau diulas dan dibicarkan dalam media kreatif baru yang bentuknya bisa saja sangat berbeda atau, sama-sama arsip audiovisual juga dan dengan sendirinya memberikan konteks baru. Sejumlah karya kreatif telah menggunakan, mendiskusikan dan menunjukkan gejolak zaman yang mampu direkam oleh arsip audiovisual baik dalam konteks konten, media, maupun carrier.

Gambar 1. Salah satu cuplikan videoklip Dreams Tonite oleh Alvvays (2017)

Pada videoklip salah satu single di album kedua mereka–Antisocialite, yang rilis tiga tahun lalu, band Alvvays dari Kanada menghidupkan kembali sejumlah potongan footage pekan raya Expo pada tahun 1967 di Montreal dari National Film Board of Canada–lembaga yang menawarkan footage untuk keperluan komersial dengan biaya terjangkau dan pada tahun yang sama juga berkomitmen menambah jumlah staff indigenous mereka (CBC News 2017), dan Prelinger Archive yang memiliki koleksi film ephemeral dengan lisensi terbuka. Selain kepiawaian teknik editing yang subtle untuk menggabungkan potongan footage dengan shoot baru mereka, penggunaan arsip ini terkesan natural agaknya karena video mereka pun juga sama-sama direkam menggunakan film. Potensi-potensi semacam ini, menurut Roued-Cunliffe (2017), kian dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi.

Dari Indonesia, band the Adams (2019) memilih untuk menggunakan arsip foto kolega mereka dalam bentuk mozaik sebagai bagian dari videoklip lagu ‘Masa-masa’ yang menjadi bagian dari album terbaru yang mereka rilis tahun lalu, Agterplaas dalam menciptakan kesan nostalgia. Yang lebih lawas, video director Tak Bisa ke Lain Hati-nya KLa Project (2008) menggunakan sejumlah arsip yang sama sebagai bagian dari upaya memvisualisasikan lagu tersebut dalam video klip mereka. Bedanya: semuanya adalah pas foto dalam format fisik. Hampir semua orang mungkin sekarang akan menatap layar untuk melihat foto digital berformat jpeg atau melakukan panggilan video, namun pas foto cetak yang masuk kategori arsip still image, adalah objek terbaik di tahun 90an yang biasanya tersimpan di dompet atau terpajang di pigura kamar. Apabila diperhatikan dengan teliti, setidaknya ada 8 set pas foto dengan model Memes yang disusun bersama objek-objek atau gestur lain dengan tujuan menyiratkan maksud atau perasaan tertentu pada videoklip tersebut. Pertama, pas foto yang digoreng di bawah dua telur ceplok dalam panci (01.12). Kedua, pas foto hitam putih berjejer yang ditempel memenuhi dinding (00.42, 04.23), dilewati langkah kaki dengan sepatu boot yang mencipratkan air. Ketiga, pas foto tertutup daun, kemudian diterbangkan angin (00.47). Keempat, pas foto hitam putih yang dibakar (01.26). Kelima, pas foto di atas papan catur dengan gerakan bidak kuda hitam memakan perdana menteri coklat kayu (02.06). Keenam, pas foto yang dicat garis merah lurus (02.37). Ketujuh, pas foto yang diseraki gundu (02.43) dan terakhir, pas foto yang ditimpa tulisan menggunakan mesin tik (02.50). Nampaknya, semua set mewakili perasaan yang gelisah, bimbang, dan penuh pertimbangan sesuai lirik lagu.

Gambar 2. Salah satu cuplikan videoklip Tak Bisa Ke Lain Hati oleh KLa Project (2008)

Di EP Skenario Masa Muda (2007), band White Shoes and the Couples Company menyisipkan sejumlah potongan dialog antara lagu satu dengan lagu lainnya. Percakapan-percakapan ini terinspirasi dari sejumlah adegan pada film Tiga Dara (Ismail 1956) dan seolah berkorelasi dan membuka tiap lagu. Misalnya, ada percakapan soal ditabrak skuter sebelum lagu Pelan Tapi Pasti yang bertemakan jalan-jalan berkeliling Jakarta. Faktanya, karya ini memang sengaja dibuat untuk membantu menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap upaya pelestarian arsip film Indonesia bersama dengan Kineforum dan Sinematek Indonesia.

Sementara itu, ada juga beberapa karya yang mengangkat arsip audiovisual sebagai tema. Band Goodnight Electric dari Jakarta misalnya, memilih media pembaca kaset video yang telah usang, VCR, untuk diabadikan sebagai sebuah lagu. Kerap kali terjadi, teknologi audiovisual berkembang dengan dipengaruhi secara signifikan oleh tuntutan sosial dan kebutuhan pasar (Edmonson 2016). Sebelum digantikan VCD dan DVD (dan tentunya Youtube dan Netflix), merekam acara atau siaran televisi dalam kaset Betamax dan VHS menggunakan Video Cassette Recorder (VCR) adalah kegiatan yang cukup populer sekaligus menimbulkan perdebatan hak cipta di tahun 1980an. Pada era tersebut, bahkan tak semua orang memiliki akses pada televisi yang kini dapat dimiliki dengan mudah oleh semua orang. Lebih-lebih kepemilikan VCR dan alat rekam pribadi seperti video recorder atau handycam. Bagi masa kecil saya saat itu, tidak memiliki VCR dan kasetnya berarti melewatkan tayangan Doraemon di RCTI via TV tetangga pada hari Minggu pagi. Perjalanan VCR bisa jadi alegori yang tepat bagi salah satu tantangan terbesar dalam digital preservation: obsolescence. Di lagu dan video klip ini, Goodnight Electric (2019) meromantisasi memutar dan menonton rekaman film via VCR –baik media pembaca maupun wadahnya sudah sukar dijumpai–yang memiliki kemampuan untuk bisa dipercepat dan cahaya, definisi, dan dimensinya begitu indah sehingga membuat kita terpana, merona dan merana. Mungkin maksudnya merana seperti kolega saya pengampu mata kuliah Pengelolaan Arsip Audiovisual, Arif Rahman Bramantya, yang kerap dipusingkan dengan skema administrasi keuangan yang tidak memungkinkan pembelian infrastruktur bekas seperti VCR.

Gambar 3. Salah satu cuplikan videoklip VCR oleh Goodnight Electric (2019)

Pada awal masa kuliah sarjana, seorang teman yang belakangan bekerja di rental VCD meminjamkan saya VCD film yang saya tonton 3 kali sehari, film itu adalah Janji Joni (Anwar 2005). Seperti judul artikel ini, Janji Joni adalah film yang membicarakan film. Edmondson (2016) menyebut bahwa tak seperti konten, carrier audiovisual bisa dikategorikan sebagai artefak tersendiri dan memiliki sejumlah karakter intrinsik yang tak mungkin dimigrasikan ke dalam bentuk lainnya. Janji Joni tidak hanya menampilkan rekam jejak masa dimana bioskop masih bertumpu pada pengantar dan pemutar rol film manual yang memberikan pengalaman indrawi dan estetika walau kini tak lagi dilirik industri, namun juga merekam arsip skena musik independen Jakarta di pertengahan 2000an karena Joko Anwar memutuskan untuk menggunakan scoring yang hampir sebagian besar merupakan band-band yang tergabung dalam kompilasi JKT:SKRG (Tarigan 2004)–album yang berisikan band-band seperti Sore dan Sajama Cut di awal karir mereka. Itu belum terhitung penampilan Henry Foundation dari Goodnight Electric dan Hanin Sidharta dari label rekaman Aksara sebagai figuran dan Tantowi Yahya di adegan melahirkan bayi dengan gimmick khas yang pernah identik dengan dirinya: pembawa acara kuis Who Wants to be Millionaire (RCTI 2001 – 2006) yang pernah populer sebagai tayangan televisi pada awal 2000an dan profesi evergreen-nya sebagai penyanyi musik country. Janji Joni juga menyadarkan kita bahwa sama seperti arsip audiovisual, penonton film di bioskop juga bisa diklasifikasikan: dari penonton spoiler hingga penonton pacaran. Sungguh arsip audiovisual yang penuh dengan hal-hal yang arsip audiovisual.

Referensi:

Alvvays A 2017, Alvvays – Dreams Tonite [Official Video], video, Youtube, 13 September, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=ZXu6q-6JKjA>.

Anwar, J (dir.) 2005, Janji Joni, ‎VCD, Kalyana Shira Films.

CBC News 2017, ‘National Film Board ‘redefining’ its relationship with Indigenous Peoples’, CBC News, 20 Juni, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.cbc.ca/news/indigenous/nfb-new-relationship-indigenous-peoples-1.4167947>.

Edmonson, R 2016, Audiovisual archiving: Philosophy and principles, UNESCO, Bangkok.

Goodnight Electric Official 2019, Goodnight Electric-VCR (Official Music Video), video, Youtube, 11 September, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=VlCAH4nr2Ok>.

Ismail, U (dir.) 1956, Tiga Dara, motion picture, Perfini.

Katon Bagaskara Official 2008, KLa Project-Tak Bisa Ke Lain Hati (The Original Version), video, Youtube, 31 Januari, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=h1e4q9LLTA0>.

Prelinger, R 2004 – 2020, Prelinger Archives, Panix, diakses pada 28 Juli 2020, <http://www.panix.com/~footage/>.

Roued-Cunliffe, H 2017, ‘Open heritage data and APIs’ dalam H Roued-Cunliffe & A Copeland (eds.), Participatory Heritage, Facet Publishing, London, pp. 195-203.

RCTI 2001 – 2006, Who Wants to be Millionaire, television program, RCTI.

Tarigan, D & Ringo, L (prod.) 2004, JKT:SKRG, CD, Aksara Records.

The Adams 2019, The Adams-Masa-Masa (Official Lyric Video), video, Youtube, 25 Februari, diakses pada 28 Juli 2020, <https://www.youtube.com/watch?v=IMDn0YqV2NI>.

White Shoes & The Couples Company 2007, Skenario Masa Muda, CD, Aksara Records.

Meneladani Tradisi Pengarsipan Bagong Kussudiarja: Pengelolaan Arsip di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja

Oleh: Herraditya Mahendra


Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) dibangun dan didirikan pada tahun 1978 oleh maestro seni Indonesia Bagong Kussudiardja di Kab. Bantul, D.I. Yogyakarta. PSBK memusatkan perhatian pada pertumbuhan dan pengembangan nilai seni, baik yang berbentuk keindahan hidup bersama maupun karya. PSBK memakai metode belajar aktif-partisipatif yang menjembatani proses kerjasama  seniman dan masyarakat untuk bersama-sama memanfaatkan kesenian untuk mencapai kehidupan yang bermartabat dan beradab.

Melanjutkan spirit Bagong Kussudiardja, PSBK mewujudkan diri sebagai art-center dengan misi mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. PSBK hadir sebagai laboratorium kreatif, tempat berkumpul, dan ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin. PSBK menghadirkan karya seniman-seniman muda, fasilitasi riset-riset artistik dan pengembangan profesional seniman maupun masyarakat umum, dan merancang program-program untuk meningkatkan community engagement dan pengembangan jaringan, melalui kesenian.

Bagong Kussudiarja merupakan seniman yang sadar akan arsip. Beliau selalu menyimpan dan mengelompokkan hal-hal seperti catatan perjalanan, liputan media, dokumentasi peristiwa kesenian, gambar pola langkah tari, hingga surat menyurat. PSBK selaku sebuah institusi meneladani hal tersebut dan melakukan proses pengarsipan mereka sendiri dari program-program yang mereka jalankan. PSBK sadar bahwa arsip itu penting dan berharga sebagai penanda jaman dan jendela pengetahuan.

PSBK membagi arsip mereka menjadi dua bagian yakni arsip fisik dan arsip audio visual. Arsip fisik merupakan arsip arsip yang didapatkan dari program-program yang dijalankan PSBK dari tahun 1978 dan juga arsip-arsip Bagong Kussudiharja sebagai seniman. Arsip-arsip yang dikumpulkan ini memiliki keanekaragaman jenis, yakni:

  • Arsip karya
  • Catatan pribadi Bagong Kussudiarja
  • Foto cetak dan klisenya
  • Buku-buku koleksi
  • Buku-buku terbitan Padepokan Press.
  • Katalog
  • Brosur
  • Poster
  • Catatan program

Gambar 1. Display Arsip Audiovisual PSBK

Sumber: Dokumentasi Penulis

Merapikan yang Terserak

Gambar 2. Display Arsip Foto PSBK

Sumber: Dokumentasi Penulis

Arsip arsip yang ada tersebut ditata dan dirawat di perpustakaan PSBK. Sebagai institusi yang mengarsipkan semua hal yang ada di dalamnya, PSBK mendapatkan arsipnya dari program-program yang dijalankannya.  Pada tahapan ini, semua arsip yang diambil dari program yang melibatkan seniman, akan dibuatkan salinannya. Salinan pertama akan diberikan pada seniman selaku pemilik karya dan PSBK menyimpan salinan satunya. Tahapan setelah akuisisi arsip dari seluruh peristiwa yang dilakukan PSBK adalah melakukan pengumpulan dan klasifikasi data. Klasifikasi yang dilakukan adalah dengan mengelompokkannya per tahun dan per peristiwa. Pada proses ini dilakukan juga pengisian metadata dari temuan arsipnya.

Setelah melakukan pengumpulan dan klasifikasi, hal yang dilakukan adalah melakukan validasi dari data temuan. Validasi ini perlu dilakukan untuk mengetahui detail informasi dari arsip yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk memberikan konteks dari seluruh arsip yang ada. Setelah proses validasi data, hal yang dilakukan adalah proses digitalisasi. Semua dokumen fisik akan didigitalisasi. Hal tersebut bertujuan untuk preservasi koleksi agar lebih aman dan lebih aksesibel.

Selanjutnya, hal yang dilakukan adalah penyimpanan. Arsip-arsip fisik akan dikelompokkan sesuai tahun dan peristiwanya, kemudian disimpan dalam kotak karton yang sudah dipersiapkan sedangkan file-file digitalisasi akan disimpan di harddisk dan dibuat sistem  foldering sesuai dengan tahun dan peristiwanya. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan publikasi dan membuka akses publik. PSBK sudah membuka arsipnya dengan menyelenggarakan pameran arsip Bagong Kussudiarja pada tahun 2018 dan 2019. Kedua pameran tersebut berhasil memberikan gambaran pada pengunjunganya akan pentingnya mengarsipkan hal-hal penting dalam proses kekaryaan seorang Bagong Kussudiarja dan PSBK sendiri sebagai institusi.

Arsip audio visual yang dimiliki oleh PSBK adalah arsip yang meliputi foto, rekaman audio, video dokumentasi, dan juga karya audio visual yang pernah diproduksi oleh PSBK. tahapan yang dilakukan juga sama seperti tahapan yang sudah dijelaskan di atas. Pembedanya adalah arsip audio visual PSBK memiliki beragam bentuk seperti DVD dan mini DV. File tersebut akan didigitalisasi dan disimpan di harddisk. Kemudian akan dibuatkan lagi salinannya ke harddisk lain atau dialihmediakan lagi ke copy DVD. PSBK juga menyimpan arsip audio visualnya dalam cloud, yakni dengan mengunggahnya ke youtube untuk video dokumentasi dan karya audio visual yang diproduksi oleh PSBK sendiri.

PSBK sebagai lembaga menganggap bahwa pengarsipan adalah cara untuk mengadvokasi seniman lain untuk melakukan proses pendokumentasian terhadap karya-karya yang mereka miliki. Oleh karena itu, PSBK sangat memperhatikan hak seniman atas karyanya. Seniman yang berkolaborasi dengan PSBK memiliki hak penuh atas karyanya sedangkan PSBK memiliki hak simpan dan mendistribusikannya untuk kepentingan riset dan edukasi.

Keterbukaan Akses terhadap Publik

PSBK membuka akses arsip seluas-luasnya kepada publik. Hal tersebut ditunjukkan dari pameran arsip PSBK yang pernah digelar pada tahun 2018 dan 2019. Pada pameran tersebut PSBK menggelar arsip dari pendiri PSBK yakni Bagong Kussudiarja. Pameran arsip ini menegaskan kembali bahwa PSBK sebagai sebuah lembaga meneladani pendirinya yang memiliki perhatian khusus terhadap arsip, sehingga laku keseniannya masih bisa kita pelajari sampai sekarang. PSBK juga menggunakan teknologi terbarukan untuk membuka aksesnya kepada publik, salah satunya adalah dengan menggunak aplikasi yang bernama sirkuit apps. Aplikasi ini menjelaskan PSBK mulai dari awal berdiri hingga sekarang dengan cara memindai kode yang tersebar di bangunan-bangunan yang ada di kompleks PSBK, cara ini memperlihatkan bahwa PSBK ingin memberikan informasi juga pada publik bahwa bangunan yang dimiliki PSBK adalah arsip itu sendiri dan banyak cerita yang dimiliki oleh bangunan di kompleks PSBK. PSBK pun masih memiliki impian untuk mengembangkan lagi akses publik terkait arsip yang dimilikinya, yakni dengan mengembangkan laman web yang dapat menampilkan semua arsip PSBK secara lengkap dan terintegrasi.

Pengarsipan yang dilakukan PSBK adalah meneruskan semangat yang sudah dikobarkan oleh Bagong Kussudiarja. PSBK berharap jerih payah Bagong Kussudiarja untuk mengarsipkan laku keseniannya dapat menularkan kesadaran itu ke semua seniman dan penikmat seni yang mengakses arsip dari PSBK. sehingga generasi mendatang bisa mempelajari dan mengambil hal baik dari apa yang sudah pernah kita lakukan. 

Televisi: Media Berbasis Waktu dan Para Penontonnya*

Oleh: Lillyana Mulya


Dalam artikel di jurnal Wacana yang diterbitkan tahun 2019, Els Bogaerts menulis bagaimana upayanya menelusuri arsip tentang suatu tayangan televisi yang sempat disiarkan oleh TVRI pada masa Orde Baru. Acara itu berjudul Siung Macan Kombang (The Panther’s Fang) yang ditayangkan setiap Senin sore pada bulan Oktober 1992. Siung Macan Kombang adalah judul ketoprak Jawa yang diciptakan oleh Hasmi (Harya Suryaminata). Scriptnya ditulis dalam bahasa Jawa sehari-hari pada tahun 1989. Satu hal yang membuatnya menarik dan menempel dalam memori kolektif masyarakat di Jawa adalah pengemasan serial itu menjadi sebuah ketoprak sayembara. Inovasi ini menjadi satu model persuasif untuk menarik penonton televisi sebanyak-banyaknya pada masa itu.

Media televisi

Televisi merupakan satu capaian perkembangan teknologi yang menyiarkan secara luas suatu rekaman audiovisual. Bersama dengan radio dan media cetak (koran), televisi adalah bagian dari media penyiaran (broadcast) untuk menyampaikan informasi dari satu titik kepada khalayak yang lebih luas. Karakter televisi adalah media penyampai informasi satu arah, dalam artian penonton tidak dapat berinteraksi secara langsung dengan apapun yang ada dalam televisi.

Pertelevisian di Indonesia diawali oleh kiprah Televisi Republik Indonesia (TVRI), yang menjadi stasiun televisi resmi milik pemerintah Republik Indonesia sejak 1962. Saat itu, pendiriannya berbarengan dengan persiapan Asian Games pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno. Posisi TVRI sebagai pembawa pesan pemerintah untuk kesatuan Indonesia diteruskan hingga pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Pada masa jayanya, melalui satelit Palapa yang diluncurkan pertama tahun 1976, TVRI sanggup menyiarkan pesan pemerintah hingga ke seluruh menara pemancar di wilayah pelosok Indonesia. Ross Tapsell menyebut penyiaran TVRI sebagai “national teacher” sebab memiliki agenda pendidikan, terutama pendidikan bahasa dan budaya Indonesia ke seluruh masyarakat yang heterogen. Tujuannya, menciptakan masyarakat Indonesia yang homogen. Dibanding media lain seperti media cetak dan radio, televisi tergolong mudah dikontrol sehingga televisi dapat dipakai untuk mengkaji pembentukan penonton secara kolektif.

Penonton dan memori

Aspek teknis dalam penyiaran televisi merupakan perkara penentu dalam suatu siaran. Menurut Ade Armando (2011), penyiaran televisi di Indonesia menggunakan model penyiaran terpusat. Jakarta sebagai titik pusat untuk homogenisasi budaya menentukan apa yang harus dan tidak boleh disiarkan. Sebelum menggunakan satelit, menara pemancar digunakan untuk menerima dan meneruskan jangkauan sinyal siaran. Semakin jauh, maka dibutuhkan lebih banyak pemancar. Dengan satelit, pusat siaran dapat memancarkan sinyal ke satelit dan satelit akan memancarkan langsung ke menara-menara di daerah.

Jika dibandingkan dengan media koran, media pandang dengar memiliki karakter yang hanya dapat dipertontonkan selama satu kali. Karakter ini berbeda dengan media cetak yang dapat dibaca berulang kali tanpa alat bantu. Oleh sebab itu, experience yang didapatkan dari menonton televisi mayoritas hanya tersimpan di ingatan (memori). Kajian ini merupakan kajian televisi pra-internet, sehingga tayangan televisi belum serta merta terintegrasi dengan Youtube sebagai platform broadcast audiovisual berbasis internet. Televisi pada masa itu juga belum dilengkapi dengan fitur rekaman acara.

Pada kasus pencarian tayangan Siung Macan Kombang, penelusuran dimulai dari pencarian arsip audiovisual di kantor TVRI. Namun, arsip audiovisual di stasiun broadcast seringkali tidak disimpan dengan layak, sehingga kerusakan dan kehilangan menjadi realitas yang kerap terjadi. Alternatif lain pencarian informasi tentang Siung Macan Kombang kemudian didapatkan dari review di koran Jawa Pos. Saat itu, produksi Siung Macan Kombang bekerjasama dengan koran Jawa Pos untuk menarik penonton dengan menyediakan ruang keterlibatan pada sayembara koran. Review koran meliputi deskripsi karakter tokoh utama maupun jalan cerita secara garis besar, misalnya dalam kasus pencurian siung macan di atas, jurnalis memberikan review siapa saja yang berpotensi mencuri siung itu. Banyaknya kartupos yang dikirim peserta sayembara untuk menjawab pertanyaan dapat digunakan untuk memperkirakan jangkauan penonton ketoprak itu.

Gambar 1. Kupon sayembara Siung Macan Kombang yang dimuat di Jawa Pos.

(Sumber: Bogaerts, Els. “The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives” in Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2. Jakarta: Faculty of Humanities, Universitas Indonesia.)

Karakter media rekam yang dimiliki stasiun televisi adalah kombinasi audio (suara) dan visual (gambar) berbasis durasi (time-based). Karakter ini membedakan audiovisual dengan media rekam lain yang sifatnya diam seperti foto dan tulisan (tekstual). Efek yang ditimbulkan dari media ini pun berbeda, yaitu menstimulasi sensor pendengaran dan penglihatan secara bersamaan. Menurut Jenni Heikilä dari fakultas kedokteran Universitas Helsinki, penyajian suara disertai gambar yang selaras/sinkron dapat mempercepat proses informasi oleh otak dan disimpan dalam memori. Oleh karenanya, informasi lebih mudah dipahami. Namun, terdapat perbedaan respon memori terhadap informasi audiovisual antara anak-anak, remaja dan orang tua. Disebutkan bahwa, respon ingatan terhadap informasi audiovisual mulai berkembang sejak usia 8 tahun ke atas hingga dewasa. Respon ini akan berkurang pada orang tua sebab penuaan menurunkan fungsi sensor.

Pembagian usia dengan kemampuan mengingat di atas dapat digunakan sebagai metode untuk memperkirakan penonton aktif suatu tayangan televisi. Dicontohkan misalnya Siung Macan Kombang di atas ditayangkan tahun 1992, maka penonton yang berpotensi masih mengingat adalah penonton yang saat itu berusia remaja hingga dewasa. Jika usia saat itu diperkirakan 10-45 tahun, maka kini (tahun 2020) mereka berusia 38-73 tahun. Perlu juga dicermati bahwa pada saat itu, tidak semua remaja menyukai tayangan ketoprak, sebab masih tersedia tayangan lain seperti serial Oshin dan Little House yang juga diputar di stasiun yang sama. Sehingga kemungkinan penggemar ketoprak terbatas pada orang dewasa yang menggemari budaya tradisional, khususnya Jawa.

Dapat disimpulkan bahwa, televisi memiliki cakupan penontonnya yang begitu spesifik. Arus informasi yang dibawanya juga mempengaruhi karakter penontonnya. Satu hal yang mempengaruhi menempelnya (embedded) suatu informasi ke dalam memori, yaitu pengulangan. Jika informasi disampaikan secara repetitif, maka informasi akan dapat melekat lebih lama dan lebih utuh. Begitu pula sebaliknya, seperti film yang hanya ditayangkan satu kali maka ingatan hanya bersifat fragmentaris. Padahal media informasi dapat menjadi materi untuk mengkaji perkembangan suatu masyarakat. Oleh karenanya, arsip audiovisual memiliki nilai sosiokultural, yang menjadikannya layak disimpan secara permanen. Menurut Els Bogaerts,

However, news bulletins, game shows and commercials are not the only programme genres to represent and reflect on developments in society, as I have argued in my study of the production of the local by and on Indonesian television (Bogaerts, 2017: 4). Television genres like drama, talk shows and infotainment are at least as relevant. My point is therefore that these need to be researched, documented, and preserved as well; soon, before the materials are lost forever.

Tantangan utama dalam preservasi media audiovisual adalah kompleksitas pemeliharaan informasi yang terkunci dalam durasi waktu. Pada umumnya rekaman tayangan televisi pada tahun 1970 hingga 1990an direkam dalam kaset, sehingga keutuhan rekaman berada dalam gulungan pita magnetik. Jika pita tersebut terpotong, maka informasi menjadi tidak utuh lagi. Alternatif lain yang dapat ditawarkan adalah alih media ke dalam media lain seperti media digital. Namun, proses penyelamatan informasi ini tidak serta merta diartikan atau menjadi alasan peniadaan media asli. Sebab bagaimanapun juga, rekaman asli memiliki aspek originalitas yang tidak terbantahkan.

*Sebagian besar material dalam artikel ini telah diterbitkan dalam artikel The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives yang ditulis oleh Els Bogaerts dan dimuat pada Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2 (2019): 179-208.

Referensi:

Ade Armando. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia. Yogyakarta: Bentang.

Bogaerts, Els. 2019. “The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives” in Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2. Jakarta: Faculty of Humanities, Universitas Indonesia. Link: http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/view/745

Jenni Heikilä. 2018. Benefits of audiovisual memory encoding across the life span, Dissertation. Finland: Faculty of Medicine, University of Helsinki.


Lillyana Mulya adalah pengajar di Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM. Saat ini menempuh pendidikan Doktor, di University of Amsterdam,  Archival Studies, Amsterdam School for Heritage, Memory, and Material Culture.

Film Dokumenter Sebagai Sumber Pengetahuan: Pengelolaan Arsip Audio Visual di Forum Film Dokumenter Yogyakarta

Oleh: Herraditya Mahendra


Forum Film Dokumenter (FFD) merupakan sebuah lembaga yang memiliki fokus pada perkembangan film dokumenter secara umum. Lembaga ini merupakan organisasi nirlaba yang berfokus pada pengembangan film dokumenter sebagai medium ekspresi dan ekosistem pengetahuan melalui program ekshibisi, edukasi, distribusi, dan pengarsipan film. Sejak mengawali kegiatannya dari tahun 2002 sampai sekarang, FFD telah berperan aktif dalam membuka kolaborasi antarpelaku dalam ekosistem perfilman Indonesia melalui medium dokumenter.

FFD memiliki beberapa program kerja yang dijalankan untuk mendukung tercapainya visi dan misi yang sudah direncanakan. Program kerja FFD disesuaikan dengan kebutuhan forum dan kebutuhan masyarakat terhadap film dokumenter. Program kerja yang dijalankan oleh FFD adalah sebagai berikut:

  • Festival

Festival merupakan salah satu program rutin dari forum sejak tahun 2002, yang diselenggarakan setiap bulan Desember dan masih berlangsung rutin tiap tahunnya.

  • Penelitian & Kajian

Berkolaborasi dengan para akademisi, kritikus film, dan lembaga dokumenter yang bertujuan mengasah dialektika dari berbagai perkembangan wacana dan gagasan, serta menciptakan dinamika ruang yang lebih luas bagi para penggiat, pelaku, dan pembuat film dokumenter di Indonesia.

  • Pemutaran

Membangun kesadaran akan kebutuhan tontonan alternatif, yang senantiasa dapat mengasah dialektika berbagai wacana dan gagasan, serta membuka ruang dinamis bagi film dokumenter dengan estetika tutur yang kreatif.

  • Lokakarya

Program ini bertujuan untuk mengaktivasi pegiat dokumenter agar mendapat akses pengetahuan dokumenter baik secara akademis maupun praktek. Lokakarya yang diselenggarakan FFD memiliki berbagai macam bentuk seperti schooldoc, masterclass, dan lokakarya produksi.

  • Pengarsipan

Pengumpulan dan pendataan koleksi film yang dimiliki FFD sejak tahun 2002. Sampai saat ini FFD telah mengoleksi kurang lebih 2500 film dokumenter. Program pengarsipan ini bertujuan untuk menjadikan film dokumenter sebagai sumber referensi untuk publik. Arsip yang dimiliki FFD bisa diakses oleh publik untuk kepentingan penelitian, referensi, pemutaran publik, maupun menjadi materi ajar di lembaga pendidikan.

Praktik Pengelolaan Arsip

Dari program-program yang sudah dijalankan FFD dari tahun 2002, baik itu program festival maupun forum, FFD memiliki berbagai macam bentuk dokumen, dokumentasi, dan koleksi film. Oleh karena itu pada tahun 2007, FFD memulai mengelompokkan beberapa dokumen dan koleksi filmnya agar lebih tertata. FFD mulai menyortir tiap dokumen dan mengelompokkannya pada per tahun. Setelah dikelompokkan per tahun, dokumen itu akan disortir dan dikelompokkan sesuai dengan jenis dokumennya. Jenis-jenis dokumen yang dikelompokkan adalah dokumen surat, catatan program, katalog, notulensi, dan laporan. Tiap dokumen-dokumen fisik akan disimpan dalam map-map yang sudah dinamai tiap pengelompokkannya. Sedangkan dokumen-dokumen yang berbentuk softcopy akan dikelompokkan tiap folder dan dinamai tiap pengelompokannya. Data-data fisik yang belum ada softcopy-nya akan didigitalisasi dan akan disimpan pada harddisk sesuai dengan pengelompokannya. Data tersebut akan disimpan pada harddisk administrasi yang sudah disiapkan. Hal yang belum dilakukan dari proses pengarsipan dokumen ini adalah membuat metadata tiap dokumen yang ada. FFD baru melakukan proses penyortiran dan pengelompokkan dari tiap dokumen yang ada.

FFD juga memiliki koleksi data dokumentasi yang terkumpul sejak 2002. Data dokumentasi terdiri dari foto, rekaman audio, dan video. Perlakuan data dokumentasi juga hampir sama dengan dengan dokumen. Data dokumentasi disortir dan dikelompokkan sesuai dengan tahunnya. Setelah itu akan dikelompokkan sesuai jenisnya. Namun yang berbeda pada data dokumentasi adalah penyortiran footage video atau foto dari dokumentasi ini tidak dihapus atau dibuang, melainkan akan disimpan dengan klasifikasi per tahun dan per program, sehingga di kemudian hari footage ini masih bisa dipakai lagi untuk keperluan membuat suatu karya lain. Kemudian data ini akan disimpan pada harddisk dokumentasi yang sudah disiapkan. Pada harddisk dokumentasi ini akan dikelompokkan per tahun dan jenisnya di tiap folder.

Koleksi film yang dimiliki FFD kurang lebih berjumlah 2500 film. Film-film tersebut didapatkan dari penyelenggaraan festival sejak tahun 2002. Film-film yang dikoleksi FFD memiliki bentuk yang beragam mulai dari VHS, VCD, Mini-DV, DVD, dan softcopy. Materi film FFD sebagian besar sudah didigitalisasi dalam format digital yang berbentuk softcopy. Proses pengarsipan koleksi film FFD di awali dengan menerima film-film dari gelaran festival dan program forum. Film-film dari gelaran festival masuk melalui proses call for entry. Proses ini menjadi pool pembuat film untuk memasukkan filmnya ke ajang Festival Film Dokumenter tiap tahunnya. Pada call for entry, pembuat film akan mengisi data filmnya mulai dari judul film, nama sutradara, rumah produksi, sinopsis film, hingga snapshots film yang ia produksi. Data-data yang dimuat dalam call for entry inilah yang dijadikan dasar FFD untuk membuat metadata film-film yang akan diarsipkan. Setelah metadata dikumpulkan, FFD mulai memilah dan mengumpulkan file film yag diterima oleh festival. Film-film tersebut akan dikelompokkan berdasarkan 4 klasifikasi, yakni Finalis Kompetisi (FK), Non-Finalis (NF), Program (PR), dan Koleksi (K). Klasifikasi ini juga yang akan dijadikan landasan dalam membuat call number dari tiap film yang diarsipkan. Film-film tersebut akan dikelompokkan sesuai klasifikasinya, lantas film-film itu akan ditonton kembali untuk melengkapi metadata. Setelah dirasa metadata sudah lengkap, film akan dibuatkan call number sesuai ketentuan sebagai berikut, Untuk call number, penamaan diawali dengan tiga huruf awal film, dilanjutkan dengan tahun produksi film, kemudian dilanjutkan dengan referensi, FK, NF, PR, K, lalu diakhiri dengan dua huruf inisial sutradara film tersebut. Call number dituliskan dengan tanda kurung siku pada awal ([) dan akhir (]). Misalnya, film program Turning 18 oleh Ho Chao-ti dengan tahun produksi 2018 mendapat call number [IVE-2018-PR-HC]. Setelah membuat call number, film akan disimpan dalam harddisk film dengan menggunakan folder dengan call number yang sudah dibuat. Film akan dikelompokkan sesuai abjad judul. Pengelompokkan sesuai abjad judul dipilih karena sebagian besar pengakses lebih banyak menanyakan judul sebagai acuan pencarian, sehingga FFD merasa jika pengelompokannya berdasarkan abjad judul akan lebih mempermudah pencarian. Film yang sudah disimpan di harddisk akan dibuat salinannya dalam bentuk DVD dan akan ditata sesuai dengan call number-nya.

Arsip yang sudah ditata FFD bisa diakses oleh publik, namun akses yang diberikan pada publik masih terbatas. Ada beberapa ketentuan terkait akses publik yang diberikan FFD terkait arsip yang dimiliki oleh FFD. Hal yang paling penting adalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), FFD memiliki HAKI dari arsip dokumen dan dokumentasi karena dua hal tersebut adalah arsip yang dibuat FFD sendiri dari tiap penyelenggaraan programnya, namun dari film-film yang dikoleksi FFD, HAKI dimiliki penuh oleh pembuat filmnya. FFD hanya punya hak untuk meyimpan dan mempergunakannya untuk kepentingan edukasi. Oleh karena itu jika publik ingin mempergunakan arsip film yang dimiliki FFD, publik harus menontonnya di ruangan yang disediakan khusus oleh FFD. Publik yang ingin mengadakan pemutaran dan riset terkait film arsip FFD akan diberikan kontak pembuat filmnya dan diwajibkan untuk meminta ijin  kepada pembuat film terlebih dahulu, jika pembuat film sudah memberikan ijin, FFD baru bisa memberikan akses pada publik yang ingin mengakses.

 

 

Mendukung Eksplorasi Medium Dokumenter.

Forum Film Dokumenter berkomitmen terus mendukung perkembangan kreativitas dan eksplorasi medium, pembelajaran kreatif, distribusi, serta promosi film dokumenter bagi masyarakat luas. FFD percaya bahwa film dokumenter merupakan sarana strategis untuk menumbuhkan empati, menginspirasi masyarakat, serta membentuk perspektif terhadap dunia secara luas. Oleh karena itu, FFD ingin memperkuat eksplorasi terhadap dokumenter dengan membuka akses arsip yang dimiliki FFD seluas-luasnya, terutama arsip filmnya. FFD sedang membangun sebuah platform web yang memuat database film-film yang diarsipkan FFD. Database ini akan memberikan info selengkap-lengkapnya terkait arsip film yang dimiliki FFD, mulai dari nama sutradara, rumah produksi, sinopsis, hingga penghargaan-penghargaan yang pernah diraih oleh film tersebut. Database ini juga akan memuat tulisan-tulisan terkait film-film yang diarsipkan oleh FFD, sehingga teks yang berada dalam film tersebut masih bisa diproduksi ulang dalam bentuk lain dan juga akan memperluas jangkauan nilai-nilai dalam film tersebut. Database ini juga diharapkan bisa menjadi sumber rujukan untuk melakukan riset atau pengajaran terkait topik tertentu yang ada dalam film dokumenter yang diarsipkan FFD. Kerja-kerja yang dilakukan FFD tentunya bisa membangun ekosistem dokumenter yang sehat, karena film tidak akan berhenti di satu masa tertentu namun film juga bisa akan terus menerus diakses untuk kepentingan edukasi secara secara tepat guna.

Melipat Jarak dan Waktu dengan Arsip Seni Visual

Oleh: Hardiwan Prayogo*


Apa yang terjadi ketika IVAA berdiri?

Indonesian Visual Art Archive (IVAA) berdiri pada tahun 1995 dengan nama Yayasan Seni Cemeti (YSC). Kala itu, Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma mengajak Yustina W. Neni, Agung Kurniawan, Raihul Fadjri, Anggi Minarni, dan Koni Herawati untuk mewujudkan gagasan mendirikan satu lembaga yang fokus menangani dokumentasi dan arsip seni rupa. Para inisiator ini diantaranya kini berkedudukan sebagai board member IVAA. Tahun 2007, YSC berubah nama menjadi IVAA. Terlihat perbedaan karena sebagai lembaga kearsipan, tahun 2007 baru benar-benar meletakkan nama arsip sebagai identitas lembaganya. Sejarah singkat mengenai kelembagaan dapat dilihat pada halaman profil website IVAA. Atau jika para pembaca ingin mengetahui sejarah yang lebih komprehensif, bisa membaca buku Folders 10 Tahun Dokumentasi Yayasan Seni Cemeti. Sebagai pembuka, saya ingin memberikan gambaran umum mengenai situasi konteks sosial yang terjadi pada medio 90an.

Jika persoalan dipersempit ke dalam wilayah  seni-budaya, (khususnya seni rupa/ seni visual), pasca berdirinya Galeri Cemeti’, tahun 1988 (sekarang bernama Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat), geliat kesenian memang tumbuh dinamis, terutama inisiatif pameran (tunggal/ kelompok) yang digelar di ruang-ruang non institusi pemerintah dan pendidikan, termasuk lahirnya kolektif seniman berbasis kedaerahan, atau bidang keseniannya. Gerak yang semakin dinamis niscaya dibarengi dengan banyaknya dokumentasi kegiatan atau peristiwanya, atau yang kemudian hari disebut sebagai event ephemera. Pada masa itu, tentu belum ditemukan teknologi digital sebagai media publikasi, katalog, catatan harian atau bahkan ruang pamer. Artinya dokumentasi masih berbentuk analog, benda fisik yang dapat disentuh dan dihirup aromanya. Sekaligus membutuhkan ruang simpan yang memadai.

Ketika para pelaku seni sibuk berkegiatan dan berkarya, mulai ada kegelisahan akan dibawa kemana tumpukan dokumentasi dari banyaknya peristiwa seni yang terjadi, termasuk kekhawatiran bagaimana jika beberapa tahun kemudian dokumen-dokumen ini dibutuhkan lagi. Singkat cerita, lahirlah Yayasan Seni Cemeti (YSC). Pada awalnya memang bertujuan hanya untuk mengelola dokumentasi dan arsip dari Galeri Cemeti. Namun, dalam situasi dan perkembangan wacana yang semakin dinamis terutama pasca reformasi, YSC memulai perburuan dokumentasi dalam jangkauan yang lebih luas. Meski memang masih terkonsentrasi di sekitar Yogyakarta. Tidak menjadi masalah, karena IVAA memang berambisi menjadi pusat dokumentasi dan arsip terlengkap di Indonesia. Ambisiusitas seperti itu sepatutnya menjadi tugas lembaga resmi milik negara, bukan lembaga arsip partikelir berbasis komunitas seperti IVAA.

Bagaimana IVAA bekerja?

Selama 25 tahun berdiri, dengan fokus pada arsip dan seni visual, kerja IVAA tidak terputus hanya pada perkara seni. Tentu ini, didasari atas keyakinan bahwa kesenian selalu terikat pada isu konteks sosial yang mengitarinya, IVAA paling sering memulai kerja pengarsipan dari dokumentasi peristiwa seni, baik itu pameran, diskusi, performance art dan lain sebagainya. Dokumentasi yang dimaksud mulai dari materi audio visual meliputi foto dan video pelaksanaan acara, termasuk materi berbasis teks seperti katalog, poster, hingga liputan media. Secara singkat sebaran ragam materi arsip digital IVAA yaitu foto (jpg, tiff, png), video (mp4, MTS, mpeg), audio (mp3, wav), dan teks (pdf, doc, rtf). Seluruhnya disimpan pada hardisk eksternal terlebih dahulu, untuk kemudian dicatat sebagai arsip yang diterima. Penerimaan (atau akuisisi) sumber arsip IVAA bisa berasal dari dokumentasi IVAA, sumbangan/ donasi seniman/ keluarga seniman/ peneliti atau siapapun, dan digitalisasi file dari format analog. IVAA juga sampai saat ini masih merawat arsip analog (positif/ negatif film, vhs, mini-dv, cassette, kliping dari tahun 1950-an), yang dikumpulkan dari tahun 1995-2006. IVAA baru benar-benar beralih ke format digital pada tahun 2007, sekaligus mulai membuat portal arsip online.

Arsip digital “mentah” ini kemudian diolah sesuai dengan karakteristik materinya masing-masing, sampai akhirnya dipublikasikan melalui kanal arsip online IVAA, yaitu http://archive.ivaa-online.org/. Pada website ini terlihat bagaimana IVAA membagi arsipnya dalam 4 kategori utama yaitu:

  1. Pelaku seni
  2. Karya seni
  3. Peristiwa seni (event)
  4. Koleksi dokumen

Selain online archive, publik juga bisa melihat koleksi dokumentasi video IVAA pada kanal youtube Arsip Indonesian Visual Art Archive.

Seluruh arsip yang berada di website berarti sudah melalui proses persetujuan dari pemilik untuk dipublikasikan. Dengan kata lain bisa diakses siapapun dan dimanapun secara bebas. Hanya saja untuk mendapat file dengan resolusi tinggi, atau beberapa arsip dengan ketentuan khusus, bisa menghubungi arsiparis ivaa melalui email archive@ivaa-online.org. Demi keamanan data, arsip digital yang telah selesai diolah dan diunggah di http://archive.ivaa-online.org/ disimpan dalam server pribadi milik IVAA. Meski ini juga menuntut konsekuensi teknis yang cukup rumit.

Kerja pengumpulan dan pengelolaan arsip ini selalu dibarengi dengan program diseminasi dan produksi pengetahuan. Salah satu yang rutin setiap 2 bulan adalah penerbitan e-newsletter IVAA. Tahun 2017, IVAA menggelar Festival Arsip “Kuasa Ingatan”, sebuah upaya untuk mendemistifikasi arsip dalam sajian yang lebih populer. Catatan pasca-festival ini bisa dibaca melalui buku Menakar Kuasa Ingatan: Catatan Kritis Festival Arsip IVAA 2017. Singkatnya, selain pengumpulan, kerja produksi pengetahun dalam bentuk riset, workshop, hingga diskusi juga turut serta digelar oleh IVAA agar pembacaan atas semesta arsip seni visual terus bergulir. Salah satu hasil riset yang bisa diunduh gratis adalah Membaca Arsip, Membongkar Serpihan Friksi, Ideologi, Kontestasi (Pemenang Hibah KARYA! 2013: Workshop Penulisan Sejarah Kritis Seni Rupa Kontemporer). Selain itu, juga terdapat lebih dari 15.000 koleksi buku yang dapat diakses langsung di perpustakaan IVAA. Buka setiap hari Senin-Jumat jam 9 pagi hingga 5 sore. Koleksi buku ini terdiri dari majalah, kliping, komik, buku referensi, dan katalog pameran. Koleksi katalog ini menjadi salah satu signature dari perpustakaan IVAA.

Seperempat abad kerja pengarsipan seni visual

Keempat kategori utama arsip IVAA yang sudah disebutkan sebelumnya, sejatinya memiliki logika yang saling terkait satu sama lain. Poin ini bisa merujuk pada satu ungkapan dari buku karangan Mona Lohanda, yang berjudul Membaca Sumber Menulis Sejarah. Mona menyatakan bahwa arsip adalah sumber paling primer dari penulisan sejarah, karena arsip diciptakan bersamaan dengan terjadinya suatu peristiwa. Sehingga arsip memiliki nilai informasi (informational value) dan nilai bukti (evidence value). Setiap material arsip setidaknya menyimpan satu informasi, dimana dia akan menjadi bukti ketika dijalin dengan informasi pada arsip lainnya.

Sedari yang awalnya hanya berinisiatif mengumpulkan tanpa tahu akan jadi apa kedepannya, hanya berbekal keyakinan “Mungkin nanti ada gunanya, atau barangkali ada peneliti atau seniman yang butuh”. Semacam selalu ada bayangan akan masa depan, dan apa yang dilakukan pada hari ini akan menjadi masa lalu kelak dikemudian hari. Seperti yang pernah diungkapkan Agung Kurniawan dalam pengantar buku Folders 10 Tahun Dokumentasi Yayasan Seni Cemeti, bahwa arsip adalah obat mujarab bagi ingatan jangka pendek kita.

Bersama dengan itu pula kerja pengarsipan IVAA terus berevolusi bersama dengan waktu. Seperti frasa yang kerap kita dengar, yaitu quarter life crisis yang kerap mendera manusia ketika dewasa menjelang tiba, pertanyaan-pertanyaan reflektif atas kerja pengarsipan itu kian kerap dialamatkan pada lembaga arsip yang tahun 2020 ini memasuki usia 25 tahun.

Apakah kerja pengarsipan yang selama ini IVAA lakukan memang sesuai dengan kultur produksi pengetahuan yang beredar di masyarakat kita? Problem apa yang bisa saja muncul ketika meyakini arsip sebagai sumber informasi dan bukti? Apa konsekuensi jangka panjang dan ideologis dari pemberian hirarki kualitas suatu sumber?

Kekhawatiran bahwa lembaga arsip bisa saja ikut berkontribusi dalam glorifikasi narasi utama akan tetap membayangi. Keluhan atas arsip yang tidak mendapat banyak perhatian, juga sudah menjadi cerita turun-temurun antar generasi. Angan-angan bahwa pengetahuan dan penulisan, atau setidaknya dokumentasi sejarah seni Indonesia bisa lebih baik seandainya kesadaran pengarsipan muncul lebih awal juga bukan premis baru. Belum lagi ketika semakin terang bahwa pengarsipan selalu politis karena sifatnya yang terbatas hanya mampu menyimpan ingatan-ingatan tertentu. Berbagai pertanyaan tak terjawab ini masih menjadi suluh untuk terus melihat arsip sebagai bagian dari siklus kehidupan, bukan ujung dari sebuah perjalanan.

*Penulis adalah arsiparis IVAA. Bekerja di IVAA sejak tahun 2018.

Radio Sebagai Sistem Peringatan Dini dari Singapore Bureau*

Oleh: Lillyana Mulya


Radio, dalam sejarah Indonesia memang memiliki posisi yang begitu signifikan dalam mengalirkan informasi atau sebagai alat komunikasi pada masa perjuangan, namun kajian tentangnya masih sedikit dilakukan (Widya F.N.: 2016). Di kalangan bumiputera, perjumpaan dengan radio dimulai sejak masa Hindia Belanda. Tercatat kalangan bangsawan Mangkunegaran adalah bumiputera pertama yang mendirikan stasiun radio sendiri yang disebut dengan Solosche Radio Vereniging (SRV) pada tahun 1934. Selanjutnya, dalam perannya sebagai media komunikasi, radio menyiarkan pidato-pidato, lagu dan acara budaya yang mengobarkan semangat ke-Indonesiaan selama pendudukan Jepang. Pendirian Radio Republik Indonesia sebagai radio pertama milik Indonesia juga tak lepas dari peran pegawai bumiputera di stasiun radio Hoso Kanri Kyoku (stasiun radio pusat yang saat itu dikuasai Jepang).

Dalam kajian populernya yang berjudul Engineers of Happy Land, Mrázek (2006) mengilustrasikan euphoria ketika radio pertama kali beroperasi di Hindia Belanda, baik bagi warga Eropa maupun bumiputera. Dalam bab berjudul “Mari Menjadi Mekanik Radio”, radio disebut memiliki daya jangkau lebih dari telegram, sehingga dapat mempertemukan Timur dan Barat (Waar Oost en West elkaar ontmoeten) melalui transmisi suara. Keberhasilan pertemuan melalui transmisi suara paling fenomenal terbukti dalam praktek tarian sekelompok bangsawan Jawa saat menari di depan Ratu Wilhelmina di Den Haag dengan iringan gamelan yang dimainkan secara live di Keraton Surakarta pada tahun 1936. Dalam bahasa Mrázek, radio telah “…memotong bentang alam Hindia Belanda tanpa membangun bentang alam baru….”. Sebuah simbol perkembangan komunikasi yang meruntuhkan jarak.

Sebelum kepemilikan radio oleh bumiputera, stasiun radio telah didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di beberapa titik. Pemancar utama di Pulau Jawa yaitu stasiun radio Malabar yang terletak di Bandung. Stasiun menjadi pusat informasi, tidak hanya untuk Hindia Belanda, namun menghubungkan Hindia Belanda, Asia Tenggara dan Eropa dengan menggunakan spektrum gelombang panjang (long wave/LW).

Gambar 1. Stasiun radio Malabar tahun 1927.

(sumber: https://www.willemsmithistorie.nl/index.php/historische-nieuwsflits/300-eerste-radiostation-malabar-1923-2013)

Pertanyaannya, apakah radio saat itu sama seperti radio yang kita tau sekarang? Radio adalah sebutan untuk semua komunikasi yang menggunakan gelombang radio (gelombang Hertzian). Gelombang ini diatur dalam pembagian frekuensi yang digunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda, misal untuk dinas komunikasi ruang angkasa, navigasi maritim, penerbangan, pelabuhan, bandara, dinas siaran dan lain sebagainya. Radio komersil yang dapat didengarkan masyarakat umum masuk pada dinas siaran. Sementara komunikasi dinas lain masuk dalam tipe komunikasi privat, sebab tidak begitu saja dapat diperdengarkan kepada khalayak.

Dibandingkan dengan media penyiaran lain seperti koran dan televisi (yang ditemukan belakangan), komunikasi via radio masih menjadi komunikasi paling cepat. Kecepatan transmisi ini menjadikannya media utama untuk menyebarkan informasi penting, seperti peringatan bahaya. Komunikasi (yang justru terbatas pada) audio ini juga cukup efektif sebab dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain, satu yang paling utama adalah mengemudi. Sehingga alat ini menjadi media komunikasi utama dalam sarana transportasi darat, laut, udara dan luar angkasa.

Efektivitas radio untuk mentranmisikan informasi tidak terbatas digunakan dalam lingkup transportasi, namun juga dimanfaatkan oleh pusat informasi kesehatan untuk program peringatan dini (early warning system). Dalam sejarah, kasus sukses tentang sistem peringatan dini yang ditransmisikan via radio terjadi di Asia ketika Singapore Bureau beroperasi. Didirikan sebagai wakil dari League of Nations Health Organization (kini WHO) untuk daerah timur, Singapore Bureau menjadi ‘epidemiological intelligence service’ yang pertama. Pendirian ini merupakan dampak dari merebaknya epidemi pasca Perang Dunia I seperti flu Spanyol. Melalui dua stasiun utama, yaitu Saigon (Ho Chi Minh City-Vietnam) dan Malabar (Bandung-Hindia Belanda), Singapore Bureau pada awal waktu menyebarkan informasi kesehatan dan penyakit-penyakit tropis ke seluruh dunia.

Laporan yang disebarkan (baik melalui buletin mingguan via telegraf maupun radio) meliputi informasi penyakit kolera, cacar air, flek, meningitis, lepra, malaria, tipes dan penyakit lainnya. Informasi tambahan yang berkaitan dengan penyakit tersebut antara lain ketentuan karantina, perkara administrasi dan pelayanan kesehatan, data pelayaran, kesehatan peserta Haji, dan penyakit kelamin para pelayar hingga infeksi karena wabah tikus. Hingga tahun 1930an, Singapore Bureau telah terhubung kepada 180 pelabuhan sehingga dapat mentransmisikan buletin secara harian melalui 9 stasiun radio di Asia.

Melalui transmisi radio wireless, otoritas pelabuhan yang menerima informasi itu dapat memberlakukan karantina bagi kapal yang membawa penyakit infeksius. Dengan karantina ini, outbreaks dapat dihindari sehingga mencegah kematian karena penyebaran penyakit. Ketika kapal yang terinfeksi diidentifikasi, otoritas pelabuhan juga dapat mengetahui kapal mana yang tidak terinfeksi sehingga karantina tidak perlu dilakukan pada kapal-kapal tersebut. Singapore Bureau juga mengembangkan koneksi jaringan dengan radio kapal di laut hingga bandar udara, sehingga dapat mengirimkan informasi tentang kesehatan dan penyakit pada penumpang pesawat udara.

Relasi kekinian

Radio telah menjadi awal dari transformasi dalam komunikasi berbasis audio. Jika penemuan gramophone telah menjadi media rekam audio satu arah, maka radio menjadi awal komunikasi dua arah tanpa kabel.

Kini, radio memang kalah pamor dari televisi dan internet sebagai penyedia jasa audiovisual. Namun, jaringan radio masih menemukan sustainabilitasnya di kalangan pengemudi kendaraan, sebab radio memfungsikan telinga lebih utama daripada visual. Pada akhirnya, radio adalah kemenangan informasi bagi mereka yang tetap bergerak. Karakter informasi pada masing-masing media (baik radio, televisi maupun media cetak) dapat menjadi kajian lebih lanjut untuk mengkaitkan signifikasi informasi bagi masyarakat/organisasi dan urgensi penyimpanannya melalui konsep kearsipan. Pembagian frekuensi juga dapat menjadi materi kajian tentang kebijakan akses terhadap informasi yang disebarkan melalui radio, dan interupsi yang mungkin terjadi saat tranmisi dilakukan. Kajian pendek terhadap media lain, baca: Televisi: media berbasis waktu dan para penontonnya.

*Sebagian besar material dalam artikel ini telah diterbitkan dalam artikel The Singapore Bureau: lesson from Asia’s first early warning system for epidemic diseases yang ditulis oleh Stefan Hell dan dimuat pada website New Mandala tanggal 6 Mei 2020.

Referensi:

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No.13 Tahun 2018 tentang Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia.

Hell, Stefan. 2020. “The Singapore Bureau: lesson from Asia’s first early warning system for epidemic diseases” in New Mandala. Canberra: Australian National University: Coral Bell School of Asia Pasific Affairs. Link: https://www.newmandala.org/singapore-bureau/

Wenri Wanhar. “Gelombang Sejarah Radio dalam Historia”. Diakses tanggal 11 Mei 2020. Link: https://historia.id/politik/articles/gelombang-sejarah-radio-PG5oD

Widya Fitria Ningsih. “the Forgotten Medium: Hoso Kanri Kyoku and the Beginning of National Broadcasting in Indonesia” dalam Lembaran Sejarah Vol.12 No.1 (April 2016). Yogyakarta: Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada.

Nur Hidayah Perwitasari. “Sejarah Hari Radio Nasional & Lahirnya RRi tanggal 11 September” dalam Tirto 11 September 2019. Diakses tanggal 11 Mei 2020. Link: https://tirto.id/sejarah-hari-radio-nasional-lahirnya-rri-tanggal-11-september-ehSH

Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


Lillyana Mulya adalah pengajar di Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM. Saat ini menempuh pendidikan Doktor, di University of Amsterdam,  Archival Studies, Amsterdam School for Heritage, Memory, and Material Culture.