Oleh: Lastria Nurtanzila & Faizatush Sholikhah
Salah satu goals dari SDG’s adalah untuk mempromosikan kedamaian, keadilan dan institusi yang kuat. Melalui goal ini, SDG’s juga memiliki satu topik relevan yaitu informasi untuk pembentukan keputusan terintegrasi dan partisipasi. Keterbukaan informasi publik merupakan elemen penting dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Program publik kearsipan menjadi salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mendukung keterbukaan informasi dengan menyediakan akses terhadap arsip yang memiliki nilai informatif bagi publik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pandangan dan praktik antara organisasi pemerintahan dan organisasi non-pemerintahan dalam mengelola program publik kearsipan guna meningkatkan aksesibilitas informasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus pada beberapa organisasi pemerintahan dan non-pemerintahan yang aktif dalam program keterbukaan informasi melalui kearsipan. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi, dan analisis dokumen terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi pemerintahan menghadapi berbagai tantangan dalam implementasi keterbukaan informasi melalui kearsipan, termasuk keterbatasan regulasi, birokrasi yang kompleks, serta kesiapan sumber daya manusia. Sementara itu, organisasi non-pemerintahan lebih fleksibel dalam menyajikan informasi kepada publik tetapi menghadapi kendala dalam hal akses terhadap arsip resmi dan keterbatasan kapasitas institusional.
Semakin luasnya tuntutan masyarakat dalam transparansi publik dalam negara demokrasi memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk memastikan masyarakat dapat mengakses informasi publik dengan layak. Hal ini juga selaras dengan prinsip-prinsip good governance dari United Nation Development Programme (1997) yaitu akuntabilitas, tranparansi, partisipasi masyarakat, efesiensi dan efektivitas, kesetaraan, tegaknya supremasi hukum, visi strategis, responsif dan berorientasi pada konsensus. Seluruh prinsip-prinsip tersebut menjamin hubungan sehat antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, penyediaan informasi publik juga merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk dapat membentuk kebijakan publik yang terbaik.
Konsep tentang informasi publik terlihat intuitif, seringkali masyarakat beranggapan bahwa bila informasi ada diluar sana maka bisa dikatakan informasi itu menjadi publik. Namun jika digali lebih dalam, menjadi jelas bahwa “publik” bisa berarti apa saja, mulai dari paparan sekilas hingga pengetahuan yang dibagikan secara kolektif dan banyak lagi. Apakah kriteria untuk menentukan publisitas dapat diakses secara hipotetis oleh siapa pun? Atau apakah “publik” adalah sesuatu yang dikontrol, ditunjuk, atau dilepaskan oleh aktor negara? Atau mungkin yang “publik” hanyalah segala sesuatu yang “bukan pribadi” ? (Pongrace : 1985).
Menarik apa yang dikemukakan Hartzog (2017) dalam bukunya yang berjudul “The Public Information Fallacy” dimana dia berargumen bahwa hukum tentang informasi publik ini memiliki ambiguitas, hal tersebut dikarenakan pengadilan dan pembuat undang-undang gagal menjelaskan apakah konsep tersebut merupakan deskripsi, sebutan, atau sekadar cara lain untuk mengatakan bahwa sesuatu itu “bukan milik pribadi”. Misalnya, apakah sesuatu bersifat “publik” karena pembuat undang-undang dan masyarakat menganggapnya demikian, atau apakah sifat yang melekat pada suatu hal atau tingkat paparan tertentu secara otomatis membuatnya menjadi publik? (Lihat Harry Kalven, Jr. (1966) Privacy in Tort Law—Were Warren and Brandeis Wrong?, 31 LAW & CONTEMP. PROBS. 326, 327. Dia berargumen bahwa privasi adalah apapun yang tersisa setelah aturan pemerintah). Atau apakah itu hanya singkatan dari kebalikan dari gagasan sosial dan hukum tentang privasi? Ketidakjelasan ini telah mengakibatkan kebingungan dalam doktrin dan kegagalan dalam upaya membuat kebijakan yang jelas dan meyakinkan seputar pengumpulan, penggunaan, dan pengungkapan informasi.
Selain itu perbedaan cara pandang instansi pemerintahan dan non-pemerintahan dalam melihat informasi publik juga dapat menjadi sebuah diskursus yang menarik. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan Archival Public Program, yang dijelaskan Ann E. Pederso dan Gail Farr Casterline dalam buku Archives & Manuscripts: Public Program bahwa “Public programs are tools that support and enhance other archival functions, including research, reference, preservation, and collecting. They can be highly educational, both for planners and participants; they can foster a greater appreciation for history and historical records; and they help ensure firm and continuing support for archival endeavours.” Maksudnya adalah Program publik adalah alat yang mendukung dan meningkatkan fungsi arsip lainnya, termasuk penelitian, referensi, pelestarian, dan mengumpulkan.
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa instansi pemerintahan (lembaga kearsipan daerah– DPAD Prov DIY) cenderung melakasanakan ketebukaan informsi publik melalui program publik kearsipannya masih secara konvensional, dalam hal ini yang dimaksud dengan konvensional yaitu mereka masih menggunakan pemahaman umum berkaitan dengan konsep layanan dan jasa kearsipan. Sementara program publik kearsipan lebih dari sekedar melakukan layanan dan jasa kearsipan. Narasumber pada DPAD juga belum memiliki pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan APP, namun mereka mengenal konsep pemasyarakatan arsip (hasil wawancara dengan narasumber 1, arsiparis DPAD DIY).
Program pemasyarakatan ini sudah menjadi kewajiban dari unit kearsipan daerah wajib untuk diselenggarakan, seperti DPAD DIY. Hal ini juga telah diatur dalam Peraturan Daerah Prov. DIY Nomor 5 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan kearsipan – di dalamnya ada tentang pemasyarakatan arsip dan Peraturan Gubernur Nomor 101 tahun 2021 tentang pengelolaan arsip statis). Adapun yang dimaksud dengan program publik kearsipan (dalam hal ini pemasyarakatan arsip) adalah kegiatan tentang bagaimana informasi, ruang lingkup dan khasanah yang ada pada arsip bisa sampai ke masyarakat dan disesuaikan juga dengan kebutuhan serta perkembangan zaman.
Berbeda dengan DPAD DIY, IVAA atau Indonesian Visual Art Archive selaku Non-Government Organizations yang mana merupakan organsiasi privat, atau dengan kata lain bukan instansi pemerintahan. Organsiasi ini bergerak atas dasa kesadaran dan juga komitmen pada kegiatan pengarsipan bagi karya seni yang ada di Indonesia. Meskipun berada di Yogyakarta, kegiatan mereka tidak hanya bersakala lokal, namun juga regional maupun nasional. Keunikan dari organisasi ini adalah posisi kegiatan dalam pengelolaan kearsipannya. Meskipun bila ditelahaan lebih lanjut kegiatan organisasi ini lebih pada penyimpanan atau repository bagi karya-karya seni dan juga event organizer bagi berbagai kegiatan publik, namun dalam semangat pengarsipan organisasi ini cukup baik dalam membawa pada kesadaran pengelolaan kearsipan.
Kesadaran tentang APP sendiri sudah dimiliki oleh pengelola organisasi. Mereka sadar bahwa arsip akan lebih memiliki nilai bila dilakukan program publik. Program publik kearsipan merupakan kegiatan mempertemukan arsip dengan calon pengguna, pengguna, atau pemiliknya. Adapun yang dimaksud dengan arsip disini adalah arsip yang sudah diolah oleh IVAA.
Perbedaan cara pandang terhadap keterbukaan informasi publik antara instansi pemerintahan dan non-pemerintahan terletak pada orientasi dan tanggung jawab dalam mengelola informasi. Bagi instansi pemerintahan, keterbukaan informasi publik dipandang sebagai kewajiban hukum dan moral untuk mewujudkan transparansi, akuntabilitas, serta pelayanan publik yang baik. Pemerintah berkewajiban menyediakan akses informasi yang jelas, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan, karena informasi yang dikelolanya merupakan bagian dari hak publik. Sementara itu, bagi lembaga non-pemerintahan seperti organisasi masyarakat sipil, lembaga pendidikan, atau komunitas kearsipan independen, keterbukaan informasi lebih dipandang sebagai alat pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Informasi digunakan untuk mengawasi kebijakan publik, mendorong partisipasi warga, serta memperkuat literasi sosial dan sejarah bangsa. Dengan demikian, instansi pemerintahan melihat keterbukaan informasi sebagai bentuk tanggung jawab institusional, sedangkan pihak non-pemerintahan melihatnya sebagai sarana advokasi dan penguatan peran masyarakat dalam mengawal tata kelola pemerintahan yang transparan dan demokratis.
Referensi:
Pederson, Ann. E, and Gail Farr Casterline. 1982. Archives & Manuscripts: Public Programs. Chicago : The Society of American Archivist.
Pongrace, Donald R. C. (1985). Stereotypification of the fourth amendment’s public/private distinction: an opportunity for clarity. American University Law Review, 34(4)
Harry Kalven Jr., Privacy in Tort Law—Were Warren and Brandeis Wrong?, 31 Law and Contemporary Problems 326-341 (Spring 1966) Available at: https://scholarship.law.duke.edu/lcp/vol31/iss2/7
Woodrow Hartzog, 2019. The Public Information Fallacy , 99 Boston University Law Review 459.
Lastria Nurtanzila, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM.
Faizatush Sholikhah, merupakan pengajar Program Studi Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Sekolah Vokasi UGM, Manajer Jaminan Mutu DBSMB