Arsip dan kesenian, di Indonesia, seolah tak saling berkaitan. Arsip merupakan kerja administratif. Pola pikir yang masih terus ditanamkan oleh sebagian praktisi dan akademisi di Indonesia. Sedangkan kesenian adalah hal lain yang tak ada sangkut paut secara langsung dengan administrasi. Namun bagi Indonesia Visual Arts Archive (IVAA), arsip dan kesenian merupakan dua sisi dalam sebuah koin. Bagi kesenian, arsip menjadi sarana refleksi sekaligus upaya penyelamatan memori fenomenal yang sulit diulang.
Kesadaran para pegiat seni terkait arsip dan pengarsipan sejalan dengan berdirinya Yayasan Cemeti pada 1995. Manakala para praktisi dan akademisi bidang kearsipan masih berkutat pada arsip-arsip administratif, pegiat seni di Yayasan Cemeti bergiat menyelamatkan arsip-arsip bidang kesenian. Meski tanpa payung hukum yang tegas dan minimnya pengetahuan formal mengenai arsip dan kerja pengarsipan, tak menyurutkan kerja keras pegiat seni untuk melestarikan arsip kesenian. Pada 2008 ketika nama berganti menjadi Indonesia Visual Arts Archive (IVAA), kajian-kajian kerja pengarsipan mulai tekun dipelajari. Paradigma baru tentang arsip dan kerja pengarsipan pun digaungkan, salah satunya melalui Arsipelago: Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia.
Kajian-kajian mengenai arsip dan kesenian sebetulnya telah marak dilakukan oleh banyak akademisi, praktisi, maupun seniman di beberapa negara. Penekanan arsip kesenian sebagai ephemera sebagaimana dikatakan Judith Ellis mulai jarang digunakan. Segala bentuk rekaman bidang kesenian sudah dikategorikan sebagai arsip tanpa embel-embel ephemera. Pemahaman tersebut sayangnya masih belum dapat diterima di Indonesia. Maka wajar kiranya jika tidak sedikit rekam jejak kesenian di Indonesia menjadi sulit dilacak akar sejarahnya. Tugas inilah yang kemudian harus dilaksanakan oleh para milenials bidang kearsipan. Sanggupkah kita?