Oleh: Lillyana Mulya
Dalam artikel di jurnal Wacana yang diterbitkan tahun 2019, Els Bogaerts menulis bagaimana upayanya menelusuri arsip tentang suatu tayangan televisi yang sempat disiarkan oleh TVRI pada masa Orde Baru. Acara itu berjudul Siung Macan Kombang (The Panther’s Fang) yang ditayangkan setiap Senin sore pada bulan Oktober 1992. Siung Macan Kombang adalah judul ketoprak Jawa yang diciptakan oleh Hasmi (Harya Suryaminata). Scriptnya ditulis dalam bahasa Jawa sehari-hari pada tahun 1989. Satu hal yang membuatnya menarik dan menempel dalam memori kolektif masyarakat di Jawa adalah pengemasan serial itu menjadi sebuah ketoprak sayembara. Inovasi ini menjadi satu model persuasif untuk menarik penonton televisi sebanyak-banyaknya pada masa itu.
Media televisi
Televisi merupakan satu capaian perkembangan teknologi yang menyiarkan secara luas suatu rekaman audiovisual. Bersama dengan radio dan media cetak (koran), televisi adalah bagian dari media penyiaran (broadcast) untuk menyampaikan informasi dari satu titik kepada khalayak yang lebih luas. Karakter televisi adalah media penyampai informasi satu arah, dalam artian penonton tidak dapat berinteraksi secara langsung dengan apapun yang ada dalam televisi.
Pertelevisian di Indonesia diawali oleh kiprah Televisi Republik Indonesia (TVRI), yang menjadi stasiun televisi resmi milik pemerintah Republik Indonesia sejak 1962. Saat itu, pendiriannya berbarengan dengan persiapan Asian Games pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno. Posisi TVRI sebagai pembawa pesan pemerintah untuk kesatuan Indonesia diteruskan hingga pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Pada masa jayanya, melalui satelit Palapa yang diluncurkan pertama tahun 1976, TVRI sanggup menyiarkan pesan pemerintah hingga ke seluruh menara pemancar di wilayah pelosok Indonesia. Ross Tapsell menyebut penyiaran TVRI sebagai “national teacher” sebab memiliki agenda pendidikan, terutama pendidikan bahasa dan budaya Indonesia ke seluruh masyarakat yang heterogen. Tujuannya, menciptakan masyarakat Indonesia yang homogen. Dibanding media lain seperti media cetak dan radio, televisi tergolong mudah dikontrol sehingga televisi dapat dipakai untuk mengkaji pembentukan penonton secara kolektif.
Penonton dan memori
Aspek teknis dalam penyiaran televisi merupakan perkara penentu dalam suatu siaran. Menurut Ade Armando (2011), penyiaran televisi di Indonesia menggunakan model penyiaran terpusat. Jakarta sebagai titik pusat untuk homogenisasi budaya menentukan apa yang harus dan tidak boleh disiarkan. Sebelum menggunakan satelit, menara pemancar digunakan untuk menerima dan meneruskan jangkauan sinyal siaran. Semakin jauh, maka dibutuhkan lebih banyak pemancar. Dengan satelit, pusat siaran dapat memancarkan sinyal ke satelit dan satelit akan memancarkan langsung ke menara-menara di daerah.
Jika dibandingkan dengan media koran, media pandang dengar memiliki karakter yang hanya dapat dipertontonkan selama satu kali. Karakter ini berbeda dengan media cetak yang dapat dibaca berulang kali tanpa alat bantu. Oleh sebab itu, experience yang didapatkan dari menonton televisi mayoritas hanya tersimpan di ingatan (memori). Kajian ini merupakan kajian televisi pra-internet, sehingga tayangan televisi belum serta merta terintegrasi dengan Youtube sebagai platform broadcast audiovisual berbasis internet. Televisi pada masa itu juga belum dilengkapi dengan fitur rekaman acara.
Pada kasus pencarian tayangan Siung Macan Kombang, penelusuran dimulai dari pencarian arsip audiovisual di kantor TVRI. Namun, arsip audiovisual di stasiun broadcast seringkali tidak disimpan dengan layak, sehingga kerusakan dan kehilangan menjadi realitas yang kerap terjadi. Alternatif lain pencarian informasi tentang Siung Macan Kombang kemudian didapatkan dari review di koran Jawa Pos. Saat itu, produksi Siung Macan Kombang bekerjasama dengan koran Jawa Pos untuk menarik penonton dengan menyediakan ruang keterlibatan pada sayembara koran. Review koran meliputi deskripsi karakter tokoh utama maupun jalan cerita secara garis besar, misalnya dalam kasus pencurian siung macan di atas, jurnalis memberikan review siapa saja yang berpotensi mencuri siung itu. Banyaknya kartupos yang dikirim peserta sayembara untuk menjawab pertanyaan dapat digunakan untuk memperkirakan jangkauan penonton ketoprak itu.
Gambar 1. Kupon sayembara Siung Macan Kombang yang dimuat di Jawa Pos.
(Sumber: Bogaerts, Els. “The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives” in Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2. Jakarta: Faculty of Humanities, Universitas Indonesia.)
Karakter media rekam yang dimiliki stasiun televisi adalah kombinasi audio (suara) dan visual (gambar) berbasis durasi (time-based). Karakter ini membedakan audiovisual dengan media rekam lain yang sifatnya diam seperti foto dan tulisan (tekstual). Efek yang ditimbulkan dari media ini pun berbeda, yaitu menstimulasi sensor pendengaran dan penglihatan secara bersamaan. Menurut Jenni Heikilä dari fakultas kedokteran Universitas Helsinki, penyajian suara disertai gambar yang selaras/sinkron dapat mempercepat proses informasi oleh otak dan disimpan dalam memori. Oleh karenanya, informasi lebih mudah dipahami. Namun, terdapat perbedaan respon memori terhadap informasi audiovisual antara anak-anak, remaja dan orang tua. Disebutkan bahwa, respon ingatan terhadap informasi audiovisual mulai berkembang sejak usia 8 tahun ke atas hingga dewasa. Respon ini akan berkurang pada orang tua sebab penuaan menurunkan fungsi sensor.
Pembagian usia dengan kemampuan mengingat di atas dapat digunakan sebagai metode untuk memperkirakan penonton aktif suatu tayangan televisi. Dicontohkan misalnya Siung Macan Kombang di atas ditayangkan tahun 1992, maka penonton yang berpotensi masih mengingat adalah penonton yang saat itu berusia remaja hingga dewasa. Jika usia saat itu diperkirakan 10-45 tahun, maka kini (tahun 2020) mereka berusia 38-73 tahun. Perlu juga dicermati bahwa pada saat itu, tidak semua remaja menyukai tayangan ketoprak, sebab masih tersedia tayangan lain seperti serial Oshin dan Little House yang juga diputar di stasiun yang sama. Sehingga kemungkinan penggemar ketoprak terbatas pada orang dewasa yang menggemari budaya tradisional, khususnya Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa, televisi memiliki cakupan penontonnya yang begitu spesifik. Arus informasi yang dibawanya juga mempengaruhi karakter penontonnya. Satu hal yang mempengaruhi menempelnya (embedded) suatu informasi ke dalam memori, yaitu pengulangan. Jika informasi disampaikan secara repetitif, maka informasi akan dapat melekat lebih lama dan lebih utuh. Begitu pula sebaliknya, seperti film yang hanya ditayangkan satu kali maka ingatan hanya bersifat fragmentaris. Padahal media informasi dapat menjadi materi untuk mengkaji perkembangan suatu masyarakat. Oleh karenanya, arsip audiovisual memiliki nilai sosiokultural, yang menjadikannya layak disimpan secara permanen. Menurut Els Bogaerts,
However, news bulletins, game shows and commercials are not the only programme genres to represent and reflect on developments in society, as I have argued in my study of the production of the local by and on Indonesian television (Bogaerts, 2017: 4). Television genres like drama, talk shows and infotainment are at least as relevant. My point is therefore that these need to be researched, documented, and preserved as well; soon, before the materials are lost forever.
Tantangan utama dalam preservasi media audiovisual adalah kompleksitas pemeliharaan informasi yang terkunci dalam durasi waktu. Pada umumnya rekaman tayangan televisi pada tahun 1970 hingga 1990an direkam dalam kaset, sehingga keutuhan rekaman berada dalam gulungan pita magnetik. Jika pita tersebut terpotong, maka informasi menjadi tidak utuh lagi. Alternatif lain yang dapat ditawarkan adalah alih media ke dalam media lain seperti media digital. Namun, proses penyelamatan informasi ini tidak serta merta diartikan atau menjadi alasan peniadaan media asli. Sebab bagaimanapun juga, rekaman asli memiliki aspek originalitas yang tidak terbantahkan.
*Sebagian besar material dalam artikel ini telah diterbitkan dalam artikel The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives yang ditulis oleh Els Bogaerts dan dimuat pada Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2 (2019): 179-208.
Referensi:
Ade Armando. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia. Yogyakarta: Bentang.
Bogaerts, Els. 2019. “The Panther’s Fang, In search of Indonesian television archives” in Jurnal Wacana Vol. 20 No. 2. Jakarta: Faculty of Humanities, Universitas Indonesia. Link: http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/view/745
Jenni Heikilä. 2018. Benefits of audiovisual memory encoding across the life span, Dissertation. Finland: Faculty of Medicine, University of Helsinki.
Lillyana Mulya adalah pengajar di Program Studi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM. Saat ini menempuh pendidikan Doktor, di University of Amsterdam, Archival Studies, Amsterdam School for Heritage, Memory, and Material Culture.