Hoax atau pemalsuan berita dan informasi telah menjadi santapan harian bagi penduduk dunia. Beragam riset yang dilakukan akademisi hingga menghasilkan aneka penangkalnya pun seolah belum mampu menghapus fenomena hoax. Sadar akan bahayanya dan rumitnya memutus mata rantai hoax, sebagian masyarakat beraksi dengan media komunitas untuk membendung arus hoax. Dalam konteks Islam, hoax seringkali dikaitkan dengan fitnah akhir zaman dan tabiat buruk manusia yang semakin sulit dikekang, yaitu tidak mampu menahan nafsu lidah untuk bergunjing dan berbicara di luar batas pengetahuannya.
Jika masyarakat modern baru memikirkan akar atau asal muasal hoax, maka Al Qur’an telah menjabarkan pangkal dari segala bentuk hoax. Salah satu yang selalu menjadi rujukan adalah QS Al Hujurat ayat 6: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasiq dengan membawa berita, maka periksalah dahulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah kalian lakukan”. Siapakah orang fasiq? Dalam sebuah kajian dijelaskan bahwa orang fasiq adalah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah, orang yang bermaksiat. Ada dua bentuk faasiq, yaitu faasiq besar (menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam) dan faasiq kecil (berbohong, mengadu domba, dan memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu). Maka, jagalah selalu lisan kita dari sifat bohong, berkata-kata yang mengadu domba antar sesama, maupun mengutamakan berprasangka buruk tanpa didahului tabayyun. Apalagi di zaman yang serba mudah dengan adanya media sosial. Hoax semakin merajalela manakala manusia-manusia terdidik pun enggan mawas diri. Manusia terdidik yang dengan ringannya berpendapat mengenai banyak hal padahal ia tak menguasai betul perkaranya, tak paham betul ilmu untuk menganalisis maupun mencari solusi. Hanya berpegang pada pengetahuan yang sifatnya dangkal, seperti baru membaca satu hingga dua buku, belum bertanya pada pakar, dan sejenisnya. Manusia yang merasa dirinya pintar dengan serenteng gelar sehingga merasa berhak untuk berpendapat tentang banyak hal. Sifat-sifat demikianlah yang sejatinya memantik munculnya hoax hingga sulit untuk diminimalisasi, kecuali kita mampu menahan diri, khususnya lisan para akademisi.
Berbicara mengenai hoax yang bermula dari akademisi, ilmu hadist pada dasarnya telah mengajarkan bagaimana meminimalisasi hoax. Sebagaimana diketahui bahwa hadist dikategorikan dalam berbagai jenis mulai dari hadist shahih hingga hadist dhaif atau palsu. Masing-masingnya pun diklasifikasikan kembali menurut derajat keshahihan atau kedhaifannya. Adapun yang perlu dicermati adalah bagaimana menyaring dan mengklasifikasikan hadist. Salah satu yang wajib diperhatikan adalah keadaan para perawi atau akademisi hadist. Yang dimaksud keadaan perawi tidak merujuk pada keadaan fisik, tetapi pada keadaan psikis atau tabiat atau kepribadian perawi, apakah ia termasuk ahli maksiat, pakar kebohongan, tukang fitnah, atau justru sebaliknya, ahli ibadah yang ketat menjaga diri dari segala kemaksiatan.
Selain melihat pada kondisi atau keadaan pembawa berita dan informasi, untuk mengetahui apakah suatu berita atau informasi termasuk hoax atau benar adanya, syariat Islam memberikan solusi dengan tabayyun atau klarifikasi konten dan tatsabbut atau berhati-hati dan cermat. Tabayyun artinya memeriksa dengan teliti, sedangkan tatsabbut bermakna berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, melihat dengan keilmuan yang dalam terhadap sebuah peristiwa dan kabar yang datang, sampai menjadi jelas dan terang baginya. Tabayyun dikatakan berhasil apabila mampu mengungkapkan fakta yang dapat dijamin tingkat akurasinya, dan berasal dari proses analisis yang jernih. Adapun hikmah dari tabayyun diantaranya:
- Memperluas wawasan, karena salah satu aspek dalam tabayyun adalah melakukan telaah dengan membandingkan suatu data dengan data yang lain, dan mengkaitkan dengan sekian banyak referensi, sebelum akhirnya menarik kesimpulan;
- Mengusung pendalaman pengetahuan, mengetahui secara mendalam atau sesuatu masalah akan menumbuhkan kearifan tersendiri dalam bertindak;
- Pengujian atas kebenaran informasi, terlebih lagi, informasi yang hanya berdasar isu, sudah seharusnya dikonfirmasi, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman
Kiranya para akademisi merenungi kalimat berikut: waspadalah terhadap pertanyaan yang memancing, karena tidak semua penanya bermaksud baik kepada yang ditanya, terutama ketika menghukumi seseorang. Oleh karena itu, tidak semua pertanyaan harus dijawab. Bahkan menjawab ‘saya tidak tahu’ adalah separuh daripada ilmu.
Wallahu’alam bishawwab.
Referensi: