Arsip:

artikel

Urgensi Arsip Keluarga dalam Konteks Islam

Berbicara mengenai arsip, dalam pemahaman Indonesia, masih berpaku pada kertas-kertas kerja yang ada di lingkungan perkantoran. Paradigma tersebut dapat dikatakan masih mendominasi alam pikiran masyarakat kita. Berbeda halnya jika berdiskusi arsip dengan kolega di lain benua, maka arsip tidak hanya berkorelasi dengan perkantoran, namun hingga pada tataran keluarga. Salah satu yang menarik dan masih sedikit dikaji oleh bangsa kita adalah soal arsip keluarga. Padahal dalam perundang-undangan, arsip keluarga telah disinggung secara implisit dalam kata perseorangan.

Kajian terbaru mengenai arsip keluarga dilakukan oleh Azmi dalam Pengelolaan Arsip Keluarga: Suatu Kajian Kearsipan yang diterbitkan oleh Jurnal Kearsipan Arsip Nasional RI pada tahun 2015. Menurut Azmi, permasalahan yang terjadi berkaitan dengan arsip keluarga di Indonesia adalah masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya arsip keluarga dan bagaimana standar pengelolaan yang tepat. Arsip keluarga dikatakan berkorelasi erat dengan ketahanan sosial keluarga. Maknanya, berbagai permasalahan keluarga, seperti pendidikan, kedinasan, pajak, pemilu, warisan, harta kepemilikan, dan lain-lain tidak dapat diselesaikan secara win-win solution karena terkendala dalam hal pengarsipan, baik karena hilangnya arsip maupun arsip yang asal simpan sehingga terselip dan tidak mudah ditemukan kembali saat dibutuhkan cepat. Dalam memecahkan persoalan pengelolaan arsip keluarga, Azmi menggunakan pendekatan life cycle theory. Solusi yang diberikan dalam kajian Azmi tersebut pun pada dasarnya dapat dipraktikkan mengingat peralatan dan prosedur yang mudah untuk diikuti. Namun demikian, dalam kaitannya dengan arsip bernilai kesejarahan yang disimpan oleh keluarga, pada umumnya tidak dapat serta merta diserahkan kepada lembaga kearsipan. Apalagi jika didalamnya terdapat silsilah keluarga besar tentu arsip tersebut memiliki nilai kesejarahan tinggi dan tidak mudah untuk dipindahtangankan. Kajian mengenai urgensi arsip silsilah keluarga ini pun dapat dikatakan belum dilakukan di Indonesia. Penulis berasumsi salah satu faktornya adalah sulitnya mengakses arsip yang merekam silsilah keluarga, baik karena sifatnya tertutup atau adanya sebagian informasi yang sudah tidak lagi utuh.

Silsilah keluarga, dalam Bahasa Arab, disebut nasab. Definisi luasnya adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. Bangsa Arab memang terkenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga. Mereka memiliki apresiasi yang tinggi kepada orang-orang yang mengetahui dan mampu menghafal silsilah keluarganya dengan baik dan tepat. Dalam konteks Islam, urgensi nasab disebutkan dalam tiga surah, yaitu:

“Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (Hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya.” (QS. Al Mu’minun: 101)

 “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan musyaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari hubungan pernikahan) dan Tuhanmu adalah Mahakuasa.” (QS. Al Furqon: 54)

 “Dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara Dia (Allah) dan jin. Dan sungguh, jin telah mengetahui bahwa mereka pasti akan diseret (ke neraka).” (QS Ash-Shaffat: 158).

 Nasab atau hubungan kekerabatan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam sudut pandang fiqih, nasab berkorelasi erat dengan beberapa hal dari ketahanan sosial sebagaimana disebutkan Azmi, khususnya berkaitan dengan masalah perkawinan dan hukum waris. Urgensi arsip dalam kaitannya dengan nasab dan masalah perkawinan dapat disimak dalam Al Qur’an surah An-Nisaa’:

  1. Ayat 21 yang artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuhi)”. Sebagaimana diketahui, arsip merupakan bukti atau rekaman kegiatan yang telah dilakukan. Dalam konteks ayat tersebut, arsip memberikan pedoman dan arahan untuk mengetahui siapa sajakah wanita yang telah dinikahi oleh ayah, melalui arsip catatan pernikahan yang disimpan di KUA dan/atau dinas kependudukan dan catatan sipil, maupun dalam bentuk arsip buku nikah hingga arsip kartu keluarga.
  2. Ayat 22 yang artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi):
    1. ibu-ibumu,
    2. anak-anakmu yang perempuan,
    3. saudara-saudaramu yang perempuan,
    4. saudara-saudara ayahmu yang perempuan,
    5. saudara-saudara ibumu yang perempuan,
    6. anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
    7. anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
    8. ibu-ibumu yang menyusui kamu,
    9. saudara-saudara perempuanmu sesusuan,
    10. ibu-ibu istrimu (mertua),
    11. anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu,
    12. dan istri yang telah kamu campuri,

tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Untuk dapat mengetahui ikatan kekeluargaan tersebut, tentu dibutuhkan arsip keluarga yang terkelola dengan baik sesuai standar kearsipan. Sebagaimana pada ayat 21, arsip keluarga seperti catatan pernikahan, catatan kependudukan, buku pernikahan, arsip silsilah keluarga, hingga Kartu Keluarga menjadi prasyarat mutlak untuk memastikan jalur nasab.

Selain masalah perkawinan, persoalan hak waris pun kerap menjadi pemantik konflik dalam membangun ketahanan sosial suatu keluarga. Untuk dapat memahami korelasi arsip dengan nasab dalam kaitannya dengan hak waris, masih dicermati dalam surah An-Nisaa’:

  1. Ayat 7-8: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”. Dalam hal inipun, arsip Kartu Keluarga, arsip catatan sipil, maupun arsip silsilah keluarga untuk mengetahui dengan pasti kerabat pemberi warisan, mutlak diperlukan.
  2. Ayat 11-12: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dan bagianmuu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.

Keberadaan arsip keluarga yang mempertegas nasab atau hubungan kekerabatan atau silsilah keluarga dinilai mampu mempersempit ruang konflik perdata. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila dimulai saat ini dan dari diri kita sendiri, untuk menata kembali arsip-arsip keluarga sembari membuat semacam silsilah keluarga. Ketegasan nasab pun mempermudah kita untuk saling bersilaturahmi dan menelusuri identitas jati diri akar leluhur kita hingga kita mampu mengambil hikmah yang tercecer di antara anggota keluarga. Tersebab, harta paling berharga bagi seorang muslim adalah hikmah.

Wallahu’alam bishawab.

 

Referensi:

Al Qur’an

Azmi. 2015. Pengelolaan Arsip Keluarga: Suatu Kajian Kearsipan. Vol.10. Jurnal Kearsipan Arsip Nasional RI

http://id.wikipedia.org

Book Review: Archives & Manuscripts: Public Programs oleh Ann E. Pederson dan Gail Farr Casterline

Berbicara mengenai pengelolaan arsip tidak hanya terbatas pada aspek pengolahan fisik dan informasi. Arsip yang telah diolah harus mampu untuk ditemukan kembali secara efektif dan efisien. Selain itu, arsip yang telah diolah pun harus dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat, tidak hanya pencipta arsip maupun kalangan akademisi. Oleh sebab itu, penting bagi lembaga kearsipan untuk dapat merancang model pemanfaatan arsip yang tepat bagi masyarakat luas. Pemanfaatan arsip bagi masyarakat dalam ilmu kearsipan memiliki dua istilah, yaitu public program dan outreach program. Sebagian akademisi menggunakan istilah user education (Pederson dalam Ellis, 1994). Pederson (dalam Bettington, 2004) pun menambahkan istilah advocacy. Dalam konteks Indonesia, wujud nyata dari public programs atau program pemasyarakatan dapat meliputi pameran arsip, penyelamatan arsip paska bencana, mobil sadar arsip, wisata arsip, beragam seminar dan workshop kearsipan, dan berbagai kegiatan lainnya. Pada dasarnya, program pemasyarakatan tersebut bertujuan mendekatkan masyarakat dengan kerja-kerja pengarsipan yang dilakukan oleh lembaga kearsipan maupun komunitas kearsipan. Namun demikian, program pemasyarakatan yang telah diselenggarakan pun dinilai belum mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kearsipan. Apabila berkaca pada kondisi tersebut, buku berjudul Archives&Manuscripts: Public Programs karya Ann E. Pederson dan Gail Farr Casterline menjadi wajib untuk diimplementasikan dan dikritisi.

Buku ini, pada dasarnya, merupakan panduan praktis yang terdiri dari 10 bab penting terkait penyelenggaraan public programs atau program pemasyarakatan. Bab pertama merupakan pengantar untuk memahami definisi, tujuan, dan urgensi program pemasyarakatan. Dua hal menarik yang ditekankan Pederson dan Casterline dalam bab ini adalah kesuksesan program pemasyarakatan dapat membawa dampak signifikan terhadap tahapan pengelolaan arsip sejak akuisisi hingga preservasi dan konservasi. Selain itu, kesuksesan program pemasyarakatan pun mampu memberikan impak terhadap kinerja lembaga kearsipan, khususnya terkait dengan aspek manajerial organisasi. Hal kedua adalah program pemasyarakatan merupakan saluran yang mampu menjembatani komunikasi antara lembaga kearsipan dan arsiparisnya dengan masyarakat luas. Bab kedua membedah langkah-langkah strategis yang harus dilakukan lembaga kearsipan maupun komunitas kearsipan dalam penyelenggaraan program pemasyarakatan. Pederson dan Casterline mengemukakan lima langkah strategis, yaitu assessing institutional goals, assessing institutional needs, assessing resources, knowing the clientele, dan sebentuk evaluasi has it done before?. Setelah memahami langkah-langkah strategis tersebut, pada bab ketiga, Pederson dan Casterline mendiskusikan tentang pendekatan yang dapat diterapkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemasyarakatan, yang disebut The Add-On Approach. Pada prinsipnya, pendekatan tersebut berintikan bahwa kesuksesan suatu program pemasyarakatan akan menentukan kesuksesan program-program lainnya. Pendekatan tersebut memiliki tiga fase utama, yaitu fase individu, fase kelompok, dan fase publik. Adapun jenis-jenis program pemasyarakatan beserta konsep pelaksanaannya dibahas pada bab keempat sampai dengan bab ketujuh. Menurut Pederson dan Casterline, program pemasyarakatan terdiri dari empat jenis, yaitu program how-tos, instructional programs, conslutants and volunteers, dan publicity. Aspek lain yang harus pula diperhatikan oleh lembaga maupun komunitas kearsipan adalah terkait evaluasi pelaksanaan, pendanaan, dan apresiasi. Dalam konteks lembaga kearsipan di Indonesia, pendanaan seringkali hanya bertumpu pada satu pintu, yaitu pendanaan yang diturunkan atau berasal dari anggaran pemerintah (APBN). Padahal, Pederson dan Casterline, sebagaimana juga banyak diimplementasikan oleh beberapa komunitas kearsipan, mengemukakan saluran lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendanaan, seperti melalui grants atau hibah, sponsorship, atau melalui kerja sama dengan kolega.

Oleh karena buku ini merupakan panduan praktis, maka masing-masing jenis program pemasyarakatan tidak dikaji secara mendalam. Apalagi jika melihat pada tahun penerbitan, yaitu 1982, maka diperlukan kajian lebih lanjut yang sesuai dengan kondisi zaman agar dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Selain itu, pendekatan yang digunakan pun perlu menyesuaikan dengan kondisi generasi saat ini yang rerata lebih melek teknologi sehingga berdampak pada model komunikasi dan publikasi. Aspek pemasaran pun kiranya perlu dipertimbangkan untuk menjadi salah satu topik dalam program pemasyarakatan mengingat kelemahan yang sering ditemukan di lembaga kearsipan adalah model pemasaran yang kaku dan tidak mampu menarget generasi muda.

Mengulik Right to be Forgotten di Indonesia

Bagi kita sebagai warga negara, informasi digital sangatlah penting. Hal ini di antaranya untuk mencari sumber referensi, mencari data, dan lain sebagainya. Didalam informasi yang kita cari tersebut terkadang mengandung sesuatu kasus yang sudah lampau dan juga sudah selesai (habis masa perkaranya). Orang dalam kasus tersebut seharusnya bisa dihapuskan nama dan beritanya, karena kasus tersebut telah selesai (Right to be Forgotten). Right to be forgotten merupakan hak untuk dilupakan dari publik terkait kasus yang pernah dialami seseorang dimasa lampau. Jika kita lihat di negara lain, pada 2010, seorang warga negara Spanyol mengajukan gugatan terhadap media massa dan Google ke Pengadilan Spanyol. Ia menggugat karena merasa bahwa privasinya terganggu atas informasi kasus yang masih ditemukan di Google, padahal kasus itu sudah dinyatakan selesai (resolved) beberapa tahun yang lampau, sehingga informasi yang ada di Google tersebut sudah tidak relevan. Ia lantas mengajukan permohonan supaya pengadilan meminta media massa dan Google menghapus konten informasi yang telah merugikannya itu. Pengadilan Spanyol kemudian meminta pendapat dari Pengadilan Uni Eropa, apakah Peraturan tentang Perlindungan Data Uni Eropa 1995 berlaku untuk mesin pencari seperti Google; apakah aturan itu berlaku untuk Google Spanyol mengingat bahwa server Google berada di Amerika Serikat; dan apakah penggugat mempunyai hak untuk meminta agar data dirinya dihapuskan dari Google (right to be forgotten). Setelah berproses selama empat tahun, Pengadilan Uni Eropa dalam putusannya pada Mei 2014 menyatakan bahwa meskipun server Google ada di AS, ia terikat pada Peraturan tentang Perlindungan Data Pribadi, karena Google mempunyai cabang di Spanyol; Google harus mematuhi aturan tersebut; dan penggugat mempunyai hak untuk dilupakan (dalam kondisi tertentu) dengan meminta Google menghapus informasi tentang dirinya. Namun Pengadilan Uni Eropa menegaskan, ketentuan untuk menghapus informasi tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak relevan (irrelevant), tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive).
Google sebenarnya menyimpan kekhawatiran akan terjadi penyalahguanaan hak dan juga arsip elektronik. Terlebih jika aturan ini diberlakukan di negara-negara yang belum maju dan cenderung korup. Kekhawatiran itu diutarakan langsung oleh pendiri Google, Larry Page. Sebagai contoh, pianis Dejan Lazic pernah mencoba menggunakan Hak untuk dilupakan ini demi bisa menghapus ulasan negatif tentang penampilannya dari The Washington Post. Lazic mengklaim bahwa kritik itu memfitnah, kejam, ofensif, dan tidak relevan untuk seni. Google tentu menolak menghapus jenis tautan yang seperti itu. Sejak tuntutan Cosjeta dikabulkan, permintaan penghapusan tautan yang diterima Google meningkat. Berdasarkan data keterbukaan dari situs resmi Google, jumlah tautan yang sudah dievaluasi untuk dihapus tercatat sebanyak 1,63 juta. Ia berasal dari 523.394 permintaan. Tautan dari Facebook menjadi yang terbanyak diminta untuk dihapus, yakni mencapai 13.852 tautan.
Bagaimana jika di Indonesia? Google Search Engine atau mesin pencari Google saat ini berfungsi sebagai mesin pencari semua jenis informasi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hasil perubahan telah resmi berlaku kemarin (28 November 2016). Di dalam perubahannya, salah satunya diatur tentang “right to be forgotten” di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk dihapuskan informasi tentang dirinya di media internet. Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Teguh Arifiyadi menjelaskan bahwa penerapan right to be forgotten di Indonesia akan berbeda dengan negara lain. Penghapusan konten di Uni Eropa atau Rusia atau negara lainnya yang menerapkan hanya dilakukan sebatas dalam mesin pencari (search engine), di Indonesia nantinya tidak akan seperti itu. implementasi right to be forgotten di Indonesia nantinya tidak hanya pada mesin pencari (search engine). Penghapusan konten yang dianggap tidak relevan berdasarkan penetapan pengadilan langsung dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik yang memegang kendali langsung atas suatu konten tertentu. Hal tersebut tegas disebut dalam Pasal 26 ayat (3) revisi UU ITE: “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”. Frasa „berada di bawah kendalinya‟ menjadi penegasan dimana implementasi di Indonesia tidak hanya pada mesin pencari. Selain itu, perbedaan penerapan right to be forgotten yang lain adalah soal luasnya cakupan informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan penghapusan oleh seseorang. Dalam revisi UU ITE, konten yang dapat dimohonkan penghapusan tak hanya mengenai konten yang berkaitan dengan data pribadi, namun lebih luas dari hal itu. Apapun informasi atau dokumen elektronik sepanjang dinilai tidak relevan, maka yang bersangkutan dapat meminta penghapusan dengan menunggu penetapan pengadilan. Selain itu, hak untuk dilupakan ini masih banyak menjadi perbincangan di Indonesia karena dianggap “berbenturan” dengan hak atas informasi. Yang harus dipelajari dari Hak Asasi Manusia (HAM) ini adalah hak-hak yang dibatasi oleh “asasi” manusia. Jadi tidak semua keinginan dari masyarakat harus terpenuhi. Tetapi yang jelas ada batasan atau koridor-koridor yang harus kita patuhi terlebih dahulu sebelum kita mendapatkan hak yang kita inginkan. Begitu pula dengan right to be forgottem ini, harus ada prosedur serta tata cara tertentu agar keinginan untuk dilupakannya dapat dikabulkan. Satu hal yang terpenting, Indonesia sebagai negara hukum sudah berusaha untuk membuat ataupun menciptakan suatu aturan main agar masyarakatnya merasa aman dan terlindungi. Hanya saja hukum ini belum begitu sempurna karena ada beberapa poin pembahasan yang harus ditelaah lebih dalam lagi baik dari segi hukum, teknologi informasi, maupun kearsipan. Hak untuk dilupakan ini adalah sebuah konsep yang sudah didiskusikan dan dipraktikkan di Eropa dan Argentina sejak 2006. Ia memberikan hak kepada setiap individu untuk meminta mesin pencari menghapus tautan berkaitan dengan data pribadi mereka. Menurut banyak kabar, penerapan hak untuk dilupakan di Indonesia ini hanya sebatas pencarian akses yang akan dipersulit diwilayah domain atau negara yang bersangkutan. Tetapi masih bisa diakses oleh negara diluar domain dan kontennya masih tersedia. kewenangan pemutusan akses oleh Kominfo secara teknis hanya Geo Blocking, artinya suatu konten hanya terblokir sebatas wilayah Indonesia. Apabila diakses dari luar Indonesia, maka konten tersebut masih tetap bisa diakses. Boleh jadi, secara efektivitas tidak terlalu berdampak namun setidaknya bisa meredam upaya akses dari siapapun agar hak pribadi masih tetap terlindungi.

Oleh: Tsabit Alayk R

Referensi:

Dwi Hartono. (2016). UU ITE, Hak untuk Dilupakan, dan Hak Publik atas Informasi. www.komnasham.go.id. Diakses pada 28 Juli 2018

Ervina Anggraini. (2016). Hak untuk dilupakan Hanya Berlaku dalam Perkata ITE. www.cnnindonesia.com/teknologi. Diakses pada 28 Juli 2018

Wan Alfa N Z. (2016).Tak Terlupakan dengan Hak Untuk Dilupakan. www.tirto.id. Diakses pada 28 Juli 2018

(2016). Ini Bedanya Konsep Right To Be Forgotten di Indonesia dengan Negara Lain. www.hukumonlne.com. iakses pada 28 Juli 2018

Mengkritisi “Google” ala Indonesia

Indonesia telah memasuki era digital. Hampir setiap celah keseharian kita menggunakan perangkat digital. Fenomena masifnya digitalisasi pun merambah cepat di sektor dokumentasi dan informasi, termasuk di dalamnya bidang kearsipan. Pemanfaatan teknologi di bidang kearsipan, pada mulanya difokuskan pada upaya optimalisasi penelusuran informasi yang terekam dalam arsip. Namun demikian, kebutuhan informasi publik tidak hanya cukup dengan mengandalkan banyak otomasi penelusuran yang bergerak mandiri. Masing-masing subdokumen, seperti arsip, perpustakaan, dan museum, bahkan galeri, memiliki sistem penelusurannya masing-masing. Hal tersebut tentu belum menjawab efektivitas dan efisiensi publik dalam mendapatkan informasi dengan cepat, tepat, dan sederhana.

Teknologi penelusuran informasi dalam satu ruang terintegrasi di Indonesia telah dirintis oleh Indonesia One Search yang digagas oleh Perpustakaan Nasional. Dalam website resminya, Indonesia One Search merupakan lokasi untuk penelusuran segala bentuk dokumen, baik dari lingkungan perpustakaan, arsip, dan museum. Adapun mitra yang telah bergabung dalam rumah Indonesia One Search terdiri dari satu perpustakaan nasional, 737 perguruan tinggi, 99 lembaga dokumentasi khusus, 74 lembaga perpustakaan dan kearsipan daerah, 12 sekolah, dan 2 repositori arsip jurnal. Meski demikian, informasi dari dokumen berbentuk arsip belum masuk dalam mitra Indonesia One Search.

Khusus untuk kearsipan, Arsip Nasional Republik Indonesia telah memfasilitasi penelusuran arsip melalui portal Jaringan Informasi Kearsipan Nasional. Portal resmi yang dibangun oleh ANRI tersebut mengintegrasikan dokumen arsip, khususnya yang berasal dari lembaga kearsipan hingga ke tingkat daerah. Apabila melihat pada dua portal resmi tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa antara bidang perpustakaan dan kearsipan pun belum memiliki rumah yang sama. Hal ini tentu berdampak pada penelusuran informasi yang masih jauh dari efektif, efisien, dan sederhana. Publik harus membuka dua portal utama dan masih harus mempelajari detail pemanfaatan dan cara penelusuran informasi agar menemukan apa yang dibutuhkan. Waktu yang dibutuhkan menjadi terbuang hanya untuk memahami dan menelusuri dua portal utama. Apalagi jika kita cermati portal JIKN yang masih jauh dari user-friendly.

Masyarakat tentu berharap bahwa di era hoax saat ini, lembaga informasi dan dokumentasi di Indonesia mampu menyajikan informasi yang valid dan jauh dari unsur hoax. Model penyajiannya pun diidealkan sebagaimana mesin penelusuran milik Google Inc. Model penelusuran satu atap pada dasarnya telah banyak dilakukan di beberapa negara maju, salah satunya Jerman. Dalam salah portal penelusuran yang digagas oleh Marion Malmann-Biehler terdapat sinkronisasi atau integrasi apik antara arsip, perpustakaan, dan museum. Semoga di masa mendatang, bidang kearsipan, perpustakaan, museum, hingga galeri di Indonesia dapat memiliki rumah bersama untuk menyimpan dan menelusuri informasi sehingga memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, berupa informasi dan pengetahuan.

Oleh : Rina Rakhmawati