Oleh: Lillyana Mulya
Radio, dalam sejarah Indonesia memang memiliki posisi yang begitu signifikan dalam mengalirkan informasi atau sebagai alat komunikasi pada masa perjuangan, namun kajian tentangnya masih sedikit dilakukan (Widya F.N.: 2016). Di kalangan bumiputera, perjumpaan dengan radio dimulai sejak masa Hindia Belanda. Tercatat kalangan bangsawan Mangkunegaran adalah bumiputera pertama yang mendirikan stasiun radio sendiri yang disebut dengan Solosche Radio Vereniging (SRV) pada tahun 1934. Selanjutnya, dalam perannya sebagai media komunikasi, radio menyiarkan pidato-pidato, lagu dan acara budaya yang mengobarkan semangat ke-Indonesiaan selama pendudukan Jepang. Pendirian Radio Republik Indonesia sebagai radio pertama milik Indonesia juga tak lepas dari peran pegawai bumiputera di stasiun radio Hoso Kanri Kyoku (stasiun radio pusat yang saat itu dikuasai Jepang).
Dalam kajian populernya yang berjudul Engineers of Happy Land, Mrázek (2006) mengilustrasikan euphoria ketika radio pertama kali beroperasi di Hindia Belanda, baik bagi warga Eropa maupun bumiputera. Dalam bab berjudul “Mari Menjadi Mekanik Radio”, radio disebut memiliki daya jangkau lebih dari telegram, sehingga dapat mempertemukan Timur dan Barat (Waar Oost en West elkaar ontmoeten) melalui transmisi suara. Keberhasilan pertemuan melalui transmisi suara paling fenomenal terbukti dalam praktek tarian sekelompok bangsawan Jawa saat menari di depan Ratu Wilhelmina di Den Haag dengan iringan gamelan yang dimainkan secara live di Keraton Surakarta pada tahun 1936. Dalam bahasa Mrázek, radio telah “…memotong bentang alam Hindia Belanda tanpa membangun bentang alam baru….”. Sebuah simbol perkembangan komunikasi yang meruntuhkan jarak.
Sebelum kepemilikan radio oleh bumiputera, stasiun radio telah didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di beberapa titik. Pemancar utama di Pulau Jawa yaitu stasiun radio Malabar yang terletak di Bandung. Stasiun menjadi pusat informasi, tidak hanya untuk Hindia Belanda, namun menghubungkan Hindia Belanda, Asia Tenggara dan Eropa dengan menggunakan spektrum gelombang panjang (long wave/LW).
Gambar 1. Stasiun radio Malabar tahun 1927.
Pertanyaannya, apakah radio saat itu sama seperti radio yang kita tau sekarang? Radio adalah sebutan untuk semua komunikasi yang menggunakan gelombang radio (gelombang Hertzian). Gelombang ini diatur dalam pembagian frekuensi yang digunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda, misal untuk dinas komunikasi ruang angkasa, navigasi maritim, penerbangan, pelabuhan, bandara, dinas siaran dan lain sebagainya. Radio komersil yang dapat didengarkan masyarakat umum masuk pada dinas siaran. Sementara komunikasi dinas lain masuk dalam tipe komunikasi privat, sebab tidak begitu saja dapat diperdengarkan kepada khalayak.
Dibandingkan dengan media penyiaran lain seperti koran dan televisi (yang ditemukan belakangan), komunikasi via radio masih menjadi komunikasi paling cepat. Kecepatan transmisi ini menjadikannya media utama untuk menyebarkan informasi penting, seperti peringatan bahaya. Komunikasi (yang justru terbatas pada) audio ini juga cukup efektif sebab dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain, satu yang paling utama adalah mengemudi. Sehingga alat ini menjadi media komunikasi utama dalam sarana transportasi darat, laut, udara dan luar angkasa.
Efektivitas radio untuk mentranmisikan informasi tidak terbatas digunakan dalam lingkup transportasi, namun juga dimanfaatkan oleh pusat informasi kesehatan untuk program peringatan dini (early warning system). Dalam sejarah, kasus sukses tentang sistem peringatan dini yang ditransmisikan via radio terjadi di Asia ketika Singapore Bureau beroperasi. Didirikan sebagai wakil dari League of Nations Health Organization (kini WHO) untuk daerah timur, Singapore Bureau menjadi ‘epidemiological intelligence service’ yang pertama. Pendirian ini merupakan dampak dari merebaknya epidemi pasca Perang Dunia I seperti flu Spanyol. Melalui dua stasiun utama, yaitu Saigon (Ho Chi Minh City-Vietnam) dan Malabar (Bandung-Hindia Belanda), Singapore Bureau pada awal waktu menyebarkan informasi kesehatan dan penyakit-penyakit tropis ke seluruh dunia.
Laporan yang disebarkan (baik melalui buletin mingguan via telegraf maupun radio) meliputi informasi penyakit kolera, cacar air, flek, meningitis, lepra, malaria, tipes dan penyakit lainnya. Informasi tambahan yang berkaitan dengan penyakit tersebut antara lain ketentuan karantina, perkara administrasi dan pelayanan kesehatan, data pelayaran, kesehatan peserta Haji, dan penyakit kelamin para pelayar hingga infeksi karena wabah tikus. Hingga tahun 1930an, Singapore Bureau telah terhubung kepada 180 pelabuhan sehingga dapat mentransmisikan buletin secara harian melalui 9 stasiun radio di Asia.
Melalui transmisi radio wireless, otoritas pelabuhan yang menerima informasi itu dapat memberlakukan karantina bagi kapal yang membawa penyakit infeksius. Dengan karantina ini, outbreaks dapat dihindari sehingga mencegah kematian karena penyebaran penyakit. Ketika kapal yang terinfeksi diidentifikasi, otoritas pelabuhan juga dapat mengetahui kapal mana yang tidak terinfeksi sehingga karantina tidak perlu dilakukan pada kapal-kapal tersebut. Singapore Bureau juga mengembangkan koneksi jaringan dengan radio kapal di laut hingga bandar udara, sehingga dapat mengirimkan informasi tentang kesehatan dan penyakit pada penumpang pesawat udara.
Relasi kekinian
Radio telah menjadi awal dari transformasi dalam komunikasi berbasis audio. Jika penemuan gramophone telah menjadi media rekam audio satu arah, maka radio menjadi awal komunikasi dua arah tanpa kabel.
Kini, radio memang kalah pamor dari televisi dan internet sebagai penyedia jasa audiovisual. Namun, jaringan radio masih menemukan sustainabilitasnya di kalangan pengemudi kendaraan, sebab radio memfungsikan telinga lebih utama daripada visual. Pada akhirnya, radio adalah kemenangan informasi bagi mereka yang tetap bergerak. Karakter informasi pada masing-masing media (baik radio, televisi maupun media cetak) dapat menjadi kajian lebih lanjut untuk mengkaitkan signifikasi informasi bagi masyarakat/organisasi dan urgensi penyimpanannya melalui konsep kearsipan. Pembagian frekuensi juga dapat menjadi materi kajian tentang kebijakan akses terhadap informasi yang disebarkan melalui radio, dan interupsi yang mungkin terjadi saat tranmisi dilakukan. Kajian pendek terhadap media lain, baca: Televisi: media berbasis waktu dan para penontonnya.
*Sebagian besar material dalam artikel ini telah diterbitkan dalam artikel The Singapore Bureau: lesson from Asia’s first early warning system for epidemic diseases yang ditulis oleh Stefan Hell dan dimuat pada website New Mandala tanggal 6 Mei 2020.
Referensi:
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No.13 Tahun 2018 tentang Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia.
Hell, Stefan. 2020. “The Singapore Bureau: lesson from Asia’s first early warning system for epidemic diseases” in New Mandala. Canberra: Australian National University: Coral Bell School of Asia Pasific Affairs. Link: https://www.newmandala.org/singapore-bureau/
Wenri Wanhar. “Gelombang Sejarah Radio dalam Historia”. Diakses tanggal 11 Mei 2020. Link: https://historia.id/politik/articles/gelombang-sejarah-radio-PG5oD
Widya Fitria Ningsih. “the Forgotten Medium: Hoso Kanri Kyoku and the Beginning of National Broadcasting in Indonesia” dalam Lembaran Sejarah Vol.12 No.1 (April 2016). Yogyakarta: Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada.
Nur Hidayah Perwitasari. “Sejarah Hari Radio Nasional & Lahirnya RRi tanggal 11 September” dalam Tirto 11 September 2019. Diakses tanggal 11 Mei 2020. Link: https://tirto.id/sejarah-hari-radio-nasional-lahirnya-rri-tanggal-11-september-ehSH
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lillyana Mulya adalah pengajar di Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM. Saat ini menempuh pendidikan Doktor, di University of Amsterdam, Archival Studies, Amsterdam School for Heritage, Memory, and Material Culture.