Hoax atau pemalsuan berita dan informasi telah menjadi santapan harian bagi penduduk dunia. Beragam riset yang dilakukan akademisi hingga menghasilkan aneka penangkalnya pun seolah belum mampu menghapus fenomena hoax. Sadar akan bahayanya dan rumitnya memutus mata rantai hoax, sebagian masyarakat beraksi dengan media komunitas untuk membendung arus hoax. Dalam konteks Islam, hoax seringkali dikaitkan dengan fitnah akhir zaman dan tabiat buruk manusia yang semakin sulit dikekang, yaitu tidak mampu menahan nafsu lidah untuk bergunjing dan berbicara di luar batas pengetahuannya.
2018
Arsip dan kesenian, di Indonesia, seolah tak saling berkaitan. Arsip merupakan kerja administratif. Pola pikir yang masih terus ditanamkan oleh sebagian praktisi dan akademisi di Indonesia. Sedangkan kesenian adalah hal lain yang tak ada sangkut paut secara langsung dengan administrasi. Namun bagi Indonesia Visual Arts Archive (IVAA), arsip dan kesenian merupakan dua sisi dalam sebuah koin. Bagi kesenian, arsip menjadi sarana refleksi sekaligus upaya penyelamatan memori fenomenal yang sulit diulang.
Arsip tak hanya berkutat pada dokumen administrasi. Pun arsip tak sekedar dipahami sebagai jejak masa lalu yang dibuka pada momen-momen tertentu. Arsip juga menjadi bagian dari dunia sastra. Hingga saat ini memang belum ditemukan data statistik berapa jumlah karya sastra yang membahas tentang arsip, atau menjadikan arsip sebagai acuan utama. Tapi kita dapat mencermati beberapa karya sastra, bahkan yang paling legend hingga saat ini, bersangkut paut dengan arsip.
Bagi para penikmat sastra legendaris, tak lengkap kiranya jika belum mengoleksi dan membaca tuntas Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Kebiasaannya mengarsipkan fenomena-fenomena sosial yang terekam dalam berbagai surat kabar telah membantu Pram, melahirkan sederet karya klasik tak tergantikan. Salah satu yang secara nyata menyandarkan kisah pada arsip adalah Rumah Kaca. Novel keempat dari Tetralogi Pulau Buru masih bercerita tentang Minke, namun dari sudut pandang pejabat kolonial. Pram menyajikan alur bagaimana peran lembaga kearsipan sebagai sebuah bentuk politik Rumah Kaca yang dapat menghancurkan cita-cita dan mimpi kaum pribumi. Arsip yang menjadi rekam jejak perjuangan Minke dijadikan sebagai “alat” untuk membredel kegiatan-kegiatan politisnya. Apakah spirit kolonial itu masih ada? Silakan cermati berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga kearsipan kita.
Oleh: Tsabit Alayk Ridholah
Ketika kita mendengar kata arsip, maka pikiran kita langsung terbesit pada tumpukan kertas didalam lemari tua yang jarang dilihat. Ketika kita mendengar kata arsip, maka secara otomatis kita akan mengarah pada kertas usang sebagai bukti administrasi. Padahal, arsip sebagai rekaman informasi tidak layak dan tidak seharusnya diperilakukan seperti itu. Pada zaman sekarang, dimana internet sudah tidak menjadi kepentingan tersier lagi, google dan sosial media adalah konsumsi sehari-hari masyarakat. Memang benar adanya bahwa terkadang kita melupakan arsip milik pribadi, baik itu lupa menyimpan atau bahkan hilang. Namun pada intinya, arsip sangat dibutuhkan. Bahkan jika di level negara, jika arsip vital yang hilang, maka urusannya adalah legalitas suatu daerah, hingga bisa saja diklaim milik negara lain seperti kasus Sipadan-Ligitan. Mantan Presiden Panama, Richardo J. Alfaro mengatakan bahwa “pemerintah tanpa arsip ibarat tentara tanpa senjata, dokter tanpa obat, petani tanpa benih, tukang tanpa alat. Arsip memberikan kesaksian terhadap keberhasilan, kegagalan, pertumbuhan dan kejayaan bangsa”. Inilah bukti dari pentingnya arsip menurut mantan Presiden yang “arsip” rahasia negaranya terbongkar.
Oleh: Tsabit Alayk Ridholah
Siapa yang tak kenal instagram? Sosial media yang satu ini memang sedang booming karena beberapa fitur terbarunya yang terus berkembang. Pengguna Instagram inipun tidak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Menurut hasil survei WeAreSocial.net dan Hootsuite, Instagram merupakan platform media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak ke tujuh di dunia. Selain sebagai jejaring sosial untuk berbagi foto, Instagram digunakan untuk memasarkan produk bisnis. Total pengguna Instagram di Indonesia sudah melebihi 57 Juta dan di dunia mencapai angka 800 juta pada Januari 2018 serta akan terus meronjak naik2. Penulis melihat aplikasi Instagram yang ada di PlayStore (pengguna android) sudah didownload oleh 1 Billion orang tau lebih dari 1 Milyar. Wow! Sebuah angka yang fantastis.
Berbicara mengenai arsip, dalam pemahaman Indonesia, masih berpaku pada kertas-kertas kerja yang ada di lingkungan perkantoran. Paradigma tersebut dapat dikatakan masih mendominasi alam pikiran masyarakat kita. Berbeda halnya jika berdiskusi arsip dengan kolega di lain benua, maka arsip tidak hanya berkorelasi dengan perkantoran, namun hingga pada tataran keluarga. Salah satu yang menarik dan masih sedikit dikaji oleh bangsa kita adalah soal arsip keluarga. Padahal dalam perundang-undangan, arsip keluarga telah disinggung secara implisit dalam kata perseorangan.
Berbicara mengenai pengelolaan arsip tidak hanya terbatas pada aspek pengolahan fisik dan informasi. Arsip yang telah diolah harus mampu untuk ditemukan kembali secara efektif dan efisien. Selain itu, arsip yang telah diolah pun harus dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat, tidak hanya pencipta arsip maupun kalangan akademisi. Oleh sebab itu, penting bagi lembaga kearsipan untuk dapat merancang model pemanfaatan arsip yang tepat bagi masyarakat luas. Pemanfaatan arsip bagi masyarakat dalam ilmu kearsipan memiliki dua istilah, yaitu public program dan outreach program. Sebagian akademisi menggunakan istilah user education (Pederson dalam Ellis, 1994). Pederson (dalam Bettington, 2004) pun menambahkan istilah advocacy. Dalam konteks Indonesia, wujud nyata dari public programs atau program pemasyarakatan dapat meliputi pameran arsip, penyelamatan arsip paska bencana, mobil sadar arsip, wisata arsip, beragam seminar dan workshop kearsipan, dan berbagai kegiatan lainnya. Pada dasarnya, program pemasyarakatan tersebut bertujuan mendekatkan masyarakat dengan kerja-kerja pengarsipan yang dilakukan oleh lembaga kearsipan maupun komunitas kearsipan. Namun demikian, program pemasyarakatan yang telah diselenggarakan pun dinilai belum mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kearsipan. Apabila berkaca pada kondisi tersebut, buku berjudul Archives&Manuscripts: Public Programs karya Ann E. Pederson dan Gail Farr Casterline menjadi wajib untuk diimplementasikan dan dikritisi.
Bagi kita sebagai warga negara, informasi digital sangatlah penting. Hal ini di antaranya untuk mencari sumber referensi, mencari data, dan lain sebagainya. Didalam informasi yang kita cari tersebut terkadang mengandung sesuatu kasus yang sudah lampau dan juga sudah selesai (habis masa perkaranya). Orang dalam kasus tersebut seharusnya bisa dihapuskan nama dan beritanya, karena kasus tersebut telah selesai (Right to be Forgotten). Right to be forgotten merupakan hak untuk dilupakan dari publik terkait kasus yang pernah dialami seseorang dimasa lampau. Jika kita lihat di negara lain, pada 2010, seorang warga negara Spanyol mengajukan gugatan terhadap media massa dan Google ke Pengadilan Spanyol. Ia menggugat karena merasa bahwa privasinya terganggu atas informasi kasus yang masih ditemukan di Google, padahal kasus itu sudah dinyatakan selesai (resolved) beberapa tahun yang lampau, sehingga informasi yang ada di Google tersebut sudah tidak relevan. Ia lantas mengajukan permohonan supaya pengadilan meminta media massa dan Google menghapus konten informasi yang telah merugikannya itu. Pengadilan Spanyol kemudian meminta pendapat dari Pengadilan Uni Eropa, apakah Peraturan tentang Perlindungan Data Uni Eropa 1995 berlaku untuk mesin pencari seperti Google; apakah aturan itu berlaku untuk Google Spanyol mengingat bahwa server Google berada di Amerika Serikat; dan apakah penggugat mempunyai hak untuk meminta agar data dirinya dihapuskan dari Google (right to be forgotten). Setelah berproses selama empat tahun, Pengadilan Uni Eropa dalam putusannya pada Mei 2014 menyatakan bahwa meskipun server Google ada di AS, ia terikat pada Peraturan tentang Perlindungan Data Pribadi, karena Google mempunyai cabang di Spanyol; Google harus mematuhi aturan tersebut; dan penggugat mempunyai hak untuk dilupakan (dalam kondisi tertentu) dengan meminta Google menghapus informasi tentang dirinya. Namun Pengadilan Uni Eropa menegaskan, ketentuan untuk menghapus informasi tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak relevan (irrelevant), tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive).
Google sebenarnya menyimpan kekhawatiran akan terjadi penyalahguanaan hak dan juga arsip elektronik. Terlebih jika aturan ini diberlakukan di negara-negara yang belum maju dan cenderung korup. Kekhawatiran itu diutarakan langsung oleh pendiri Google, Larry Page. Sebagai contoh, pianis Dejan Lazic pernah mencoba menggunakan Hak untuk dilupakan ini demi bisa menghapus ulasan negatif tentang penampilannya dari The Washington Post. Lazic mengklaim bahwa kritik itu memfitnah, kejam, ofensif, dan tidak relevan untuk seni. Google tentu menolak menghapus jenis tautan yang seperti itu. Sejak tuntutan Cosjeta dikabulkan, permintaan penghapusan tautan yang diterima Google meningkat. Berdasarkan data keterbukaan dari situs resmi Google, jumlah tautan yang sudah dievaluasi untuk dihapus tercatat sebanyak 1,63 juta. Ia berasal dari 523.394 permintaan. Tautan dari Facebook menjadi yang terbanyak diminta untuk dihapus, yakni mencapai 13.852 tautan.
Bagaimana jika di Indonesia? Google Search Engine atau mesin pencari Google saat ini berfungsi sebagai mesin pencari semua jenis informasi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hasil perubahan telah resmi berlaku kemarin (28 November 2016). Di dalam perubahannya, salah satunya diatur tentang “right to be forgotten” di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk dihapuskan informasi tentang dirinya di media internet. Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Teguh Arifiyadi menjelaskan bahwa penerapan right to be forgotten di Indonesia akan berbeda dengan negara lain. Penghapusan konten di Uni Eropa atau Rusia atau negara lainnya yang menerapkan hanya dilakukan sebatas dalam mesin pencari (search engine), di Indonesia nantinya tidak akan seperti itu. implementasi right to be forgotten di Indonesia nantinya tidak hanya pada mesin pencari (search engine). Penghapusan konten yang dianggap tidak relevan berdasarkan penetapan pengadilan langsung dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik yang memegang kendali langsung atas suatu konten tertentu. Hal tersebut tegas disebut dalam Pasal 26 ayat (3) revisi UU ITE: “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”. Frasa „berada di bawah kendalinya‟ menjadi penegasan dimana implementasi di Indonesia tidak hanya pada mesin pencari. Selain itu, perbedaan penerapan right to be forgotten yang lain adalah soal luasnya cakupan informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan penghapusan oleh seseorang. Dalam revisi UU ITE, konten yang dapat dimohonkan penghapusan tak hanya mengenai konten yang berkaitan dengan data pribadi, namun lebih luas dari hal itu. Apapun informasi atau dokumen elektronik sepanjang dinilai tidak relevan, maka yang bersangkutan dapat meminta penghapusan dengan menunggu penetapan pengadilan. Selain itu, hak untuk dilupakan ini masih banyak menjadi perbincangan di Indonesia karena dianggap “berbenturan” dengan hak atas informasi. Yang harus dipelajari dari Hak Asasi Manusia (HAM) ini adalah hak-hak yang dibatasi oleh “asasi” manusia. Jadi tidak semua keinginan dari masyarakat harus terpenuhi. Tetapi yang jelas ada batasan atau koridor-koridor yang harus kita patuhi terlebih dahulu sebelum kita mendapatkan hak yang kita inginkan. Begitu pula dengan right to be forgottem ini, harus ada prosedur serta tata cara tertentu agar keinginan untuk dilupakannya dapat dikabulkan. Satu hal yang terpenting, Indonesia sebagai negara hukum sudah berusaha untuk membuat ataupun menciptakan suatu aturan main agar masyarakatnya merasa aman dan terlindungi. Hanya saja hukum ini belum begitu sempurna karena ada beberapa poin pembahasan yang harus ditelaah lebih dalam lagi baik dari segi hukum, teknologi informasi, maupun kearsipan. Hak untuk dilupakan ini adalah sebuah konsep yang sudah didiskusikan dan dipraktikkan di Eropa dan Argentina sejak 2006. Ia memberikan hak kepada setiap individu untuk meminta mesin pencari menghapus tautan berkaitan dengan data pribadi mereka. Menurut banyak kabar, penerapan hak untuk dilupakan di Indonesia ini hanya sebatas pencarian akses yang akan dipersulit diwilayah domain atau negara yang bersangkutan. Tetapi masih bisa diakses oleh negara diluar domain dan kontennya masih tersedia. kewenangan pemutusan akses oleh Kominfo secara teknis hanya Geo Blocking, artinya suatu konten hanya terblokir sebatas wilayah Indonesia. Apabila diakses dari luar Indonesia, maka konten tersebut masih tetap bisa diakses. Boleh jadi, secara efektivitas tidak terlalu berdampak namun setidaknya bisa meredam upaya akses dari siapapun agar hak pribadi masih tetap terlindungi.
Indonesia telah memasuki era digital. Hampir setiap celah keseharian kita menggunakan perangkat digital. Fenomena masifnya digitalisasi pun merambah cepat di sektor dokumentasi dan informasi, termasuk di dalamnya bidang kearsipan. Pemanfaatan teknologi di bidang kearsipan, pada mulanya difokuskan pada upaya optimalisasi penelusuran informasi yang terekam dalam arsip. Namun demikian, kebutuhan informasi publik tidak hanya cukup dengan mengandalkan banyak otomasi penelusuran yang bergerak mandiri. Masing-masing subdokumen, seperti arsip, perpustakaan, dan museum, bahkan galeri, memiliki sistem penelusurannya masing-masing. Hal tersebut tentu belum menjawab efektivitas dan efisiensi publik dalam mendapatkan informasi dengan cepat, tepat, dan sederhana.
[ngg_images source=”galleries” container_ids=”1″ display_type=”photocrati-nextgen_basic_thumbnails” override_thumbnail_settings=”0″ thumbnail_width=”240″ thumbnail_height=”160″ thumbnail_crop=”1″ images_per_page=”20″ number_of_columns=”0″ ajax_pagination=”0″ show_all_in_lightbox=”0″ use_imagebrowser_effect=”0″ show_slideshow_link=”0″ slideshow_link_text=”[Show slideshow]” order_by=”sortorder” order_direction=”ASC” returns=”included” maximum_entity_count=”500″]