Pos oleh :

rinaarsip

Mengawinkan Arsip, Museum, dan Perpustakaan Paska Pandemi Covid-19

oleh : Rina Rakhmawati

Awal 2020 tampak menjadi era baru sekaligus menantang, tidak hanya bagi dunia, tetapi juga Indonesia. Kemunculan wabah covid-19 seolah menjadi penanda akan adanya perubahan besar di segala aspek kehidupan. Perubahan signifikan pun dirasakan di bidang informasi dan dokumentasi, khususnya kearsipan. Indonesia yang dinilai masih lamban dalam menanggapi percepatan teknologi untuk kearsipan, bersamaan dengan pandemi covid-19, seolah dipaksa bergerak cepat beradaptasi. Ledakan data dan informasi yang sudah dimulakan dengan fenomena big data semakin meruak dengan terciptanya beragam dokumen elektronik, termasuk dokumen yang merekam segala perubahan di masyarakat selama masa pandemi covid-19. Fenomena ledakan rekaman informasi kemudian dikemas ulang oleh CoronaMemory.id. read more

Hoax dan Pencegahannya Dalam Konteks Syariat Islam

Hoax atau pemalsuan berita dan informasi telah menjadi santapan harian bagi penduduk dunia. Beragam riset yang dilakukan akademisi hingga menghasilkan aneka penangkalnya pun seolah belum mampu menghapus fenomena hoax. Sadar akan bahayanya dan rumitnya memutus mata rantai hoax, sebagian masyarakat beraksi dengan media komunitas untuk membendung arus hoax. Dalam konteks Islam, hoax seringkali dikaitkan dengan fitnah akhir zaman dan tabiat buruk manusia yang semakin sulit dikekang, yaitu tidak mampu menahan nafsu lidah untuk bergunjing dan berbicara di luar batas pengetahuannya. read more

Arsip dan Kesenian

Arsip dan kesenian, di Indonesia, seolah tak saling berkaitan. Arsip merupakan kerja administratif. Pola pikir yang masih terus ditanamkan oleh sebagian praktisi dan akademisi di Indonesia. Sedangkan kesenian adalah hal lain yang tak ada sangkut paut secara langsung dengan administrasi. Namun bagi Indonesia Visual Arts Archive (IVAA), arsip dan kesenian merupakan dua sisi dalam sebuah koin. Bagi kesenian, arsip menjadi sarana refleksi sekaligus upaya penyelamatan memori fenomenal yang sulit diulang. read more

Menikmati Arsip dari Karya Sastra

Arsip tak hanya berkutat pada dokumen administrasi. Pun arsip tak sekedar dipahami sebagai jejak masa lalu yang dibuka pada momen-momen tertentu. Arsip juga menjadi bagian dari dunia sastra. Hingga saat ini memang belum ditemukan data statistik berapa jumlah karya sastra yang membahas tentang arsip, atau menjadikan arsip sebagai acuan utama. Tapi kita dapat mencermati beberapa karya sastra, bahkan yang paling legend hingga saat ini, bersangkut paut dengan arsip.

Bagi para penikmat sastra legendaris, tak lengkap kiranya jika belum mengoleksi dan membaca tuntas Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Kebiasaannya mengarsipkan fenomena-fenomena sosial yang terekam dalam berbagai surat kabar telah membantu Pram, melahirkan sederet karya klasik tak tergantikan. Salah satu yang secara nyata menyandarkan kisah pada arsip adalah Rumah Kaca. Novel keempat dari Tetralogi Pulau Buru masih bercerita tentang Minke, namun dari sudut pandang pejabat kolonial. Pram menyajikan alur bagaimana peran lembaga kearsipan sebagai sebuah bentuk politik Rumah Kaca yang dapat menghancurkan cita-cita dan mimpi kaum pribumi. Arsip yang menjadi rekam jejak perjuangan Minke dijadikan sebagai “alat” untuk membredel kegiatan-kegiatan politisnya. Apakah spirit kolonial itu masih ada? Silakan cermati berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga kearsipan kita. read more

Urgensi Arsip Keluarga dalam Konteks Islam

Berbicara mengenai arsip, dalam pemahaman Indonesia, masih berpaku pada kertas-kertas kerja yang ada di lingkungan perkantoran. Paradigma tersebut dapat dikatakan masih mendominasi alam pikiran masyarakat kita. Berbeda halnya jika berdiskusi arsip dengan kolega di lain benua, maka arsip tidak hanya berkorelasi dengan perkantoran, namun hingga pada tataran keluarga. Salah satu yang menarik dan masih sedikit dikaji oleh bangsa kita adalah soal arsip keluarga. Padahal dalam perundang-undangan, arsip keluarga telah disinggung secara implisit dalam kata perseorangan. read more

Book Review: Archives & Manuscripts: Public Programs oleh Ann E. Pederson dan Gail Farr Casterline

Berbicara mengenai pengelolaan arsip tidak hanya terbatas pada aspek pengolahan fisik dan informasi. Arsip yang telah diolah harus mampu untuk ditemukan kembali secara efektif dan efisien. Selain itu, arsip yang telah diolah pun harus dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat, tidak hanya pencipta arsip maupun kalangan akademisi. Oleh sebab itu, penting bagi lembaga kearsipan untuk dapat merancang model pemanfaatan arsip yang tepat bagi masyarakat luas. Pemanfaatan arsip bagi masyarakat dalam ilmu kearsipan memiliki dua istilah, yaitu public program dan outreach program. Sebagian akademisi menggunakan istilah user education (Pederson dalam Ellis, 1994). Pederson (dalam Bettington, 2004) pun menambahkan istilah advocacy. Dalam konteks Indonesia, wujud nyata dari public programs atau program pemasyarakatan dapat meliputi pameran arsip, penyelamatan arsip paska bencana, mobil sadar arsip, wisata arsip, beragam seminar dan workshop kearsipan, dan berbagai kegiatan lainnya. Pada dasarnya, program pemasyarakatan tersebut bertujuan mendekatkan masyarakat dengan kerja-kerja pengarsipan yang dilakukan oleh lembaga kearsipan maupun komunitas kearsipan. Namun demikian, program pemasyarakatan yang telah diselenggarakan pun dinilai belum mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kearsipan. Apabila berkaca pada kondisi tersebut, buku berjudul Archives&Manuscripts: Public Programs karya Ann E. Pederson dan Gail Farr Casterline menjadi wajib untuk diimplementasikan dan dikritisi. read more

Mengkritisi “Google” ala Indonesia

Indonesia telah memasuki era digital. Hampir setiap celah keseharian kita menggunakan perangkat digital. Fenomena masifnya digitalisasi pun merambah cepat di sektor dokumentasi dan informasi, termasuk di dalamnya bidang kearsipan. Pemanfaatan teknologi di bidang kearsipan, pada mulanya difokuskan pada upaya optimalisasi penelusuran informasi yang terekam dalam arsip. Namun demikian, kebutuhan informasi publik tidak hanya cukup dengan mengandalkan banyak otomasi penelusuran yang bergerak mandiri. Masing-masing subdokumen, seperti arsip, perpustakaan, dan museum, bahkan galeri, memiliki sistem penelusurannya masing-masing. Hal tersebut tentu belum menjawab efektivitas dan efisiensi publik dalam mendapatkan informasi dengan cepat, tepat, dan sederhana. read more